Column
Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

“Wahai jiwa yang tenang (muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang dan disenangi (Allah), masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al Fajr [89]: 27-30)

Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah menjelaskan derita orang-orang yang semasa hidupnya cinta harta dan lupa Tuhannya, tidak peduli kepada anak yatim dan orang miskin, serta sedih, cemberut, dan putus asa ketika hartanya dikurangi Allah. Sebagai kelanjutan, ayat-ayat ini menjelaskan sebaliknya, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat bagi orang yang hidup dengan tenang (muthmainnah).

Berdasarkan ayat-ayat sebelumnya, hidup tenang (muthmainnah) bisa diraih dengan 5 (lima) cara. Pertama, cintailah harta, tahta, istri/suami, anak, keluarga besar, dan fasilitas hidup dengan cara sewajarnya. Jangan berlebihan. Sebab, setiap saat, bisa saja keadaan berubah tidak sesuai dengan keinginan. Kedua, jangan fokus hidup hanya pada diri sendiri. Perhatikan juga anak-anak yatim, orang-orang miskin, duafak, dan siapa pun yang memerlukan bantuan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, tanpa melihat etnis dan agamanya. Mereka juga ingin masa depan yang cerah seperti Anda. Senyum mereka adalah senyum Allah untuk Anda. Ketiga, yakinlah akan janji dan kekuasaan Allah. Optimislah akan perubahan terbaik untuk hidup Anda. Allah tak pernah gagal dalam eksekusi rencana-Nya. Ia juga Maha Kuasa menolong Anda. Cukup dengan ucapan “kun fayakun,” semuanya bisa berubah. Jangan sekali-kali pesimis akan kekuasaan dan kemurahan Allah.

Keempat, terimalah dengan senang hati berapa pun rizki pemberian Allah. Jangan iri hati terhadap kenikmatan orang lain. Jangan pula serakah, apalagi meraih harta dengan cara-cara yang tidak benar, termasuk  dalam pembagian hak waris. Kelima, berpikirlah positif (husnud-dhan) terhadap semua keputusan Allah. Allah tidak pernah salah dalam membuat keputusan. Juga tak pernah ada keputusan-Nya hanya berdasar iseng, tanpa tujuan yang jelas. Jangan sekali-kali berburuk sangka (su-ud dhan) kepada-Nya. Semua keputusannya berdasar kasih-Nya, hanya saja Anda tidak tahu tujuan jangka panjang Allah untuk Anda. Jika keadaan sekarang belum sesuai dengan harapan, yakinlah, bukan karena Allah tidak mampu untuk merubahnya, melainkan Allah sedang mencari waktu yang tepat untuk memenuhi harapan Anda. Atau Allah sedang menyiapkan ganti yang lebih baik daripada rencana Anda.

Shalat, puasa, zikir, haji, umrah, dan semua ibadah lainnya harus dilakukan dengan khusyuk sehingga bisa merubah jiwa yang gelisah dan gersang menjadi jiwa yang tenang dan damai (muthmainnah). Nabi SAW menggambarkan jiwa yang damai itu sebagai berikut,   

عَجَبًا لِاَمْرِ الْمُؤْمِنِ، اِنَّ اَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَالِكَ لِاَحَدٍ اِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، اِنْ اَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَان اَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Sungguh, kehidupan orang beriman menakjubkan. Semua hal dipandang baik olehnya. (Sikap yang demikian) hanya ada pada orang yang (benar-benar) beriman. Jika mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan jika mendapat kesusahan, ia bersabar, dan itu pun dipandang baik olehnya” (HR. Muslim dari Abi Yahya, Shuhaib bin Sinan, r.a.)

            Mereka inilah yang mendapat penghormatan dan sambutan yang luar biasa dari Allah ketika Izrail bersiap mencabut nayawanya. Ruhnya berbau harum, dan para malaikat pembawa rahmat yang telah mencium keharuman itu memanggil ruh itu agar segera keluar, terbang ke langit menuju Allah yang telah menunggu dengan senyum-Nya.  

فَاَمَّآ اِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَۙ، فَرَوْحٌ وَّرَيْحَانٌ، وَّجَنَّتُ نَعِيْمٍ

“Jika dia (yang telah mati) itu termasuk orang yang dekat Allah, maka ia memperoleh ketentraman, kesenangan atau keharuman, dan surga yang penuh kenikmatan” (QS. Al waqi’ah [56]: 88-89).

Pada hari kebangkitan dan pengadilan akhirat, nama mukmin yang muthmainnah itu dipanggil lagi untuk segera menemui Allah di surga. Ia amat puas dengan sambutan Allah, dan Allah juga menyambut kehadirannya dengan senyum dan bangga (radhiyatan mardhiyah) atau radhiyallahu ‘anhum wa radhu ‘anhu (Allah senang dan mereka puas menerima rahmat-Nya / QS. Al Mujadilah [58]: 22).

Mereka diminta Allah memasuki surga dalam satu rombongan orang-orang pilihan Allah, “fadkhuli fi ‘ibadi, wadkhuli jannati,” (masukilah surga bersama rombongan orang-orang terbaik pilihan Allah), yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

“Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS. An Nisa’ [4]: 69)

Kata ‘ibadi (para hamba-Ku) dalam ayat ini, oleh Ibnu Abbas, r.a dibaca ‘abdi (hamba-Ku). Menurutnya, ruh mukmin yang tenang itu dipanggil Allah pada hari kiamat kelak untuk kembali menyatu dengan jasadnya yang suci setelah berpisah saat kematian ribuan tahun sebelumnya.

Selama Anda bisa membaca tulisan ini, berarti masih ada waktu yang tersisa untuk meraih jiwa yang tenang. Lakukan perubahan besar pada sisa waktu yang tersisa yang diberikan Allah, singkat atau lama. Sebab, hanya jiwa yang tenang yang kelak akan mati dengan senang. Semoga pembaca termasuk di dalamnya.   

Sumber: (1) Hamka, Tafsir Al Azhar, juz 30, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 88-89 (2). Qureish Shihab, M, Tafsir Al Misbah, Vol. 15, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2012.