Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Dunia terkejut. Seluruh media meliput. Tiba-tiba ruang publik dibikin riuh. Oleh berita meninggalnya Marissa Haque. Di Hari Rabu dini hari (02/10/2024). Tanpa didahului sakit. Seperti pada umumnya orang yang akan meninggal. Ikang Fawzi pun sangat shock dibuatnya. Sebagai suami, dia terpukul berat. Menangis keras. Tak sanggup menahan sedih yang mengharu-biru. Karena bincang santai menandai malam-malam itu. Seperti setiap hari biasanya yang penuh romantisme dan harmoni. Tak ada tanda-tanda sakit. Tak terekam gejala penyakit selama ini. Apalagi, bagi kelas sosial seperti mereka, tentu kesadaran untuk mengontrol kesehatan sangat tinggi. Tapi malam itu membuat semuanya terasa hancur. Karena Ikang harus ditinggal sang istri untuk selamanya.

Saat-saat itu terasa menyesakkan bagi Ikang. Dalam proses menerima petakziyah hingga pemakaman jenazah sang isteri, sebagai contoh, Ikang terlihat tak kuasa menahan rasa sedihnya. Dalam sejumah video rekaman yang beredar, tampak sekali dia terpukul-hancur. Setiap kalimat yang meluncur selalu diiringi derai air mata yang mengucur. Dihiasai dengan pengucapan yang terbata-bata. Dibarengi dengan tangis yang pecah. Bukti tak kuasanya Ikang menghadapi musibah itu. Bahkan, tubuhnya pun terlihat terhuyung. Hingga anggota keluarga di sekelilingnya selalu khawatir. Sang anak pun harus selalu mendampinginya. Di sisi kanan-kirinya. Secara bergantian. Menggapai tangannya. Agar tidak terjatuh tiba-tiba.

Hari-hari sepeninggal sang istri, Ikang pun harus berjuang melawan kesedihan yang mendalam. Bayangan sang istri tentu saja selalu hadir bersamanya. Seakan-akan dia masih hidup. Bercengkerama dengannya. Mencandainya. Menghabiskan waktu bersamanya. Itu semua sebuah kewajaran. Pertanda musibah itu begitu berat rasanya. Sebagai manusia biasa, Ikang pun seperti lainnya saat mendapat musibah berat itu. Penuh kesedihan dan nestapa. Musibah itu bisa terjadi kepada siapa saja. Saat harus ditinggal untuk selamanya. Oleh sang pujaan yang selama ini membersamai hidupnya. Apalagi, meninggalnya begitu mendadak sekali. Tak didahului oleh tanda-tanda sakit itu dan ini.  

Hari-hari berlalu. Penuh dengan pilu. Kesedihan itu pasti tak bisa dengan mudah tersapu. Dan Ikang pun tetaplah manusia. Dia larut dalam kesedihan mendalam itu. Tak menyangka, itu pasti. Tak terkira, itu mesti. Bahwa meninggalnya sang istri begitu tiba-tiba tanpa ada isyarat sama sekali. Apakah sakit atau lainnya. Minimal keluhan yang mungkin ada. Para ahli medis tentu punya penjelasan tersendiri. Sebagai bagian dari keahlian yang dimiliki. Untuk urusan kesehatan insani. Tapi, apapun penjelasan yang bisa diberikan, tetap saja musibah yang begitu mendadak itu bikin sesak. Runtuh mental pun lalu menyeruak. Itulah tanda kemanusiaan yang tak terelak.

Tapi, siapa sangka, di sebuah malam sembilan hari usai kepergian sang istri, Ikang pun manggung. Menyanyi dengan penuh sorak. Dengan gaya khas sang rocker yang selama ini membesarkan namanya. Dia tampil begitu memukau seperti sebelum-sebelumnya. Tak ubahnya dengan saat dia masih muda. Dengan kostum penyanyi rock seperti yang selama ini dikenakannya saat tampil bernyanyi. Tak tampak lagi dalam dirinya aura kesedihan sama sekali. Sebagai penanda sedang berkabung. Atas kematian sang istri yang begitu bikin sesak. Karena sangat mendadak. Seperti yang kuuraikan di atas. Tapi malam itu, tak terlihat lagi tanda-tanda kesedihan lagi dalam penampilannya.

