Oleh: Dr. Nasaruddin Idris Jauhar
Al-Quran adalah kalam ilahi yang mulia. Kemuliaan Al-Qur’an tidak hanya karena diturunkan sebagai petunjuk bagi alam semesta, tapi juga karena memercikkan kemuliaan kepada siapa dan apa saja yang terkait dengannya.
Jibril a.s. disebut yang termulia di antara para malaikat, karena ia adalah pembawa Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad saw sendiri adalah yang termulia di antara semua nabi dan rasul, karena beliaulah penerima dan penebar risalah Al-Qur’an. Bulan Ramadan disebut bulan mulia karena dipilih Allah sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an. Dan malam Lailatul Qadar disebut malam mulia penuh keberkahan karena merupakan malam diturunkannya Al-Qur’an.
Manusia pun meraih kemuliaan dan keutamaannya di sisi Allah sesuai dengan interaksinya dengan Al-Qur’an. Siapa yang membaca Al-Qur’an, pribadi dan sikap hidupnya akan mulia. Rasulullah menggambarkannya laksana buah yang lezat rasanya dan harum baunya. Di akhirat kelak, ia akan dikumpulkan bersama hamba-hamba-Nya yang mulia. Al-Qur’an akan memintakan syafaat Allah untuknya, dan ia akan diminta membacanya sebagaimana ia membacanya saat hidup di dunia.
Belum lagi kalau Al-Qur’an itu dibaca dan kemudian diajarkan kepada orang lain. Rasulullah menyebut orang-orang yang mampu melakukannya sebagai yang terbaik dari ummatnya. Dan kalau mereka menaikkan level interaksi mereka bersama Al-Qur’an dengan mengkaji dan mendiskusikannya dengan sesama mereka, naik pula derajat mereka di sisi Allah. Allah akan menurunkan ketenangan dan kedamaian dalam hidup mereka, menyelimuti mereka dengan rahmat-Nya dan mengenalkan mereka kepada para malaikat-Nya.
Bagaimana kalau Al-Qur’an tidak hanya dibaca dan dikaji tapi juga diwujudkan dalam sikap dan tingkah laku? Itu tentu sebuah capaian yang lebih istimewa lagi. Itu sudah pada level mencontoh sang pembawa Al-Qur’an itu sendiri. Sebagaimana yang diceritakan Aisyah r.a., Rasulullah itu akhlaknya adalah Al-Qur’an. Artinya, tutur kata dan sikap beliau adalah “verbalisasi dan visualisasi” dari Al-Qur’an itu sendiri.
Di samping itu, atau akumulasi dari itu semua, ada level lain dari bentuk interaksi seorang hamba dengan Al-Qur’an, yaitu interaksi atas dasar dan atas nama cinta. Level ini sudah dicapai oleh sahabat-sahabat Nabi ketika proses turunnya Al-Qur’an masih berlangsung. Salah satunya, direkam dalam hadis sahih Bukhari dan Muslim.
Suatu saat, Rasulullah mengutus seorang lelaki untuk memimpin suatu misi. Uniknya, lelaki ini selalu membaca surah Al-Ikhlas setiap kali mengimami teman-temannya. Padahal, sebagai sahabat dan orang kepercayaan Rasulullah, ia tentu hafal banyak surah dan ayat. Ini mengundang heran para sahabatnya. Ketika kembali, mereka langsung melaporkan hal ini kepada Rasulullah.
Rasulullah menanggapi laporan mereka dengan berkata, “Tanyakan kepadanya, kenapa ia melakukan itu.” Ketika mereka menanyakan itu padanya, ia menjawab “Karena surah Al-Ikhlas berisi sifat-sifat Allah Yang Mahapenyayang, sebab itu aku mencintainya dan suka membacanya.” Ketika jawabannya ini disampaikan kepada Rasulullah, beliau menaggapinya dengan sebuah kalimat yang menggetarkan, “Katakan kepadanya bahwa Allah mencintainya!”
