Oleh: Dr. Anas Amin Alamsyah. M.Ag
Transformasi Besar dalam Sains, Industri, dan Teknologi
Modernitas sering dikenang sebagai momen kebangkitan manusia dari “masa gelap” —sebuah loncatan besar dari dunia mitos ke dunia mesin. Revolusi ilmiah di abad ke-17 membuka babak baru di mana semesta tidak lagi dilihat sebagai ciptaan yang penuh misteri tapi sebagai sistem mekanis yang dapat dipecahkan melalui observasi dan logika. Isaac Newton dan para ilmuwan sezamannya menancapkan dasar paradigma baru, yakni bahwa dunia adalah mesin besar, dan manusia adalah pengamat serta pengendali yang rasional. Lalu, datang Revolusi Industri yang mengubah bukan hanya alat kerja manusia tapi seluruh strukturnya —cara hidup, cara berpikir, bahkan cara merasakan.
Teknologi berkembang bukan sekadar sebagai alat bantu tapi menjadi penentu arah peradaban. Di abad ke-19 dan 20, mesin-mesin pabrik, transportasi massal, dan sistem produksi kapitalistik mengukir lanskap baru kehidupan modern. Produksi menjadi masif, waktu menjadi uang, dan manusia menjadi bagian dari proses mekanistik yang tak henti. Kecanggihan ini mencapai titik kulminasi di era digital sekarang, di mana data diproses dalam hitungan milidetik, algoritma mengatur selera, dan realitas bercampur dengan virtualitas. Dalam hitungan dua abad, umat manusia telah berpindah dari desa agraris ke kota megapolitan yang tak pernah tidur. Ini adalah sejarah akselerasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah spesies kita.
Namun di balik keajaiban tersebut, ada gema sunyi yang makin terasa. Segala sesuatu (seperti komunikasi, produksi, dan mobilitas) memang jadi lebih efisien, tetapi apa yang menjadi “efisien” belum tentu menjadi “bermakna.” Mesin dan sistem dirancang untuk fungsi, bukan untuk kedalaman. Dunia yang dulu penuh ritus dan makna kini tergantikan oleh logika pengukuran dan performa. Dalam obsesi pada kontrol dan hasil, manusia perlahan menjauh dari pengalaman sebagai makhluk yang merenung, merasakan, dan hadir secara utuh. Kita hidup di zaman yang bisa melakukan segalanya, kecuali menjawab pertanyaan: “Mengapa kita melakukan semua ini?”
Penggeseran Keyakinan Lama terhadap Makna, Spiritualitas, dan Komunitas
Jika revolusi ilmiah dan industri adalah transformasi teknologis modernitas maka pergeseran nilai adalah transformasi batinnya. Dunia lama dipenuhi oleh tatanan simbolik —agama, ritus, dan mitos yang membentuk horizon makna bersama. Manusia hidup dalam narasi besar yang memberi tempat bagi penderitaan, harapan, bahkan kematian. Namun, modernitas datang bukan hanya membawa mesin dan logika produksi tetapi juga skeptisisme terhadap semua narasi yang diwariskan. Ketika dunia dijelaskan dengan hukum-hukum fisika dan bukan kehendak ilahi, spiritualitas perlahan bergeser ke pinggir kesadaran manusia modern. Charles Taylor menyebut ini sebagai “disenchantment” —penghilangan pesona sakral dari dunia. Alam tidak lagi dipandang sebagai ciptaan penuh makna tapi sebagai objek eksploitasi. Komunitas tidak lagi sebagai tempat bernaung secara eksistensial tapi menjadi struktur sosial yang digantikan oleh institusi. Di balik kemenangan sains dan logika rasional, ada pelapukan ruang batin yang dulu terisi oleh keterhubungan spiritual. Ketika tatanan lama runtuh, yang tertinggal adalah individu yang kini harus merumuskan sendiri alasan mengapa ia hidup.
Modernitas mengangkat individu sebagai pusat realitas sosial dan moral. Di satu sisi, ini adalah pembebasan dari struktur tradisional yang mengekang sehingga manusia bebas memilih jalan hidupnya sendiri tanpa harus tunduk pada takdir kolektif. Tapi di sisi lain, kebebasan ini datang dengan harga, yakni hilangnya jangkar bersama yang dulu memberi rasa aman dan terarah. Individualisme menjanjikan otonomi tapi dalam banyak kasus berubah menjadi isolasi. Ketika hidup tak lagi terpaut pada nilai eksternal yang stabil, eksistensi menjadi proyek pribadi yang rapuh dan melelahkan.
