Berita

Di era globalisasi yang terus berkembang, umat Islam menghadapi berbagai tantangan dan perubahan yang mempengaruhi pemahaman mereka terhadap ajaran agama. Salah satu aspek yang sangat penting adalah penafsiran Al-Qur’an, yang menjadi pedoman utama dalam kehidupan beragama. Dalam konteks ini, penafsiran kontemporer memainkan peran penting dalam menjawab kebutuhan zaman serta memastikan relevansi ajaran Al-Qur’an dengan realitas modern.

Pada Rabu (22/5), Himpunan Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) menyelenggarakan seminar nasional bertajuk “Kontribusi Penafsiran Kontemporer dalam Peradaban Tafsir Modern”. Dalam momen seminar kali ini, dihadirkan narasumber yang kompeten di bidangnya, yakni Dr. KH. A. Musta’in Syafi’ie, M.Ag, seorang akademisi sekaligus mufasir kontemporer. Kehadirannya diharapkan dapat memberikan wawasan yang mendalam terkait tafsir Al-Qur’an yang kontekstual dan relevan dengan isu-isu kekinian.

Dalam momen seminar itu, KH. Musta’in mengawali pembahasannya dengan menyorot tafsir aktual yang masih dalam lingkup kontemporer. Menurutnya, tafsir aktual adalah pendekatan penting dalam studi Al-Qur’an di era modern. 

“Tafsir aktual adalah pendekatan penting dalam studi Al-Qur’an di era modern, membantu umat Islam memahami teks suci dengan lebih baik dan memberikan alat untuk menghadapi tantangan zaman. Dengan menggabungkan pemahaman mendalam tentang teks dan analisis kontekstual yang relevan, pendekatan ini berperan penting dalam menjaga relevansi ajaran Islam di tengah dinamika kehidupan modern,” ujarnya.

Suasana Seminar Nasional Bincang Tafsir Modern Prodi IAT. (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Syahdan, pada seminar tersebut, KH. Musta’in juga membahas tentang bahasa yang terdapat dalam Al-Qur’an. Ia menyampaikan bahwa ia adalah orang yang tidak suka sinonimitas dalam Al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa kata dalam Al-Qur’an memiliki makna yang berbeda. “Saya termasuk orang yang tidak meyakini dengan adanya kata sinonim dalam Al-Qur’an. Contohnya seperti kata Jā’a, Atā, Ḥaḍara, meski sama-sama bermakna datang, tapi punya kekhususan masing-masing,” ungkapnya.

Pada kata lain, ia juga mencontohkan dengan kata In dan Idh, dalam bahasa Arab kedua kata tersebut memiliki arti yang sama, yakni ketika. Namun, dalam Al-Qur’an kedua kata tersebut memiliki konteks yang berbeda. Kata Idh memiliki konteks sering dilakukan, sedangkan kata In memiliki konteks jarang dilakukan.

Saat penyampaian materi dan penjelasan KH. Musta’in memberikan statement, “Doa semua nabi itu pasti pendek-pendek dan bahkan tidak to the point. Tuhan tidak perlu diterjemah,” jelasnya.

Dengan telah terlaksananya seluruh rangkaian acara, maka acara seminar diakhiri dengan penutup dan doa yang dilantunkan oleh KH. A. Musta’in Syafi’ie. “Allahumma ma‘a al-Qur’ān, allahumma ma‘a al-Qur’ān, allahumma ma‘a al-Qur’ān, rabbanā ātinā fī al-dunyā ḥasanah wa fī al-ākhirat ḥasanah waqinā ‘adhāb al-nār,” ucapnya dengan penuh penghayatan.

Saya, Sulthan Rake Anjaz, salah satu peserta seminar, merasa sangat bersyukur, berkat mengikuti seminar semakin membuka cakrawala pengetahuan dan khazanah-khazanah di balik Al-Qur’an yang begitu sangat indah. Sebagai contoh, telah dipaparkan banyak pemaknaan-pemaknaan dalam Al Qur’an yang tidak bisa dimaknai berdasarkan makna aslinya tapi berdasarkan konteks ayat yang sedang dibicarakan.

Lebih lanjut, saya ucapkan terima kasih kepada HMP IAT karena telah menggelar acara seminar yang luar biasa. Waktu yang relatif sebentar bisa mendapatkan ilmu tafsir yang berbobot tetapi realistis dengan kehidupan. Hal ini membuat saya semakin mencintai Al-Qur’an yang universal sepanjang zaman.

Akhirnya, semoga agenda semacam ini dapat terus terlaksana secara berkesinambungan tiap tahunnya. Sebab, asupan ilmu tak hanya sebatas pada perkuliahan yang dilaksanakan di kelas-kelas. Akan tetapi, juga dapat dieksplorasi melalui kegiatan-kegiatan seminar dan sejenisnya.

Penulis: Sulthan Rake Anjaz
Editor: Ahmad Fariza Abdullah