Ya, malam itu, Jumat (11/10/2024), adalah malam yang sudah cukup lama terjadwal sebelumnya. Sebagai malam manggungnya Ikang. Di dua acara sekaligus. Yakni, Lintas Melawai 2024 dan Menyanyi Bersama Teman Lama. Yang pertama adalah acara Lintas Melawai Volume 2 di Taman Kota Peruri, Jakarta Selatan. Yang kedua adalah panggung musik bersama rekan penyanyi rock 80an. Ada Atiek CB dan Nicky Astria. Mereka sudah cukup lama mengagendakan jadwal manggung. Dengan menampilkan Ikang sebagai penyanyi utamanya. Dan sebagai penyanyi rock beken, dia pun harus menjalankan komitmen manggungnya di dua acara di atas.

Namun, takdir pun tak bisa dilawan. Hanya dua hari lewat seminggu sebelum acara profesional itu diselenggarakan, Marissa Haque sang istri dipanggil Yang Kuasa. Begitu mendadaknya. Tanpa ada isyarat apa-apa. Namun, keterpurukan yang sembilan hari sebelumnya dirasakan dengan sangat kuat malam itu tergantikan. Oleh tampilan Ikang yang kembali bernyanyi dengan lagak dan kostum sebagai penyanyi rock yang penuh riang dan jingkrak yang ramai. Ya, Ikang melaksanakan komitmen profesionalnya sebagai pegiat seni musik. Manggung dan bernyanyi sesuai komitmen awal yang dibuat sebelum musibah besar itu mendadak menimpanya. 

Foto: Ikang Manggung dengan Latar Foto Marissa Haque (dokumen detik.com, 12/10/2024)

Keluarga pun khawatir Ikang akan dirujak oleh netizen. Atau dihujat oleh sesamanya. Kok bisa masih berduka mendalam lalu tampil berjingkrak dan bernyanyi seperti suasana normal? Gak bahaya ta? Itu kira-kira pernyataan yang dikhawatirkan muncul dari para netizen dan atau warga masyarakat pada umumnya. Soraya Haque, sang adik ipar, pun harus memberi klarifikasi dalam sebuah catatan. Begini bunyinya: “Ternyata memang abang kami itu keren. Sempat khawatir jika duka dan patah hati menenggelamkan kemampuannya kembali ke panggung. Malam ini, Ikang sanggup membuktikan dapat menata hatinya dan mampu memilah nestapa dengan profesionalisme.” Demikian apresiasi adik kandung Marissa Haque yang berarti ipar Ikang itu (lihat detkcpm, 12 Oktober 2024, URL: https://hot.detik.com/celeb/d-7584226/ikang-fawzi-kembali-nyanyi-bacakan-al-fatihah-untuk-marissa-haque-di-panggung). Soraya Haque pun juga melanjutkan apresiasinya kepada Ikang sebagaimana berikut: “”Bravo, Ikang! Anak-anak dan para adik selalu ada untuk Sang Rocker pulih melalui berkesenian.”

Sang anak pun, Chiki Fawzi, juga memberi pernyataan klarikasi serupa. Agar tak muncul salah paham di tengah masyarakat. Begini kalimatnya: “Ini acara Lintas Melawai, yang sudah masuk ke jadwal manggung ayah dari jauh2 hari dari sebelum ibu meninggal. Acara nyanyi generasi 80an. Ayah berusaha profesional. Karena di sini banyak yg bergantung rezekinya. Masih berduka, berusaha latihan dan cekson kmarin, berusaha tidur, lalu malam ini manggungnya. Semoga tidak salah mengerti ya teman2. Ayah saya sangat berusaha. Dan kami anak2nya pun berusaha untuk terus damping ayah.🙏” Demikian unggahan Chiki Fawzi dalam akun Instagramnya (chikifawzi, 11/10/2024), sperti terlihat di bawah ini:

