Komunikasi Asap dan Black Hole dalam Mega Korupsi Pertamina
oleh
Ali Nurdin
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan program efisiensi keuangan oleh pemerintah dan program retret Kepala Daerah di Magelang, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh peristiwa dibongkarnya mega korupsi PT Pertamina Patra Niaga oleh Kejaksaan Agung. Kerugian negara mencapai angka Rp 193,7 triliun pada 2023 akibat praktik korupsi di Pertamina. Sementara terjadinya praktik korupsi ini terjadi antara tahun 2018-2023 sehingga kerugian negara diperkirakan mencapai angka Rp. 968,5 Triliun (tempo.co).
Kasus mega korupsi di PT Pertamina Patra Niaga melibatkan penggelapan dana besar yang dilakukan oleh 9 pimpinan internal, yaitu Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, pejabat di PT Pertamina International Shipping, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan VP trading operation PT Pertamina Patra Niaga (kompas.com).
Dampak skandal ini sangat luas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah sebagai pemilik BUMN. Kasus mega korupsi di PT Pertamina Patra Niaga menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah industri migas di Indonesia. Kasus ini tidak hanya melibatkan angka kerugian negara yang fantastis, tetapi juga menunjukkan bagaimana strategi komunikasi digunakan untuk menutupi ’kebobrokan’ sistemik yang terjadi. Dalam dunia komunikasi, ada dua konsep yang dapat menggambarkan fenomena ini, yaitu komunikasi asap dan black hole.
Komunikasi Asap
Konsep komunikasi asap menggambarkan manipulasi informasi dilakukan untuk membentuk opini publik yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Komunikasi asap mengacu pada komunikasi yang tidak transparan atau penuh manipulasi, seperti asap yang menutupi pandangan, sehingga masyarakat sulit membedakan fakta dan kebohongan dalam kasus korupsi. Dalam kasus mega korupsi PT Pertamina Parta Niaga, komunikasi asap terjadi melalui pemberitaan yang menggunakan dua istilah yang membingungkan masyarakat, yaitu mengoplos dan blending.
Dalam beberapa pemberitaan kasus korupsi yang terjadi di PT Pertamina Parta Niaga menggunakan istilah oplos/mengoplos. Kejaksaan Agung mengungkap modus yang dilakukan tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produksi kilang dalam mengoplos Pertalite menjadi Pertamax (kompas.com). Sementara pemberitaan yang lain menggunakan istilah blending. Para tersangka diduga membeli Pertalite untuk di blending menjadi Pertamax. Hasil blending tersebut kemudian dijual dengan harga Pertamax, yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 193,7 triliun (kompas.com).
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerjemahkan istilah mengoplos adalah aktivitas mencampur sesuatu yang asli dengan barang atau bahan yang lain sehingga kadar keasliannya berkurang (tentang minyak tanah, bensin, dan sebagainya). Sementara itu istilah blending dalam Oxford Dictionary berakar pada kata blend yang artinya mencampur dua atau lebih zat menjadi satu.
Berdasarkan pengertian di atas, maka antara istilah mengoplos dan blending memiliki substansi makna yang sama. Namun pihak PT Pertamina Patra Niaga mengklaim tidak ada praktik pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax. Perusahaan memastikan bahwa kualitas Pertamax tetap sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah, yakni dengan Research Octane Number (RON) 92. Menurut Pertamina, bahwa Pertamax tetap menggunakan RON 92, hanya menambah aditif pewarna tanpa mengurangi kualitas RON 92 (tempo.co).
Dialektika mengoplos dan blending di hadapan publik ini tentu semakin memperburuk citra dan reputasi Pertamina sebagai perusahaan publik milik pemerintah. Dalam tataran grass root, rakyat kecil sudah mulai percaya bahwa Pertamax yang mereka beli rasa Pertalite. Reputasi Pertamina mulai tergerus dengan adanya pengalihan pembelian BBM ke stakeholder swasta penyedia BBM sejenis. Publik dihadapkan pada informasi yang membingungkan karena istilah mengoplos cenderung memiliki makna negatif, sementara istilah blending yang digunakan oleh pihak Pertamina untuk menghindari istilah mengoplos dan meminimalisasi makna negatif tidak terlalu dipahami oleh masyarakat.
