Column

Oleh: Dr. Muhammad Khodafi, M.Si.

Seorang kolega yang juga pengajar di salah satu UIN di Indonesia Timur, dalam satu ulasan tulisannya mengkritik fenomena kenaikan harga-harga menjelang ramadhan dan lebaran sebagai bentuk “kegagalan” orang beriman dalam mengekang nafsu “belanja” atau konsumerismnya. Pendapat ini mungkin ada benarnya. Tetapi dalam seri “Marhaban ya Ramadhan” kali ini, kita akan melihat dari perspektif yang sedikit berbeda. Dalam tulisan kemarin yang membincang tentang kemuliaan Ramadhan, kita sempat menyinggung bahwa bulan ini adalah bulan “khusus” yang memberikan ruang reflektif kepada manusia – khususnya orang beriman – untuk memaksimalkan statusnya sebagai seorang hamba Allah yang fungsi dasarnya adalah hanya untuk beribadah kepada Allah (surah Az Zariyat 56). Karena Ramadhan adalah bulan khusus yang dianugerahkan kepada orang beriman, maka konstruksi bulan ini juga didisain secara khusus oleh Allah. Pahala amal kebaikan pada bulan ini dilipatgandakan sampai pada batasan yang hanya Allah saja yang tahu. Inilah “inflasi berlipat” dari pahala di bulan Ramadhan, dimana “harga” amal sholeh di hadapan Allah dinaikkan berlipat-lipat tanpa batas.

Kontruksi bulan suci yang memberikan keistimewaan terhadap mereka yang beramal shaleh ini, juga diikuti dengan hukum alam dimana kebutuhan untuk bersedekah dan tampil maksimal di hadapan Allah SWT mendorong juga kenaikan harga barang-barang komoditas yang memang diperlukan untuk kebutuhan bersedekah dan beribadah. Maka tidak perlu heran jika harga kebutuhan pokok dan kebutuhan sekunder lainnya juga ikut naik harganya. Inilah bentuk “ujian” bagi orang beriman apakah tetap berkomitmen untuk beramal shaleh atau tidak. Karena mereka harus mengeluarkan biaya yang lebih tinggi untuk beribadah. Pahala yang besar tentu harus dibayar dengan biaya yang besar pula, begitulah hukum alam. Orang beriman akan sadar, bahwa kesempatan beribadah di bulan suci ini, nilai pahala ibadahnya dinaikkan jauh lebih tinggi dari nilai inflasi harga barang atau komoditas kebutuhan pokok dan sekunder mereka. Tidak boleh ada prasangka buruk sedikit pun dalam hati mereka yang beriman. Bahkan ketika mereka ingin menikmati hidangan yang tidak biasa dirasakan dalam keseharian bulan- bulan selain ramadhan. Perilaku tersebut harus dimaknai sebagai bentuk rasa syukur dan gembira orang beriman dalam menyambut Ramadhan. Orang kaya tidak kuatir dengan hartanya untuk disedekahkan. Mereka yang miskin pun tidak takut bersedekah lebih, meskipun sedang dalam kemiskinan. Sebagai orang beriman mereka sadar bahwa mereka punya Tuhan yang Maha Kaya dan Maha Pemberi Rizki yang baik. Inilah puncak keimanan. Bulan istimewa harus disambut dengan istimewa karena di dalamnya ada keberkahan yang istimewa pula.

Bulan Ramadhan adalah bulan istimewa yang harus dijalani dan disikapi dengan istimewa. Semua orang beriman akan menjalani bulan ini dengan niai totalitas beribadah. Kenaikan harga komoditas dan perubahan “gaya” hidup tidak mencerminkan kegagalan kita dalam menahan diri dari “nafsu konsumtif”, tetapi lebih mencitrakan nilai rasa syukur dan kesadaran substantif keimanan, bahwa kita sedang menjalani kehidupan istimewa di bulan istimewa. Tuhan ingin mengirimkan pesan kepada orang orang beriman bahwa bulan ini adalah bulan kemanusiaan. Dimana kemanfaatan status kemanusiaan harus lebih dimaksimalkan baik dari segi (ibadah) material, sosial dan khususnya spiritual. Bukan hanya orang kaya yang bisa bahagia dan beribadah, orang-orang miskin pun harus bisa bahagia dan beribadah. Bukan hanya orang berilmu yang bisa mendapatkan privilege pahala yang besar, orang awam pun berhak mendapatkan pahala besar atas amal sholehnya. Bukan hanya pejabat yang bisa tampil rapi dan bergaya, rakyat kecil pun harus juga bisa tampil bersih dan rapi dalam kerbatasan ekonomi keseharianya di bulan istimewa ini.

Bulan Ramadhan adalah bulan mulia yang istimewa. Maka semua orang harus bisa memaksimalkan diri untuk mengisinya dengan kemuliaan kemanusiannya secara istimewa pula. Bulan dimana Allah lebih mengapresiasi semua amal shaleh dengan apresiasi yang sangat tinggi. Maka kita tak pelu heran jika semua orang beriman akan memaksakan diri semaksimal mungkin untuk “mencitrakan diri” sebagai seorang hamba yang pandai bersyukur kepada Tuhan nya.

#MarhabanYaRamadhan
#AyoRaihKemulyaanRamadhan
#AyoKuliahdiUinsaSurabaya