Foto: Unggahan Chiki Fawzi di Akun IG Pribadinya (chikifawzi, 11/10/2024)

Lalu, apa pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Ikang di atas? Ada dua pelajaran menarik nan penting untuk diperhatikan. Pertama, profesionalisme ditempatkan di atas kemanusiaan diri sendiri. Poin pelajaran ini sedang dipertontonkan kepada kita semua oleh sang rocker Ikang. Dia menempatkan profesionalisme di atas kemanusiaan dirinya. Agenda yang sudah terjadwal sebelumnya adalah bagian dari tuntutan pekerjaan. Pemenuhannya adalah bagian dari profesionalisme. Maka, Ikang berketetapan untuk memenuhi agenda yang sudah terjadwal cukup lama sebelumnya itu dengan baik. Jika dia tak hadir, maka acara itu bisa gagal.

Dia dan keluarga pasti tahu dan sadar sedang berkabung. Karena Ikang sendiri dan mereka yang mengalaminya secara langsung. Sedih pun tak bisa dihindari, terpuruk pun pasti menyertai. Tapi Ikang sadar sesadar-sadarnya bahwa dia juga harus profesional. Sebagai seorang pekerja seni musik, dia terikat kontrak atau minimal janji dalam agenda tampil bernyanyi. Kalau absen, maka acara musik itu bisa berantakan. Karena itu, tampilnya Ikang menyuguhkan praktik profesionalisme yang jempolan. Orang sedih tapi masih tetap profesional. Itulah Ikang. Itulah sang rocker kenamaan. Sedang menunjukkan kemuliaan dirinya melalui profesionalisme yang dia junjung tinggi-tinggi.

Memang dalam pemahaman umum, kemanusiaan ya kemanusiaan. Kemanusiaan terkadang harus membuat sejumlah pemakluman. Tapi, Ikang sedang mengajari kita semua, kemanusiaan dirinya yang sedang dia alami sendiri tak boleh meruntuhkan bangunan profesionalisme yang telah dia bangun sendiri dalam berkarir selama ini. Maka, Ikang pun memutuskan untuk tetap tampil bernyanyi dengan kostum dan jingkrak yang selama ini menjadi trademark-nya. Tak ada tanda-tanda keterpurukan dalam pertunjukan itu walau dia sendiri sedang dalam masa berkabung karena keterpurukan akibat wafatnya sang istri secara mendadak.

Kedua, profesionalisme semakin ditempatkan pada posisi yang makin lebih tinggi lagi saat sudah bersentuhan dengan kemanusiaan sesama. Konsep “kemanusiaan sesama” ini berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Ada kepentingan ekonomi yang diharapkan dan digantungkan oleh orang banyak pada pekerjaan itu. Ada kepentingan orang banyak yang menggantungkan hidup pada pekerjaan profesional itu. Ikang telah mengajarkan kepada kita bersama bahwa dia menempatkan profesionalisme lebih tinggi dari nestapa internal yang dia sendiri rasakan. Duka mendalam akibat kepergian istrinya akhirnya dia kesampingkan. Itu karena pekerjaan profesional yang harus dia tunaikan sudah menjadi gantungan dan harapan penghidupan banyak orang.

Lihatlah ungkapan sang puteri, Chiki Fawzi, dalam unggahan di akun Instagramnya, seperti diilustrasikan di atas. Ungkapan dimaksud bisa dikutip kembali sebagaimana berikut: “Ayah berusaha profesional. Karena di sini banyak yg bergantung rezekinya.” Ungkapan ini menjelaskan secara gamblang bahwa Ikang sangat mempertimbangkan kepentingan banyak orang yang telah menggantungkan rezeki penghidupannya pada acara musik di atas. Dan, nestapa dirinya pun dia kalahkan karena di sana terdapat kepentingan material hidup banyak orang. Kalau dia batalkan untuk tampil, tentu kegagalan penyelenggaraan acara itu akan membuat penghidupan banyak orang terganggu.    