Komunikasi asap terjadi melalui pengaburan istilah/kata atau bahkan ada konstruk penyembunyian informasi yang sebenarnya. Para pihak menggunakan media untuk membuat framing untuk menggiring opini publik bahwa kebocoran dana (korupsi) hanyalah kesalahan pemahaman administrasi, bukan korupsi sistemis. Penggunaan istilah-istilah yang sulit dipahami masyarakat untuk mengaburkan fakta sebenarnya. Semua ini menciptakan ”asap informasi” yang membuat publik sulit membedakan fakta dan manipulasi.
Dalam perspektif komunikasi, wacana korupsi dapat di frame melalui bingkai media untuk menyebarkan informasi tentang korupsi sesuai kepentingan pihak-pihak yang terkait. Pihak Kejaksaan Agung membuat framing berita korupsi PT Pertamina Patra Niaga dengan istilah mengoplos BBM dari RON 90 (Pertalite) ke RON 92 (Pertamax). Masyarakat menerima framing media yang pertama kali ditangkap dan lebih terpatri dalam benak publik. Dalam komunikasi, informasi atau pesan yang telah disampaikan ke publik telah menjadi miliki publik/masyarakat. Pesan yang telah diterima khalayak/publik tidak dapat ditarik ulang karena telah menjadi miliki penerima pesan. Sementara framing media melalui istilah blending, meski mengandung kebenaran sulit diterima masyarakat karena lebih dahulu memilih pesan pertama sebagai kebenaran.
Teori resepsi Stuart Hall menjelaskan bahwa ada tiga jenis khalayak dalam menerima pesan, yaitu domination, pesan tentang praktik korupsi PT Pertamina Patra Niaga dengan proses mengopolos diterima begitu saja tanpa selektivitas pesan. Karakteristik publik seperti ini sulit menerima framing berita kedua yang berusaha mengklarifikasi berita pertama. Alih-alih mereka menerima framing berita kedua, justru mereka tidak membaca berita kedua sehingga berita pertama yang dianggap sebagai suatu kebenaran. Kedua, selectivity, karakteristik khalayak ini memiliki tingkat selektif dalam menerima setiap informasi yang ada. Mereka lebih pintar memilih berita sesuai kepercayaan dan keyakinannya. Mereka dapat memfilter informasi yang diterima, dan pada akhirnya mereka dapat memutuskan lebih percaya berita tentang mengoplos atau blending. Ketiga, opposition, karakteristik khalayak ini lebih cenderung menolak informasi apa pun yang diberitakan media. Mereka cenderung acuh tak acuh (cuek) terhadap berita apa pun, dan bahkan ada kecenderungan untuk melawan pemberitaannya.
Black Hole Mega Korupsi PT. Pertamina Patra Niaga
Istilah black hole (lubang hitam) pertama kali ditemukan pada abad ke 18 oleh John Michell dan Pierre-Simon Laplace, selanjutnya dikembangkan oleh astronom Jerman bernama Karl Schwarzschild, pada tahun 1916, dengan berdasar pada teori relativitas umum dari Albert Einstein, dan semakin dipopulerkan oleh Stephen William Hawking.
Black hole dikenal dalam dunia fisika, yaitu wilayah di luar angkasa yang memiliki gravitasi sangat kuat sehingga tidak ada yang dapat lolos darinya, termasuk cahaya. Dalam konteks mega korupsi PT Pertamina Patra Niaga, black hole menggambarkan bagaimana dana yang seharusnya digunakan oleh pemerintah untuk kesejahteraan publik malah “disedot” atau dikorupsi oleh oknum tertentu, mirip dengan konsep black hole yang menyerap segalanya tanpa jejak. Black Hole menggambarkan bagaimana dana perusahaan/pemerintah, atau bahkan dana publik dapat tersedot dalam sistem korup yang tertutup tanpa jejak yang jelas.