Kebudayaan kontemporer menekankan “menjadi diri sendiri” tapi tidak menyediakan ruang untuk benar-benar memahami siapa diri itu. Identitas menjadi proyek konsumsi, di mana kita cenderung mencitrakan diri dan bukan membentuk jati diri. Kita lebih sibuk mengelola impresi sosial ketimbang membangun makna personal yang mendalam. Dalam dunia seperti ini, rasionalitas tidak lagi melayani kebijaksanaan tapi menjadi alat optimasi diri dalam kompetisi yang tak henti. Kita bukan lagi makhluk yang mencari makna tapi entitas yang terus-menerus diperintahkan untuk “berhasil”.
Di tengah atmosfer tersebut, banyak individu yang merasa kehilangan arah. Individualisme menegaskan kemandirian tapi melupakan keterhubungan sebagai kebutuhan dasar eksistensial. Akibatnya, rasa hampa tidak lagi menjadi pengecualian melainkan kondisi umum yang tersembunyi di balik kehidupan yang tampak aktif, sibuk, dan “berhasil”.
Keberhasilan Material yang Tidak Menjawab Kegelisahan Eksistensial
Modernitas membawa kita pada kemakmuran yang tak terbayangkan oleh generasi sebelumnya. Kesehatan membaik, angka harapan hidup meningkat, teknologi memberi kemudahan dalam hampir semua aspek hidup. Kita bisa berkomunikasi lintas benua dalam detik, mengakses lautan pengetahuan dalam genggaman tangan, dan menikmati barang serta hiburan dengan efisiensi yang luar biasa. Namun, kemajuan material ini tidak secara otomatis membawa kedamaian batin atau keutuhan makna. Alih-alih merasa puas, manusia modern justru sering kali dihantui oleh kegelisahan yang sulit dijelaskan, dan perasaan mereka juga acap kali kosong di tengah kelimpahan.
Lalu, masalah dari realitas di atas ada di mana? Masalahnya tentu bukan pada kekayaan itu sendiri tapi pada janji yang dikandungnya. Modernitas menjanjikan bahwa dengan cukup kenyamanan, cukup pilihan, dan cukup kebebasan, kita akan bahagia. Tapi, realitas menunjukkan bahwa setelah kebutuhan dasar terpenuhi, tidak serta-merta muncul rasa syukur atau keterpenuhan. Yang muncul justru siklus konsumsi yang tak pernah selesai. Kita terus mengejar “lebih” tanpa pernah benar-benar sampai. Jean Baudrillard menyebut hal ini sebagai masyarakat simulasi, di mana kepuasan digantikan oleh ilusi kepuasan dan makna ditukar dengan citra yang menenangkan sesaat.
Dalam masyarakat modern, ukuran keberhasilan cenderung ditentukan oleh parameter eksternal, yakni pendapatan, jabatan, aset, dan pengaruh sosial. Kita diajarkan sejak dini bahwa hidup yang baik adalah hidup yang “produktif”, “berprestasi”, dan “terlihat berhasil”. Tetapi, tak banyak ruang disediakan untuk pertanyaan mendasar: apakah semua ini sungguh bermakna? Banyak orang yang mencapai puncak karier, finansial, atau reputasi, namun diam-diam merasa hampa —seperti menjalani hidup orang lain dalam tubuh sendiri. Di sinilah muncul semacam ketegangan batin, di mana dunia memberi kita alat untuk “mendaki” tapi tidak menyediakan arah ke mana mendaki itu seharusnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa keberhasilan material, betapapun impresifnya, tidak bisa menjawab kebutuhan terdalam manusia —rasa hadir, keterhubungan, dan arah hidup. Kegelisahan eksistensial bukan muncul karena kekurangan tapi karena kehilangan makna di balik kelimpahan. Itulah sebabnya mengapa banyak orang, bahkan yang tampak sukses secara sosial, diam-diam dilanda kelelahan mental, kehampaan spiritual, dan kebingungan moral. Kita berhasil menjadi mesin produksi dalam sistem ekonomi tapi gagal menjadi manusia yang mengerti mengapa ia hidup.