Kaidah tasharruf al-imam manuth bi al-mashalah yang selama ini dikenal dalam kajian fiqh siyasah (fiqih politik) rasanya tak hanya berlaku pada dunia kepemimpinan sosial politik, seperti yang selama ini terjadi. Itulah yang bisa kita rasakan dari praktik mulia yang sedang dipraktikkan oleh Ikang. Makna dasar dari kaidah itu memang tak jauh-jauh dari kepemimpinan publik sebagaimana artinya berikut ini: Kebijakan seorang pemimpin kepada rakyat harus didasarkan pada kemaslahatan. Tentu kata “kemaslahatan” di sini menunjuk kepada substansi kebajikan publik/bersama. Artinya, kebijakan seorang pemimpin tak boleh didasarkan pada kepentingan pribadi atau golongan semata.

Tapi, dalam kasus pelajaran hidup dari Ikang, tampak jelas bahwa pertimbangan banyaknya orang yang menggantungkan rizki pada acara musiknya membuatnya mengalahkan kemanusiaan dirinya. Dan dalam kasus ini, Ikang bukanlah pemimpin sosial politik. Dia bukan pemimpin birokrasi pemerintahan. Dia juga bukan legislator atau pemimpin parlemen. Melainkan seorang pemusik profesional. Artinya, Ikang bukanlah seseorang yang sedang berperan dan berprofesi sebagai pemegang kewenangan publik yang pekerjaannya memang berkaitan dengan pengambilan kebijakan bersama. Tapi tetap dia mendasarkan keputusannya untuk tampil manggung pada malam kesepuluh sepeninggal istrinya, seperti diuraikan di atas, pada pertimbangan kepentingan banyak orang yang menggantungkan rizki penghidupannya pada gelaran musik itu.

Makna inferensialnya, konsep al-mashlalah atau kemaslahatan tersebut diterjemahkan oleh Ikang ke dalam bentuk kepentingan penghidupan banyak orang yang harus dia perhatikan betul sebagai pemusik profesional. Jadi di sini, Ikang sedang menunjukkan bahwa kata al-imam dalam kaidah di atas juga bisa diperankan dan dipraktikkan oleh agensi profesionalisme. Dalam jenis profesi dan pekerjaan apapun. Jadi, pelajarannya, kepentingan umum tak hanya harus diperhatikan oleh pemimpin sosial politik yang memiliki kewenangan untuk melahirkan kebijakan publik. Tapi juga oleh siapa saja dalam profesi dan jenis pekerjaan apa saja pula. Di sini, profesionalisme menempatkan kemanusiaan umum pada posisi yang mengatasi semuanya. Bentuk dari kemanusiaan umum itu adalah kemaslahatan publik atau kebajikan bersama.

Bukankah praktik Ikang di atas bisa diartikan sebagai terjemahan konkret lain dari kaidah tasharruf al-imam manuth bi al-mashalah di atas? Mungkin Ikang dan anggota keluarga dekatnya tak pernah berpikir atau terpikir tentang kaidah dimaksud. Tapi, pertimbangan sang rocker untuk tetap manggung dan bernyanyi saat dia sendiri dilanda nestapa berat, seperti dijelaskan oleh sang puteri Chiki Fawzi dalam unggahan Instagram yang dijelaskan sebelumnya, menunjuk kepada substansi dasar kaidah dimaksud. Konsep al-mashlalah dimaknai sebagai gantungan rizki penghidupan banyak orang yang harus Ikang jadikan sebagai pertimbangan penting untuk mengalahkan kemanusiaan internal dalam bentuk nestapa dirinya. Artinya, oleh Ikang, konsep al-mashlalah beserta kaidah utuhnya di atas bisa diterjemahkan juga ke dalam praktik profesionalisme dalam penunaian pekerjaan dengan mutu yang maksimal. 

