Bertandanglah ke ruanganku. Sore itu. Sekitar jam 15:50. Rabu, 15 Mei 2024. Tiga pimpinan unit. Satu dari ketiganya menyampaikan: “Kami berempat sudah rapat. Dan sekarang ingin melaporkan hasilnya. Untuk mendapatkan arahan. Agar tidak salah langkah.” Langsung kujawab begini: “Monggo, gimana?”. Dan, ternyata yang mereka sampaikan berkaitan dengan penerimaan mahasiswa baru. Mereka melaporkan rencana kebijakan tentang perihal itu. Karena seleksi mahasiswa baru memang sedang memasuki tahapan pertengahan. Dari total jalur dan waktu yang telah disiapkan.
Saat mendengarkan penyampaian laporan hasil rapat internal lima pimpinan unit oleh perwakilan mereka di atas, hatiku sudah mulai ragu. “Ada yang janggal,” gumamku dalam hati kala itu. Tapi kubiarkan saja dia menuntaskan penyampaian laporannya. Aku ingin menyimak utuh isi laporan itu. Bagian awal penyampaian memang telah membuat hatiku ragu. Tapi, kuberbisik dalam hati. Mungkin itu hanya awal saja. Siapa tahu bagian akhir justeru substansinya. Siapa tahu di akhir penyampaian ada revisi atas awal penyampaian. Kan kadang begitu sebagaimana galibnya!
Kuperhatikan satu-persatu poin yang disampaikan. Kuikuti setiap kalimat yang diucapkan. Usai kalimat satu diutarakan, menyusul kalimat lainnya. Tak kulewatkan sedikitpun dari yang disampaikan. Kepentingannya satu: jangan-jangan keraguanku di tengah penyampaiannya hanya persoalan kekurangjelasan saja. Hanya, hingga akhir penyampaian pun, isinya sama: akan bekerjasama dengan Kantor Kemenag Wilayah Jawa Timur. Khususnya melalui Bidang Pendidikan Madrasah.
Mendengar hingga tuntas penyampaian itu, aku pun bertanya pendek: “Sebentar, mahasiswa pada program studi bapak-bapak ini lebih banyak berasal dari sekolah atau madrasah?” tentu yang kumaksud dengan sekolah ini berarti jenis pendidikan menengah atas, baik umum maupun kejuruan, yang berada di bawah kewenangan Pemerintah Provinsi. Adapun madrasah menunjuk ke Madrasah Aliyah yang berada dalam kewenangan Kementerian Agama Wilayah untuk pengelolaannya. “Mayoritas dari sekolah, Pak Rektor,” tukas penyampai laporan di atas yang diamini dua unsur pimpinan unit lainnya.
Mendengar jawaban yang bernada seperti kor paduan suara pimpinan lintas unit itu, aku pun berseloroh: “Aku jadi ingat Ustadzah Mumpuni jadinya kalau begini!” Lho, kok bisa? Aku pun lalu giliran bercerita. “Lagi viral nih sekarang. Video ceramah Ustadzah Mumpuni. Ustadzah muda ini baru saja menikah. Nah, sekarang, setiap kali diundang ceramah, jamaah mesti bertanya tentang pernikahannya. Mereka ingin mendapatkan cerita darinya tentang kesannya menikah. Itu semua tak lepas karena karakter ustadzah ini yang lucu dan nggemesin. Setiap ceramah selalu diselingi dengan guyonan yang kontekstual. Kocak dan bikin ketawa semua jamaah. Karena itu, tampaknya jamaah pun juga pingin dapet cerita tentang pernikahannya.
Salah satu dari bagaimana Ustadzah Mumpuni kerap ditanya oleh jamaah untuk menyampaikan cerita pengalamannya menikah bisa diikuti dari sejumlah video viral di berbagai aplikasi media sosial. Termasuk yang kucantumkan cover video TikTok-nya di bagian bawah. Dalam ceramahnya, dia pun bercerita begini: “Wong wingi mbengi, aku kesandung karpet, sing syok bojoku. Aku kesandung karpet, bojoku ngucap: ‘Aduuuuh dek, sing sakit pundine?’” Begitu ungkapan sigap sang suami yang diceritakan Ustadzah Mumpuni. Lalu segera Ustadzah Mumpuni pun menceritakan suasana seru dengan ucapannya berikut: “Wong sing sakit jempole, sing dielus-elus bokonge...eeeeehhhh he hee…” Lalu Ustadzah Mumpuni itu tertawa terkekeh-kekeh. Jamaah pun geeeeerrrr…. Tertawa semua mendengar cerita itu.