Dunia Menjadi “Fungsional” Tapi Kehilangan Kedalaman Rasa
Dunia modern adalah dunia fungsi. Segalanya dirancang untuk bekerja, menyelesaikan, dan mengoptimalkan. Sistem transportasi, pendidikan, kesehatan, hingga komunikasi dibentuk dengan prinsip efisiensi dan kecepatan. Bahkan, kehidupan pribadi pun mulai didekati dengan logika manajerial. Hubungan dinilai dari produktivitas emosional. Waktu dinilai dari ROI (return on investment), dan tubuh dinilai dari kinerja metabolik. Dalam semangat ini, nilai sebuah hal tidak terletak pada kedalamannya tapi pada kebermanfaatannya secara praktis.
Ketika segala sesuatu diukur dari fungsi, yang hilang adalah lapisan eksistensial. Dunia yang fungsional memang nyaman tapi sering kali steril, seperti ruang rumah sakit yang bersih tapi tanpa kehidupan. Musik jadi latar, bukan pengalaman. Makanan jadi asupan, bukan ritus. Percakapan jadi transaksi, bukan keterhubungan. Kita hidup dalam lanskap yang bisa bekerja dengan sangat baik secara teknis tapi tak lagi menggetarkan batin atau menggugah kesadaran. Inilah yang dirasakan oleh kebanyakan orang modern —segalanya berjalan tapi tidak menyentuh.
Hidup dalam dunia yang sepenuhnya fungsional menciptakan semacam “pengempisan eksistensial.” Segala sesuatu hadir dalam bentuknya yang cepat, instan, dan praktis, akan tetapi juga dangkal, tipis, dan tak meninggalkan jejak. Kita menonton ratusan video, menggulir ribuan gambar, dan berpindah dari satu percakapan ke percakapan lain, namun semuanya berlalu tanpa benar-benar hadir dalam pengalaman itu. Hidup kehilangan momentum untuk menjadi pengalaman yang penuh rasa. Kita tak lagi berhenti untuk benar-benar merasakan, apalagi merenung.
Alih-alih mengalami dunia, kita sering hanya melewatinya. Bukannya hidup dalam waktu, kita justru mengejar waktu. Kesadaran pun berubah dari “berada dalam dunia” menjadi “menyelesaikan daftar tugas”. Keintiman digantikan efisiensi. Keheningan digantikan notifikasi. Yang kita temukan bukan kekacauan besar tapi kekosongan yang rapi. Maka, bukan kebetulan jika banyak orang modern merasa seperti hantu di tengah keramaian. Mereka bergerak dan berfungsi tapi tak benar-benar hadir.
Catatan Pemulihan
Jika dunia terlalu fungsional membuat kita mati rasa maka langkah pertama pemulihan adalah merebut kembali hak kita untuk merasa dan hadir. Kita perlu mengizinkan diri untuk memperlambat, berhenti mengejar hasil, dan kembali mengalami hidup dengan kualitas, bukan kuantitas. Kesadaran eksistensial dimulai dari tindakan-tindakan kecil tapi radikal, seperti diam sejenak, mendengar dengan sungguh-sungguh, dan berjalan tanpa tujuan produktif. Dalam tindakan semacam ini, dunia yang selama ini tampak tipis dan datar bisa mulai terasa lagi, terasa berlapis, padat, dan penuh keajaiban sehari-hari.
Keutuhan rasa tidak bisa diprogram atau diotomatisasi. Ia muncul saat manusia benar-benar hadir di dunia, bukan sebagai operator atau pengguna tapi sebagai makhluk yang hidup dan terbuka terhadap misteri. Inilah mengapa praktik kontemplatif, seni, relasi mendalam, dan interaksi dengan alam tak pernah kehilangan relevansi. Mereka menjadi ruang-ruang resistensi terhadap dominasi fungsi. Mereka memberi kita kembali apa yang secara perlahan dihilangkan oleh dunia modern, yaitu pengalaman batin yang utuh —sebuah hidup yang bukan hanya berjalan tapi juga mengakar.
