Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Ngapain semua pegawai mengenakan masker?” begitu tanyaku dalam hati. Siang itu. Rabu, 4 Desember 2024. Pertanyaan itu kontan muncul di pikiranku kala makan siang di Restoran Pagi Sore di Cempaka Putih, Jakarta. Restoran itu merupakan varian Rumah Makan Padang. Kebetulan kala itu kuharus bertugas ke Jakarta. Melakukan banyak tugas yang berkaitan dengan pengurusan pendirian prodi kedokteran dan kedokteran profesi. Kesana kemari kuayunkan langkah. Dengan sejumlah kawan yang selalu bersama. Lalu saat datang waktu makan siang, pergilah ke rumah makan itu. Kudapatilah pemandangan serba bermasker di restoran yang ternama itu.

Dan, pemandangan itu bukan satu-satunya. Restoran yang sama yang berlokasi di tempat lain, seperti di BSD Serpong Tangerang Selatan,  juga melakukan praktik pelayanan yang serupa: serba bermasker. Kudapati situasi yang sama itu kala beberapa waktu sebelumnya juga pernah ke sana. Ke restoran yang merupakan salah satu dari cabang ternama yang dimilikinya. Bahkan dari sisi kemegahan dan kemewahan fisik gedung, Restoran Pagi Sore di BSD Serpong itu terbilang lebih keren daripada yang di Cempaka Putih, Jakarta. Tapi pengalaman makan siang di dua rumah makan Padang itu menyembulkan fakta pelayanan yang sama: serba bermasker.  

Restoran Pagi Sore itu pun kini terkenal sebagi salah satu restoran terhigienis di Jakarta. Bukan hanya semua pegawainya yang bermasker. Dari supervisor hingga pelayan. Melainkan juga penyajian hidangan makanannya. Jika pengunjung ingin mengambil nasi, piring yang akan digunakan bisa dipastikan terbungkus plastik. Di dalam piring yang terbungkus plastik itu juga sudah tersedia sendok dan garpu. Tak hanya itu. Semua lauk yang disajikan juga begitu. Semua tersaji dalam piring kecil-kecil. Namun semuanya terbungkus dalam plastik. Setiap pengunjung pun lalu menjadi yakin, begitu higienisnya Restoran Pagi Sore itu. Kita pun jadi tak ragu dengan jaminan mutu dan higienitas di restoran itu.

Foto: Para Pelayan Restoran Pagi Sore Cempaka Putih Kala Bertugas (04/12/2024)

Setiap kita mungkin  memiliki pengalaman serupa. Tempatnya saja mungkin berbeda. Aku sendiri juga bisa menceritakan pengalaman yang sejenis di tempat makan yang berbeda. Memang, Restoran Pagi Siang yang kuceritakan di atas adalah tempat kuliner berbentuk restoran. Beroperasi di gedung ber-AC. Tempat duduknya juga nyaman. Tapi, pemandangan serupa juga kudapati di pelaku usaha kecil menengah (UKM). Persisnya penjual Pecel Ponorogo. Bukan di mal. Atau minimal di gedung, seperti Restoran Pagi Sore itu. Penjual Pecel Ponorogo ini menggelar dagangannya di pinggir jalan. Di mobil yang di parkir. Di Lingkar Barat Kota Sidoarjo. Penjualnya sepasang suami-istri. Sang istri bertugas melayani penjualan pecel. Sang suami melayani pembelian minuman dan sekaligus bertindak sebagai kasir.

Kedua penjual Pecel Ponorogo itu mengenakan masker. Suami-istri itu tak pernah membuka maskernya saat melayani konsumen. Saat mengambil nasi, sayuran, dan lauk, tak pernah sang istri itu melepas maskernya. “Lauknya apa, Bu?” tanya perempuan itu kepada istriku di sebuah waktu kala istriku membeli nasi cepel itu. Perempuan itu tetap mengenakan masker walau harus terus ramah melayani pembeli. Suaminya pun sama dengan sang istri. Dia tak pernah melepas masker. Bahkan, saat harus menghitung total harga yang harus dibayar oleh pembeli, dia juga tetap mengenakan maskernya secara layak. Tak pernah ada aksi buka masker.