Dalam konteks korupsi, mekanisme terjadinya black hole dapat diakibatkan oleh adanya jaringan oligarki, pengelabuan jejak keuangan, dan memanipulasi laporan audit. Mekanisme jaringan oligarki terjadi dalam grup elite yang mengendalikan sumber daya minyak dengan mekanisme yang sulit ditembus oleh orang di luar jaringannya, terbukti 9 orang yang ditetapkan sebagai tersangka adalah pimpinan tinggi perusahaan. Mekanisme pengelabuan jejak keuangan dilakukan dengan mengalihkan dana melalui rekening-rekening tersembunyi yang tidak dapat disentuh oleh pihak yang terkait. Mekanisme manipulasi laporan audit dilakukan dengan melaporkan keuangan yang telah direkayasa untuk menghilangkan indikasi korupsi. Sistem ini membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi sangat sulit karena data yang dapat diakses telah dimanipulasi sejak awal.
Strategi Komunikasi Antikorupsi
Strategi komunikasi adalah perencanaan yang sistematis untuk menyampaikan pesan kepada publik dengan tujuan tertentu. Dalam konteks ini, tujuan strategi komunikasi digunakan sebagai pembentukan sikap dan perilaku antikorupsi. Korupsi merupakan salah satu permasalahan serius yang menghambat kemajuan pembangunan di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat yang terdampak langsung perilaku korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memerangi korupsi, salah satunya adalah melalui strategi komunikasi antikorupsi. Komunikasi antikorupsi ini penting untuk menciptakan kesadaran dan pemahaman di masyarakat mengenai dampak buruk korupsi serta pentingnya membangun budaya yang bebas dari korupsi.
Strategi komunikasi yang dapat dilakukan untuk memerangi korupsi adalah; pertama, meningkatkan peran whistleblower, yaitu; seseorang yang mengungkapkan atau melaporkan tindakan ilegal, tidak etis, atau penyimpangan yang terjadi dalam suatu organisasi, baik di sektor publik maupun swasta. Pelaporan ini bisa terkait dengan korupsi, pelanggaran hukum, penyalahgunaan wewenang, atau ancaman terhadap kepentingan umum. Pemberantasan korupsi dilakukan melalui peningkatan kesadaran pada setiap individu untuk memiliki keberanian dalam membongkar kasus korupsi di lingkungan sekitarnya dengan sistem perlindungan yang baik. Kedua, meningkatkan peran media. Media massa memainkan peran yang sangat penting dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Kampanye antikorupsi melalui televisi, radio, surat kabar, dan media sosial dapat menyentuh berbagai kalangan masyarakat dengan cara yang efektif. Kampanye ini tidak hanya menginformasikan tentang bahaya korupsi, tetapi juga mengajak masyarakat untuk lebih aktif berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi. Ketiga, penguatan kapasitas institusi pemerintah dan penegak hukum. Strategi komunikasi antikorupsi harus melibatkan penguatan kapasitas institusi pemerintah dan penegak hukum. Salah satu upaya yang penting adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang memiliki tugas pokok dalam memberantas korupsi. Selain itu, instansi penegak hukum lainnya, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, juga perlu diberdayakan dengan penekanan pada pentingnya integritas dan independensi dalam menjalankan tugasnya. Keempat, transparansi data. Strategi komunikasi dengan menerapkan sistem yang transparan dan akuntabel di lembaga-lembaga pemerintahan. Melalui sistem pengawasan yang ketat dan berbasis teknologi, masyarakat dapat berperan sebagai pengawas dalam meminimalisasi potensi terjadinya tindak pidana korupsi.
Untuk membangun sistem yang lebih bersih, perlu ada reformasi komunikasi di tubuh pemerintah/BUMN/swasta, media yang lebih kritis, serta kebijakan antikorupsi yang lebih tegas. Hanya dengan transparansi dan akuntabilitas yang kuat, skandal korupsi dapat dicegah di masa depan#.