Lalu usai bercerita tentang isi ceramah Ustadzah Mumpuni itu, kubilang kepada para pimpinan unit yang kumpul di ruanganku sore itu: “Itulah bedanya pengantin baru dan mencari mahasiswa baru😄.” Aku pun lantas melanjutkan begini: “Kalau penganten baru, yang sakit kakinya, yang dielus bokonge. Seperti kata Ustadzah Mumpuni😄.” Tapi kalau mencari mahasiswa baru, semua perhitungan harus dalam presisi yang tinggi. Semua pertimbangan harus persis menunjuk kepada masalah. Lalu solusinya pun harus sesuai dengan masalahnya. Jangan sampai langkah solusi yang direncanakan tak relevan dengan masalahnya. Jangan sampai usaha pemecahannya tak seiring dengan akar masalahnya.
“Nah masalah panjenengan sekarang, mayoritas input mahasiswa berlatar belakang sekolah atau madrasah?” tanya saya kembali menindaklanjuti analisis pembandingan di atas. “Ya mayoritas dari siswa sekolah,” jawab para pimpinan unit itu serempak. “Kalau gitu, kenapa kerjasamanya terbatas dengan Kemenag? Ini nggak yambung.” Begitu arahanku sore itu. “Panjenengan ini ngurusi calon mahasiswa baru tapi caranya kok seperti yang terjadi pada pengantin baru😄?” Begitu yang kusampaikan untuk meluruskan langkah kerja mereka. Jangan sampai seperti pengantin baru: yang sakit jempole, yang dielus bokonge. Kayak cerita Ustadzah Mumpuni di atas. Tawa pun pecah. Lalu kami berempat pun serius membincang strategi jitu soal penerimaan mahasiswa baru.
Kisah dari dialog kami berempat di atas harus memberikan pelajaran penting bagi kita semua. Lebih-lebih bagi para pemimpin yang sedang diberi amanah untuk melakukan penyelenggaraan kerja layanan sebuah insitusi. Lebih-lebih untuk mengembangkannya. Demi terwujudnya kinerja organisasi. Pengambilan pelajaran tersebut berlaku bagi pemimpin apa saja. Organisasi apa saja juga. Sebab, isi ceramah Ustadzah Mumpuni di atas akan bisa menjadi pembanding penting bagi tata kelola lembaga. Lalu, apa saja pelajaran yang bisa diambil? Apa yang harus dilakukan sebagai bentuk pembelajarannya? Kucatat tiga pelajaran penting.
Pertama, jangan sepelekan kerja perencanaan. Karena, sukses merencanakan merupakan awal suksesnya program yang diharapkan. Pengalaman sejumlah pimpinan unit dalam dialog bersamaku di atas memberi pelajaran bahwa kapasitas perencanaan akan menentukan cerita selanjutnya. Apakah sukses atau tidak. Big success atau small success. Jika tidak segera dilakukan koreksi dan perapian (aligning) yang baik, maka bisa saja langkah mereka salah arah. Energi bisa akan keluar banyak. Tapi hasil tak selalu bisa dipastikan menyeruak.
Mengapa bisa akan begitu? Salah bidik menjadi penyebabnya. Paham masalah di awal memang penting. Tapi jika hal itu tak diikuti dengan pemetaan yang utuh, maka tak akan lahir perencanaan yang baik. Apalagi saat salah memahami menjadi gambar besar dari tahapan perencanaan. Tentu, hasil yang muncul hanya merupakan isapan jempol semata. Mengapa begitu? Karena langkah perencanaannya tidak komprehensif. Tak diawali dengan pemetaan masalah secara menyeluruh dan mendalam. Akibatnya, kerja perencanaan tak sempurna. Dan itu bisa berdampak buruk pada penyelesaian masalah itu sendiri.
Kerja keras saja tak cukup. Jika tak ada kerja cerdas. Dan cerdas di sini harus dibuktikan dari awal sekali. Yakni, saat melakukan perencanaan. Kita diingatkan oleh Mia Hamm. Nama beken pemain sepak bola Amerika Serikat. Mariel Margaret Hamm, itu nama lengkapnya. Perempuan kelahiran 17 Maret 1972 yang menjadi legenda sepak bola perempuan negeri Paman Sam itu berujar begini: “The backbone of success is hard work, determination, good planning, and perseverance.” Tulang punggung kesuksesan adalah kerja keras, tekad yang kuat, perencanaan yang baik, dan ketekunan yang tinggi.