Selain rasa pecel itu memang enak sekali, kita-kita para pembeli jadinya tak pernah ragu dengan higienitas makanan Pecel Ponorogo itu. Disiplinnya suami-istri dalam mengenakan masker selama melayani penjualan pecel itu menjadi jaminan atas penjagaan higienitas atas makanan yang dijual. Termasuk cara memberikan pelayanan penjualan juga sangat kuat menunjukkan prinsip hegenitas dalam bisnis makanan-minuman itu. Intinya, semangat untuk menjalankan prinsip higienitas dalam urusan penjualan makanan-minuman bukan merupakan dominasi restoran kelas menengah atas. Pelaku UKM pun juga ada yang melaksanakannya secara ketat pula. 

Mungkin sebagian orang memandang bahwa bermasker itu urusan sepele. Tapi pengalaman pandemi Covid-19 memberikan kesadaran baru di banyak kalangan bahwa bermasker adalah upaya untuk menjaga kesehatan diri dan sesama. Terutama saat berada di tengah kerumunan. Karena itu, hidangan makanan dan minuman di tengah banyak orang menjadi perhatian besar. Penjaminan higienitas dan prinsip kesehatan pun lalu menjadi kebutuhan. Meskipun pandemi Covid-19 telah berlalu, pengalaman berada di kondisi itu membuat banyak kalangan merasa tetap perlu selalu ada jaminan kesehatan.

Karena itu, makanan-minuman yang terbungkus dianggap menjadi jaminan higienitas. Bermasker saat memberi pelayanan juga dipandang jaminan higienitas. Lalu orang pun merasa nyaman dengan situasi itu. Mengapa begitu? Dengan bermasker, tak akan ada droplet. Tak akan ada tetesan air liur yang mungkin terjatuh di piring. Tak akan ada tetesan ludah yang mungkin terlontar ke dalam sajian makanan dan minuman yang akan dikonsumsi oleh pengunjung. Pengalaman berada di pandemi Covid-19 memberikan kesadaran baru bahwa droplet menjadi saluran penyebaran virus. Dan, pelayanan bermasker mengindarkan droplet yang pernah menjadi trauma itu.

Karena itu, kini droplet pun menjadi titik kekhawatiran tertentu di sejumlah kalangan warga masyarakat yang harus dihindari sebisa mungkin. Dan siapapun yang mampu memberikan jaminan tak adanya droplet akan segera dianggap sebagai pribadi atau pelaku-penyedia layanan yang disiplin pada urusan kesehatan. Bermasker dalam pemberian layanan, karena itu, akan segera dianggap pula sebagai komitmen dan sekaligus praktik penjaminan mutu higienitas. Karena itu pula, tak ada ruginya bagi layanan usaha yang mempraktikkan itu untuk peningkatan angka penjualan barang dagangannya. Mengapa begitu? Karena konsumen merasa mendapatkan jaminan mutu higienitas.                               

Lalu, apa pelajaran yang bisa dipetik dari dua pelaku bisnis kuliner di atas? Pelajaran pentingnya memang tentang penjaminan mutu layanan. Tapi, dari prinsip penjaminan mutu layanan  itu terdapat dua pelajaran penting sebagai turunan. Pertama, melakukan penjaminan mutu tak harus selalu berharga mahal. Tak harus berbiaya tinggi. Tak harus membutuhkan anggaran besar. Apa yang dilakukan oleh para pelaku usaha, baik Restoran Pagi Sore di Jakarta maupun penjual Pecel Ponorogo di Sidoarjo di atas, mengirimkan pesan bahwa bermasker saja cukup membuat pengunjung merasa mendapatkan jaminan mutu atas higienitas dagangannya.

Tentu untuk kasus bisnis dan layanan lain yang berbeda, bentuk dan poin penjaminan mutunya juga bisa saja berlainan. Tak selalu dalam bentuk bermasker seperti halnya bisnis makanan dan minuman, sebagaimana dicontohkan oleh Restoran Pagi Sore di Jakarta dan UKM Pecel Ponorogo di Sidoarjo di atas. Tapi, poinnya adalah adanya upaya terstruktur dan sistematis yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap nilai penjaminan mutu. Komitmen itu diwujudkan dalam bentuk praktik konkret nan konsisten dalam penjaminan mutu usaha bisnis dan layanan.   