Betapa agung interaksi seorang hamba dengan Al-Qur’an yang lahir karena cinta. Ia langsung berbalas cinta dari Zat yang menurunkan Al-Qur’an itu sendiri. Ini bisa dimaklumi, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah dan Allah mencintai siapa pun yang mencintai kalam-Nya. Lebih jauh, cinta kepada Al-Qur’an itu sendiri adalah salah satu ekspressi cinta kepada-Nya. Sahabat Ibnu Mas’ud mengatakan “Siapa yang mencintai Al-Qur’an berarti mencintai Allah.”
Cinta Al-Qur’an adalah puncak dari interaksi seorang hamba dengan kitabullah. Karena untuk sampai ke level ini, ia harus melewati sejumlah tahapan interaksi yang intim dengan Al-Qur’an, mulai dari membacanya, memahaminya, merenungkannya, berdialog dengannya, dan mewujudkannya dan sikap dan tingkah laku.
Ketika sahabat utusan Nabi tadi mengatakan bahwa ia mencintai surah Al-Ikhlas, berarti ia telah membaca dan memahami isi kandungannya, merenungkan dan mentadaburinya, serta berdialog dan berinteraksi dengannya. Dari sinilah lahir rasa cintanya terhadap surat empat ayat yang setara dengan sepertiga Al-Qur’an itu. Dan pilihannya untuk selalu membacanya setiap kali mengimami salat berjamaah adalah ekspresi dan bukti nyata kecintaannya terhadap surah tersebut. Seseorang tak akan jauh dan lepas dari apa yang dicintainya. Kalau saat mengimami salat berjamaah saja, dimana biasanya seorang imam cenderung menghindari surah pendek, ia selalu membacanya, apalagi ketika salat sendiri, ketika biasanya orang membaca surah pendek.
Pengalaman para sahabat Nabi tersebut adalah pesan dan pelajaran berharga bahwa interaksi dengan Al-Quran jangan hanya sebatas membacanya saja. Memang membacanya saja sudah merupakan kebaikan yang utama, tapi jangan dilupakan bahwa Al-Qur’an adalah pedoman hidup yang harus dipahami dan direnungkan agar kemudian bisa diterjemahkan dalam sikap dan perilaku.
Pengalaman para sahabat yang mulia tersebut juga meninggalkan pesan bahwa Rasulullah memberi penekanan khusus akan penting dan utamanya memahami dan mencintai Al-Qur’an. Lihatlah cara beliau menyikapi pengaduan tentang lelaki yang diutusnya itu. Beliau tidak memanggilnya untuk mengkalirifikasi langsung kenapa ia selalu mengimami salat dengan surat Al-Ikhlas, tapi menyuruh sahabat-sahabatnya menanyakan alasannya melakukan hal tersebut. Begitu juga ketika beliau sudah tahu alasannya, beliau tidak memanggilnya untuk mengatakan langsung kepadanya bahwa Allah mencintainya, tapi menitipkan kabar langit yang tak ternilai itu lewat sahabat-sahabatnya.
Gaya komunikasi tersebut sengaja beliau lakukan agar teladan unik yang bersifat personal itu menjadi konsumsi dan pengetahuan publik. Dengan melibatkan banyak orang, masalah itu menjadi viral dan lebih cepat menarik perhatian khalayak. Di samping itu, komunikasi unik beliau tersebut membuat peristiwa tersebut terekam kuat dalam ingatan ummatnya, karena terabadikan dalam sebuah cerita yang menarik. Melalui gaya komunikasi yang demikian, beliau mengirimkan pesan mahapenting kepada ummatnya, saat itu dan sampai akhir zaman, bahwa nilai hamba di hadapan Allah bergantung level dan kualitas interaksinya dengan Al-Qur’an. Siapa yang berinteraksi dengannya atas dasar cinta, dia akan dicintai oleh Allah SWT. Wallahu A’lam.