Pemulihan tidak berarti mundur dari dunia modern tapi menata ulang cara kita berada di dalamnya. Kita perlu membangun kembali kehidupan batin yang utuh —yang tidak bergantung pada kecepatan, performa, atau validasi eksternal. Di tengah dunia yang sibuk, kita bisa menciptakan ruang hening. Di tengah jadwal padat, kita bisa menjaga satu jam untuk tidak melakukan apa-apa kecuali hadir. Ini bukan pelarian tapi bentuk keberanian yang kita butuhkan untuk tidak larut dalam arus dan mulai merawat kedalaman diri.
Modernitas telah membawa kita jauh dalam hal kemampuan tapi kini saatnya mengejar kembali kualitas keberadaan. Kita tidak bisa terus mengukur hidup dari apa yang dicapai tapi juga harus mulai menimbang apa yang dirasakan, dipahami, dan dihayati. Dalam kesadaran ini, dunia yang tampak asing dan hampa bisa mulai terasa akrab kembali, bukan karena dunia yang berubah tapi karena cara kita hadir di dalamnya berubah. Inilah inti pemulihan, dimana kita menjadikan diri kita bukan sekadar pelaku dalam sistem tapi jiwa yang benar-benar hidup.
Referensi
Abu Hamid al-Ghazali, Deliverance from Error (al-Munqidh min al-Dhalal), terj. R.J. McCarthy (Louisville, KY: Fons Vitae, 2000), 102–105.
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, vol. 4 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.), 210–215.
Abu Hamid al-Ghazali, The Alchemy of Happiness (Kimiya’ al-Sa’adat), terj. Claud Field (London: M. Dent & Co, 1910), 41–45 dan 66-69.
Alain de Botton, Status Anxiety (New York: Vintage Books, 2004), 15–20.
Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory, edisi ke-3 (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 2007), 36–41.
Ali Shariati, Man and Islam, terj. Fatollah Marjani (Houston: Free Islamic Literatures, 1981), 26–31.
Byung-Chul Han, Psychopolitics: Neoliberalism and the New Power, terj. Erik Butler (London: Verso, 2017), 17–23.
Byung-Chul Han, The Burnout Society, terj Erik Butler (Stanford, CA: Stanford University Press, 2015), 9–14 dan 20-25.
Charles Taylor, A Secular Age (Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press, 2007), 25–30.
Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 22–26.
Hamza Yusuf, Purification of the Heart: Signs, Symptoms and Cures of the Spiritual Diseases of the Heart (Hayward, CA: Sandala, 2004), 33–37.
Hartmut Rosa, Social Acceleration: A New Theory of Modernity (New York: Columbia University Press, 2013), 1–8.
Jalaluddin Rumi, The Essential Rumi, terj. Coleman Barks (San Francisco: HarperOne, 1995), 78–82.
Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation, terj. Sheila Faria Glaser (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), 51–56.
Jenny Odell, How to Do Nothing: Resisting the Attention Economy (Brooklyn, NY: Melville House, 2019), 19–22.
Khalid Baig, First Things First: For Inquiring Minds and Yearning Hearts (Karachi: Open Mind Press, 2005), 98–102.
M. Abdul-Hakim Murad, Travelling Home: Essays on Islam in Europe (Leicestershire: Quilliam Press, 2020), 115–118.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1999), 156–158.
Matthew B. Crawford, The World Beyond Your Head: On Becoming an Individual in an Age of Distraction (New York: Farrar, Straus and Giroux, 2015), 42–47.
Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Stanford, CA: Stanford University Press, 2013), 7–12.
Parker J. Palmer, A Hidden Wholeness: The Journey Toward an Undivided Life (San Francisco: Jossey-Bass, 2004), 77–81.
Sayyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Albany, NY: State University of New York Press, 1989), 84–90.
Seyyed Hossein Nasr, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (Chicago: ABC International Group, 1997), 3–8.
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 141–144.
Thomas Moore, Care of the Soul: A Guide for Cultivating Depth and Sacredness in Everyday Life (New York: HarperPerennial, 1994), 28–33.
Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning (Boston: Beacon Press, 2006), 106–110.
Zygmunt Bauman, Liquid Modernity (Cambridge: Polity Press, 2000), 31–35.