Penjaminan mutu, sekali lagi, memang tak harus berbiaya mahal. Penjaminan mutu tak harus menunggu memiliki dana besar untuk melaksanakannya. Pula, tak harus bermitra dengan lembaga standardisasi mutu layanan yang berbiaya mahal. Sebut saja sebagai contoh ISO. Nama panjang aslinya adalah: The International Organisation for Standardisation. Sebab, untuk pendampingan hingga pengukuran standar layanan melalui lembaga-lembaga standardisasi mutu layanan seperti itu, dibutuhkan dana yang tidak kecil. Bahkan, bagi kebanyakan pelaku usaha dan atau penyedia layanan, jumlah anggaran yang harus disiapkan untuk kepentingan itu tergolong sangat besar.

Yang justru harus dilakukan adalah ini: upaya terstruktur dan sistematis untuk menjaminmutukan layanan yang sedang dijalankan. Itu seperti yang kusebut sebelumnya. Prinsip ini sebetulnya berlaku bagi semua pelaku usaha dan atau penyedia layanan. Namun, prinsip tersebut lebih-lebih harus dilakukan terutama oleh kebanyakan pelaku usaha dan atau penyedia layanan. Khususnya oleh mereka yang tak memiliki kemewahan dalam bentuk anggaran yang lebih dari cukup. Sebab ada yang bisa dilakukan secara mandiri. Yakni, melakukan pembudayaan penjaminan mutu internal. Saat sistem penjaminan mutu internal kuat terbudayakan, yang eksternal seperti oleh lembaga-lembaga standardisasi mutu layanan di atas adalah pilihan.   

Bagi perguruan tinggi, sebagai contoh konkret, ada hal riil di depan mata yang harus dilakukan. Apakah itu? Penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan. Singkatan populernya PPEPP. Apa yang harus ditetapkan, dilaksanakan, dievaluasi, dikendalikan, dan ditingkatkan? Tentu nilai penjaminan mutu atas layanan pendidikan tinggi. Dan, semua langkah itu diawali dengan penyusunan naskah sistem penjaminan mutu internal (SPMI). Lalu, naskah ini dilakukan penetapan, pelaksanaan, evaluasi, pengendalian, dan peningkatan atasnya. Jika sebuah perguruan tinggi sudah kuat nan mapan dalam proses penjaminan mutu melalui siklus PPEPP ini, maka sejatinya ia telah membudayakan nilai penjaminan mutu internal di lembaganya.

Foto: Contoh Dokumen Standar Mutu Sistem Penjaminan Mutu Internal UINSA (2019)

Kedua, usaha penjaminan mutu tak bisa dilakukan oleh satu unsur saja, sementara yang lain tidak melakukan hal yang sama. Harus ada komitmen dan perilaku yang seiring-selaras pada semua komponen di institusi pelaku usaha dan atau penyedia layanan untuk sama-sama melaksanakan dan membudayakan penjaminan mutu usaha dan atau layanannya. Apa yang dilakukan oleh para pelaku usaha bisnis, seperti dicontohkan baik oleh Restoran Pagi Sore di Jakarta untuk level menengah atas maupun penjual Pecel Ponorogo di Sidoarjo untuk level UKM di atas, memberikan pelajaran konkret bahwa usaha penjaminan mutu itu harus dilakukan oleh semua unsur internal lembaga. Mulai dari pimpinan atas hingga struktur pegawai di bawahnya.  

