Dr. Slamet Muliono Redjosari
Saat ini banyak ditemukan fenomena deideologisasi mahasiswa pada perguruan tinggi Islam. Realitas jelas sangat memprihatinkan dan perlu perenungan bersama. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi agama Islam, baik itu universitas negeri maupun swasta, kurang memiliki ghirah (semangat) sebagai pejuang dakwah Islam. Mereka ingin hidup enak-enakan, tak mau bersusah-payah dan usaha, namun ingin hidup sukses. Spirit perjuangan dalam beragama terkikis, dan berganti dengan orientasi kerja dan ijazah. Kalau generasi terdahulu, mereka fokus kuliah, belajar agama, dan mendalami agama. Sebaliknya, generasi saat ini, mereka kuliah dibayang-bayangi kerja apa setelah lulus, tanpa terbekali dengan agama. Inilah fenomena deideologisasi Islam di perguruan tinggi Islam.
Disorientasi Kuliah
Telah terjadi perubahan yang sangat signifikan ketika Sekolah Tinggi Agama Islam / Institut Agama Islam (khusus prodi agama) berubah menjadi Universitas (muncul prodi-prodi umum). Perubahan ini membawa implikasi adanya penurunan minat prodi agama, dan prodi umum mengalami banjir peminat. Implikasi yang cukup signifikan terjadinya perubahan orientasi beragama mahasiswa Islam, sehingga muncul deideologisasi Islam.
Kalau selama ini, prodi agama mampu mengorientasi mahasiswa dengan spirit agama yang cukup kokoh, maka dengan bergesernya minat pada prodi umum, mahasiswa Islam mengalami deideologisasi Islam. Minat pada prodi umum, seperti Matematika, Psikologi, Komunikasi, FISIP, Bahasa Inggris, Ekonomi, dan sebagainya telah menggeser prodi agama yang terdapat pada fakultas di Tarbiyah, Syariah, Ushuluddin, Dakwah, dan Adab.
Deideologisasi mahasiswa Islam ini terlihat dari munculnya mahasiswa yang kurang mendapat asahan/olahan pengetahuan agama yang kuat dan berkelanjutan. Fenomena ketidakpedulian pada waktu-waktu shalat berjamaah, ketidakaktifan pada kajian-kajian Islam tergeser oleh budaya baru, seperti ber-whatsapp ria, menggunggah media sosial seperti tik tok, Fb, dan sebagainya. Hal ini mereka lakukan di dalam maupun luar kelas. Mereka juga bebas dan lebih longgar dalam bergaul dengan lawan jenis tanpa terikat lagi dengan adab dan etika Islam.
Deideologisasi Islam bisa dilihat dari tren mahasiswa yang cangkruk di warung-warung kopi hingga larut malam, sehingga mereka tidak peduli dengan shalat berjamaah atau mengikuti kajian-kajian Islam di masjid. Mereka lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak bermanfaat bagi studi dan kehidupan spiritual mereka.
Fenomena deideologisasi ini juga dapat dilihat dari kurangnya minat mahasiswa untuk meningkatkan kualitas keislaman dengan mengikuti kegiatan-kegiatan keislaman di kampus. Terlebih lagi kampus tidak memberi wadah adanya seminar atau kajian keislaman di masjid kampus. Fenomena tidak aktif dalam meramaikan masjid-masjid, entah shalat berjamaah atau kajian-kajian Islam, menjadi tren. Mereka lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat duniawi dan tidak memiliki nilai spiritual. Pelatihan-pguna memperbaiki kualitas keimanan mahasiswa.
Mahasiswa saat ini lebih tertarik untuk mengikuti pelatihan yang mengasah skill yang berorientasi kerja. Hal ini tentu baik-baik saja, namun yang memperihatinkan, karena mahasiswa kurang minat dalam meningkatkan kualitas keinaman mereka. Sebagai mahasiswa universitas Islam seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat dalam mengamalkan ajaran Islam, namun yang terjadi tidak nampak.
Peran Elite Kampus
Untuk mengatasi fenomena deideologisasi Islam ini, perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran dan semangat keislaman di kalangan mahasiswa. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan kegiatan-kegiatan keislaman yang menarik dan bermanfaat bagi mahasiswa. Selain itu, perlu juga dilakukan penanaman nilai-nilai Islam yang kuat di kalangan mahasiswa, sehingga mereka memiliki semangat untuk mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, diharapkan mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi Islam dapat menjadi agen perubahan yang positif dan memiliki semangat untuk mendakwahkan agama Islam. Mereka seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat dalam mengamalkan ajaran Islam dan meningkatkan kesadaran spiritual mereka.
Dalam konteks ini, peran dosen dan civitas akademika sangat penting dalam membentuk karakter dan kesadaran spiritual mahasiswa. Dosen dan civitas akademika seharusnya menjadi role model bagi mahasiswa dalam mengamalkan ajaran Islam dan meningkatkan kesadaran spiritual mereka. Pelibatan civitas akademika untuk memikirkan adanya fenomena disorientasi sangat urgen. Agar akreditasi unggul diikuti dengan kualitas beragama mahasiswanya.
Untuk mengatasi fenomena deideologisasi Islam ini, perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran dan semangat keislaman di kalangan mahasiswa. Salah satu caranya adalah dengan membuka ruang kegiatan-kegiatan keislaman yang menarik dan bermanfaat bagi mahasiswa. Selain itu, perlu juga dilakukan penanaman nilai-nilai Islam yang kuat di kalangan mahasiswa, sehingga mereka memiliki semangat untuk mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, pemangku perguruan tinggi Islam dan seluruh civitas akademika sangat penting dalam membentuk karakter dan kesadaran spiritual mahasiswa. Dosen dan civitas akademika seharusnya menjadi role model bagi mahasiswa dalam mengamalkan ajaran Islam dan meningkatkan kesadaran spiritual mereka. Butuh perjuangan panjang dan berkelanjutan untuk meminimalisir semakin besarnya arus mendapatkan ijazah dengan orientasi kerja sehingga menggeser pembentukan karakter mahasiswa Islam dengan nilai-nilai Islam.
Untuk merespon budaya pragmatis, hedonis, hidup enak-enakan di kalangan mahasiswa Islam, dengan bercita-cita hidup sukses, membutuhkan effort yang kuat. Terlebih lagi, spirit perjuangan dalam beragama terus terkikis, dan tertutupi oleh orientasi kerja dan ijazah membuat mahasiswa menggeser religiusitas yang semakin menipis. Inilah deideologisasi mahasiswa di perguruan tinggi Islam.
Surabaya, 1 Mei 2025