Keempat kata kunci kesuksesan di atas akan semakin bermakna konkret saat dilakukan analisis yang cermat. Anggap saja bahwa pembagian prosentase adalah ikhtiar untuk lahirnya analisis yang cermat itu. Artinya, dari 100 persen pembentuk kesuksesan, kerja keras hanya bernilai 25 persen saja dari pemantik kesuksesan itu. Ia harus didukung oleh 25 persen kerja di bidang perencanaan. Dan, keterampilan perencanaan ini merupakan tahapan yang bergerak, baik sebelum atau juga seiring dengan kerja keras. Nah, 50 persen siasanya masing-masing disumbang oleh tekad yang kuat dan ketekunan yang sangat. Keduanya dibutuhkan sekali dalam pelaksanaan rencana yang sebelumnya dilakukan.
Karena itulah, maka pelajaran kedua dari kerja pembandingan atas inspirasi Ustadzah Mumpuni dan diskusi pimpinan unit di atas adalah perkuat keterampilan diagnositik (diagnosing skill) untuk semua masalah yang dihadapi. Prinsip pembelajaran ini penting diperhatikan. Karena seni diagnosis masalah adalah kunci kesuksesan tindakan. Salah diagnosis, salah pula rencana intervensinya. Benar diagnosis, akan benar pula rencana aksinya. Artinya, tindakan yang akan dilakukan, baik jenis dan skalanya, sangat ditentukan oleh proses dan hasil diagnosis yang dilakukan. Semakin cermat kerja diagnosis, semakin efektif dan efisien tindakan.
Dalam kasus rencana kebijakan penerimaan mahasiswa baru oleh sejumlah pimpinan unit di atas, tampak sekali bahwa kerja perencanaan program itu tak diikuti dengan keterampilan diagnositik yang baik. Tampak jelas tak dilakukan mitigasi, identifikasi dan analisis mendalam atas masalah yang dihadapi. Tak dilakukan apa yang disebut dengan “belanja masalah” pada bidang yang sedang dibincang. Nama lainnya, pemetaan masalah. Manajemen modern menyebutnya dengan problem identification. Isinya adalah menelaah secara jernih dan jeli atas akar penyebab dari masalah yang sedang dihadapi. Karena itu, jangan sepelekan kerja perencanaan. Dan, tak jeli serta tak utuh itu contoh penyepelean itu.
Keterampilan diagnositik itu tak datang tiba-tiba. Karena itu butuh proses. Butuh dialami secara langsung. Perlu pengalaman. Agar keterampilan itu bisa berkembang dengan baiknya. Dan untuk itu pula, setiap kita butuh dilatih. Untuk mengalami langsung proses mengembangkan keterampilan diagnositik itu. Karena keterampilan diagnostik itu juga sebuah seni, maka penting pula membiasakan diri dengan kerja diagnosis atas masalah yang dihadapi.
Karena bagaimanapun, diagnosis adalah seni. Inilah yang menyebabkan mengapa keterampilan diagnositik tidak begitu saja lahir. Tak begitu saja mewujud. Seperti dijelaskan di atas. Ia butuh keterampilan yang tinggi. Mereka yang memiliki keterampilan yang tinggi akan cenderung memiliki seni yang tinggi pula dalam melaksanakan diagnosis itu. Begitu pula sebaliknya. Bahkan pada titik paling ekstrem, berlaku prinsip penting ini: Salah diagnosis, sukses melayang. Masalah berketerusan. Hidup pun tak akan bisa move-on ke depan.
Ketiga, sempurnakan kerja perencanaan dengan sinkronisasi dan harmonisasi. Sinkronisasi berarti melakukan penyesuaian. Harmonisasi berarti mencari keselarasan. Kerja sinkronisasi dan harmonisasi ini merupakan langkah akhir menuju sukses pelaksanaan. Sebab, bagaimana pun, kepemimpinan pada dasarnya adalah aligning skill. Seni melakukan penyeiramaan. Seni menunaikan kerja penyelarasan. Keterampilan untuk melakukan perapian barisan. Melaksanakan kerja-kerja penyesuaian langkah agar muncul gerak “baris-berbaris” yang baik. Ujungnya adalah keselarasan gerak.
Dalam kerja sinkronisasi dan harmonisasi di atas, butuh dilakukan penyesuaian antara keinginan dan data konkret lapangan. Orang Barat menyebut data konkret lapangan itu dengan istilah baseline data (data garis dasar). Data ini yang akan menjadi dasar pengambilan kebijakan. Termasuk mulai dalam hal perencanaan. Tanpa baseline data, keinginan hanya akan menjadi daftar mimpi yang tidak berbasis kenyataan yang ada. Mimpi itu baik. Karena di sana berarti ada keinginan. Ada cita-cita. Ada harapan. Tapi, semua itu harus didukung dengan data konkret lapangan yang ada. Nah, kerja sinkronisasi dan harmonisasi ini meliputi penyesuaian antara keinginan dan data konkret lapangan dimaksud.