Semua harus dalam nafas yang sama. Yakni, sama-sama berkomitmen kuat dalam menjalankan kerja penjaminan mutu atas usaha dan layanan yang dijalankan. Dalam kasus usaha bisnis Restoran Pagi Sore di Jakarta dan UKM Pecel Ponorogo di Sidoarjo di atas, sebagai contoh, semua mereka yang berada dalam pelayanan masing-masing usaha bisnis tersebut bermasker. Selama menjalankan tugas pelayanan itu, tak ada satu pun dari mereka yang melepas masker. Semua selalu dalam kondisi bermasker. Selalu bermasker dalam kaitan ini menjelaskan kuatnya komitmen dan praktik penjaminan mutu atas usaha dan layanan kuliner yang dijalankan masing-masing. 

Maka, berkaca pada usaha bisnis makanan oleh Restoran Pagi Sore di Jakarta dan UKM Pecel Ponorogo di Sidoarjo di atas, praktik penjaminan mutu harus menjadi komitmen kuat bersama dari semua unsur di tim manajemen masing-masing usaha bisnis dan layanan. Di sinilah, pengelola perguruan tinggi sejatinya harus belajar. Bahkan perlu meniru. Konkretnya, di kampus, penjaminan mutu layanan pendidikan yang dijalankan bukan hanya tugas pimpinan universitas dan atau pengelola lembaga penjaminan mutu semata. Atau individu-individu yang berada dalam tugas formal penjaminan mutu itu saja. Bukan. Sekali lagi bukan. Alih-alih, semua unsur dalam institusi di kampus dimaksud wajib melakukan hal yang sama untuk penjaminan mutu setiap aspek layanan pendidikan tinggi yang dijalankan.

Hanya memang, pengalaman kerap menyuguhkan fakta sebaliknya. Yakni bahwa yang sering terjadi, praktik penjaminan mutu layanan pendidikan tinggi mutlak dibebankan pada lembaga penjaminan mutu. Bahkan karena itu, kerja penjaminan mutu layanan pendidikan tinggi menjadi tugas pokok yang eksklusif bagi lembaga dimaksud. Sedangkan pimpinan kampus itu tak tahu-menahu. Atau juga, individu-individu dalam struktur kepegawaian kampus itu juga tak peduli pada kewajiban kerja penjaminan mutu layanan pendidikan yang dijalankan.

Tentu praktik di atas tak patut dipertahankan. Tak selayaknya diteruskan. Perlu ada praktik pengarusutamaan penjaminan mutu kepada semua yang terlibat dalam penyediaan layanan pendidikan tinggi di sebuah kampus tertentu. Dari atas hingga bawah. Dari ujung sisi satu ke ujung lainnya. Pengarusutamaan ini penting dilakukan agar kerja penjaminan mutu menjadi kesadaran penting dalam pikiran dan perilaku seluruh komponen penyelenggara layanan pendidikan tinggi.  

Semua itu dibutuhkan untuk mempercepat kerja penjaminan mutu di internal sebuah lembaga pada satu sisi. Dan memberikan keyakinan kuat kepada para pemangku kepentingan eksternal, seperti konsumen, untuk memberikan kepercayaannya kepada lembaga itu di sisi lainnya. Jika konsumen sudah percaya, separuh modal kemajuan lembaga sudah di tangan. Jika konsumen sudah memberikan rasa kepercayaannya, maka sisanya adalah pencapaian kinerja sebagai pelengkapnya. Bahkan, lembaga yang demikian bisa saja akan mampu menggerakkan konsumen itu untuk melakukan dan sekaligus membantu apa saja yang menjadi kebutuhan lembaga dan peserta didiknya.  

Karena itu, jangan main-main dengan jaminan mutu lembaga. Setiap pelaku usaha dan atau penyedia layanan tak sepatutnya cuek bebek terhadap penjaminan mutu internal lembaga. Cuek bebek berarti abai. Dan abai adalah awal kacaunya penjaminan mutu penyelenggaraan proses produksi. Apapun jenis dan bidang garap produksi itu. Bisa saja produksi barang. Bahkan bisa pula produksi jasa layanan pendidikan. Apalagi pendidikan tinggi. Semakin tinggi tuntutan yang diterima, semakin besar pula kewajiban penjaminan mutu yang harus ditunaikan. Abai terhadap penunaian kewajiban ini hanya akan menimbulkan sikap dan praktik pembiaran terhadap jaminan mutu atas proses dan hasil produksi itu.