Ikang sungguh telah mengajarkan kemuliaan. Dengan menempatkan profesionalisme jauh di atas kemanusiaan internal dirinya, dia sedang mengirimkan pesan konkret: nestapa diri sendiri harus dikesampingkan saat pekerjaan profesional yang harus ditunaikan sudah menyentuh kepentingan hajat hidup orang banyak. Kepentingan publik menjadi prioritas. Meskipun duka dan nestapa diri tak bisa dihindarkan. Itu prinsip kemuliaan yang diajarkan oleh Ikang. Siapa yang tidak mengalami nestapa hebat saat ditinggal sang istri secara mendadak untuk selamanya? Siapa yang tidak berduka mendalam saat tiba-tiba harus berpisah untuk selamanya dengan sang istri akibat terpisahkan oleh maut? Tentu manusia normal akan mengalaminya.

Tapi Ikang adalah kemuliaan. Ya, kemuliaan saat harus menempatkan profesionalisme di atas nestapa diri sendiri. Apalagi jika pekerjaan profesional yang harus ditunaikan sudah menyentuh hajat hidup orang banyak. Itulah kemuliaan Ikang. Itulah pelajaran penting yang diberikan dan dipertunjukkan oleh Ikang kepada kita semua. Profesional tak boleh dikalahkan oleh nestapa pribadi. Lebih-lebih saat pekerjaan profesional itu sudah berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Begitu mulianya Ikang hingga nestapa dirinya dikesampingkan demi menjunjung tinggi profesionalisme. Berduka itu mesti sebagai tanda kemanusiaan diri. Tapi, profesionalisme tetap harus dijaga kuat, apalagi jika bersentuhan dengan kepentingan hidup banyak orang. Inilah pelajaran mulia Ikang untuk kita semua.

Kemanusiaan diri Ikang memang membuatnya jatuh dalam kesedihan. Tapi, profesionalismenya membuatnya bangkit dari keterpurukan. Memang, hanya orang yang tidak biasa untuk tetap bisa tenang-tenang saja saat sang pujaan meninggalkannya untuk selamanya secara mendadak. Hanya orang yang masuk kategori agak laen untuk tetap bisa happy-happy saja saat pasangan hidupnya secara tiba-tiba menutup mata untuk selamanya. Dan, Ikang tidak masuk kategori pribadi-pribadi seperti itu. Dia terpuruk. Mentalnya hancur. Terpukul berat. Dia mengalami kondisi negatif paling parah dalam hidupnya. Mencapai titik terbawah dari nestapa dalam hidupnya. Tapi, atas panggilan profesionalisme, dia bangkit dari keterpurukan dan nestapa berat itu. Meskipun dia sendiri masih dalam kondisi berkabung.  

Bisa mulia saat biasa-biasa saja, itu wajar saja. Bisa menebar kemuliaan, saat hidup dalam situasi normal-normal saja, itu sih biasa saja. Tapi, tetap bisa hidup mulia dan sekaligus menebar kemuliaan saat situasi sedang tidak baik-baik saja, tentu itu luar biasa. Dan, Ikang telah memberi teladan baik bahwa kemuliaan bisa ditebar meskipun situasi yang dihadapi tidak sedang baik-baik saja. Nestapa dan sedih mendalam sebagai reaksi atas kepergian sang pujaan untuk selamanya adalah situasi hidup yang tidak baik-baik saja. Meski begitu, Ikang tetap menunjukkan profesionalisme yang menjulang. Apalagi, pertimbangannya bukan saja untuk menjaga profesionalisme diri sendiri, melainkan juga banyaknya orang yang menggantungkan rezeki pada pekerjaan yang ditunaikan. Tentu, itu semua kemuliaan. Ikang telah mengajarkan kemuliaan saat bergerak di antara pendulum kemanusiaan dan profesionalisme.