Surabaya, 29 Juni 2025 – Sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, China selalu menarik untuk dikaji. Sejak era 90an, China sukses melakukan industrialisasi di berbagai sektor perekonomian sehingga dikenal dengan sebutan ‘pabriknya dunia’. Beriringan dengan hal tersebut hubungan dagang Indonesia-China juga mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada tahun 2024, nilai perdagangan Indonesia-China telah mencapai $130 juta.
Dalam iklim perdagangan bebas, negara-negara yang mampu menjual komoditas unggulan dalam pasar dunia akan menjadi negara yang kuat secara ekonomi. Namun, kegiatan import-export seringkali menghadapi berbagai tantangan politik maupun hambatan yang sifatnya regulatif. Ini adalah tema atau isu yang sangat menarik untuk dikaji oleh mahasiswa/i yang mengambil program studi hubungan internasional.

Dian Putri Ratna Dewi, salah satu mahasiswi HI angkatan 2021, rupanya juga tertarik pada isu tersebut. Ia mengaku mulai tertarik dengan dinamika perdagangan internasional saat melakukan magang di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur. Di sana, ia terlibat langsung dengan kegiatan business matching yang mempertemukan para pelaku bisnis dalam negeri dengan mitra dagang dari luar negeri. Melalui kegiatan tersebut, “wawasan saya menjadi terbuka tentang bagaimana proses ekspor dapat difasilitasi oleh pemerintah dan China menjadi salah satu negara mitra dagang yang sangat potensial” ungkap Dian.
Ketertarikan pada negeri China mendorong Dian untuk membaca dan menelah jenis-jenis regulasi perdagangan. Ia menemukan bahwa pada tahun 2022, General Administration of Customs of China (GAAC) menetapkan perubahan regulasi tentang standard import. Kebijakan ini ternyata membawa dampak yang signifikan bagi perusahaan eksportir di Indonesia, baik yang berskala besar maupun yang berskala kecil (UMKM). Menurut Dian, kendala yang dihadapi ekspor Indonesia dalam menembus pasar China adalah tema yang menarik untuk diangkat dalam penelitian skripsi.
Ketika berkonsultasi dengan Bapak Fathoni Hakim, selaku dosen pembimbing, ia disarankan untuk fokus mengkaji salah satu sektor. Dian kemudian memilih sektor perikanan karena tiga alasan. Pertama, sektor perikanan menyumbang proporsi ekspor terbesar ketiga bagi pemerintah Indonesia. Kedua, potensi hasil laut Indonesia sangat melimpah untuk dijadikan komoditas ekspor. Terakhir, kajian akademik yang membahas peraturan GACC masih tergolong minim, khususnya dalam sektor perikanan. Berdasarkan beberapa hal tersebut judul proposal penelitian yang ia ajukan adalah “Upaya Indonesia dalam Merespon Perubahan Regulasi General Administration of Customs of China (GACC) Tahun 2022 di Sektor Perikanan.”
Dalam proses penulisan, Dian mengaku menghadapi banyak kendala. Misalnya tentang pilihan metode penelitian dan unit analisis yang relevan. Kendati demikian ia tetap berusaha mencari solusi dengan bekal arahan dari dosen pembimbing. Selama hampir satu tahun, ia bergulat dengan penelitian ini. Tentu proses penulisan skripsi merupakan pengalaman yang berharga. Menjalani proses tersebut telah mengajarkan dirinya untuk lebih sabar dan teliti, melatih kemandirian serta mengasah ketekunan. Singkatnya menulis skripsi adalah proses pendewasaan diri, tegas Dian.
Penelitian Dian menemukan bahwa Indonesia menunjukkan respon yang bersifat institusional dan strategis terhadap perubahan regulasi GACC. Melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama dengan Badan Karantina Indonesia (Baratin), Indonesia melakukan pendekatan diplomasi dengan GACC. Dua lembaga tersebut menjadi ujung tombak dalam menegosiasikan perbedaan standar hingga persoalan teknis administrasi dalam hubungan dagang Indonesia-China. Dian menyimpulkan bahwa hambatan non-tarif komoditas ekspor sektor perikanan ke China direspon secara kolaboratif dan adaptif oleh pemerintah Indonesia. (ASE)
Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan dan program FISIP UINSA, silakan kunjungi dan ikuti media sosial kami di Instagram.