Lebih dari itu, setelah dilakukan penyeiramaan antara keinginan dan data konkret lapangan dimaksud, kerja penyesuaian juga harus dilakukan antara masalah yang dihadapi dan solusi yang diharapkan. Kerja penyesuaian pada bagian ini merupakan tahapan akhir dari kerja perbaikan. Ketiadaannya hanya akan menyebabkan tidak bertemunya antara masalah dan tindakan penyelesaian yang diharapkan. Dengan kerja penyesuaian yang baik pada bidang antara masalah yang dihadapi dan solusi yang ditawarkan ini, akan bisa diraih keselarasan antara perencanaan dan pelaksanaan. Dengan begitu, antara harapan dan kenyataan akan muncul titik temu. Antara perencanaan dan tindakan akan muncul kesesuaian.
Kisah yang muncul dalam diskusi bersamaku di atas memang kebetulan terjadi pada tiga pimpinan unit pada lembaga yang kupimpin. Namun, sejatinya, itu bisa menimpa siapa saja. Bisa terjadi pada siapa saja. Di kepemimpinan apa saja. Tak peduli apakah seseorang berada di pucuk pimpinan organisasi. Ataukah lapisan kedua. Para manajer. Atau bahkan para petugas teknis lapangan yang berkewajiban untuk menyampaikan masalah di lapangan beserta masukan opsi yang bisa dilakukan. Hanya kebetulan saja yang sedang kuceritakan adalah para pimpinan unit di atas. Namun sebetulnya bisa terjadi dan dipraktikkan oleh siapa saja yang cenderung lemah dalam keterampilan diagnostik dan sinkronisasi tindakan.
Ustadzah Mumpuni telah memberi inspirasi. Urusan kebahagiaan memang harus disentuh dengan hati. Selorohnya yang berbunyi “Wong sing sakit jempole, sing dielus-elus bokonge…eeeeehhhh” itu sejatinya ungkapan perhatian yang tinggi nan berlebih. Tentu kepada pasangan sendiri. Baik oleh suami kepada isteri. Maupun isteri kepada suami. Kepentingannya untuk memuaskan sang pujaan hati. Yang disentuh adalah soal hati. Dan, insipirasi Ustadzah Mumpuni di atas memang membuat kita harus mengembangkan sistem layanan sepenuh hati.
Tapi, penting dicatat, inspirasi Ustadzah Mumpuni itu efektif untuk urusan kebahagiaan suami-isteri. Urusan privat. Dalam hubungan rumah tangga. Tapi, urusan publik mengharuskan sistem layanan mampu mengidentifikasi masalah secara teliti dan jernih. Serta sekaligus menemukan solusi atasnya secara jeli. Tentu ujungnya jitu tak terperi. Sebab, yang harus ditunaikan dalam urusan publik adalah layanan umum. Maka, ukuran kepuasannya juga harus bisa menyasar kepentingan sebanyak-banyaknya penerima manfaat layanan umum itu. Tak boleh ada preferensi atas yang satu dan meniadakan selainnya.
Karena itulah, problem addressing sebagai upaya untuk mengenali masalah dan mengambil tindakan atasnya harus mempertimbangkan banyak sisi sekomprehensif mungkin. Dengan tingkat presisi setinggi mungkin pula. Agar lahir problem solving yang jempolan. Dan oleh sebab itu, kerja perencanaan harus dilakukan dengan keterampilan diagnosis masalah hingga sinkronisasi-harmonisasi secara apik juga. Perencanaan dengan kebutuhan atas kecakapan yang demikian ini, lebih-lebih, dibutuhkan saat harus menunaikan tugas dan kewajiban menunaikan jabatan publik.
Penerimaan mahasiswa baru hanya contoh kecil saja. Betapa urusan layanan publik tak bisa diselenggarakan dengan kecerobohan yang mengemuka. Apalagi dengan main-main belaka. Butuh identifikasi yang cermat dan utuh di sana-sini. Agar solusi yang dinanti bisa menemukan kata tuntas sejak dini. Karena itu, perencanaan yang baik dengan tingkat diagnosis yang cermat atas masalah dan strategi yang jitu untuk tindakan solusinya adalah kesempurnaan kerja yang harus dikejar dan diraih. Demi kinerja organisasi yang dinanti.