Surabaya (8/03/2023), Geliat sastra di Prodi Sastra Indonesia tampak dalam kegiatan Studium General yang diadakan pada hari ini. Sebuah langkah awal untuk memicu semangat mahasiswa angkatan terbaru menuju dunia kritik sastra. Dewan Kesenian Sidoarjo menjadi rekan kerjasama pada kegiatan ini, diwakili secara langsung oleh Ribut Wijoto, S.S selaku Ketua Umum.
“Dulu sastra adalah kelas Brahmana, nah sekarang sastra tampak dimarginalkan. Apa yang terjadi? Inilah sebab kita menjadi manusia yang one dimentional man, seperti kata Herbert Marcuse. Manusia-manusia satu dimensi yang dimaksud Herbert Marcuse adalah masyarakat pasif dan reseptif, tidak kritis, dan tidak ada lagi yang menghendaki perubahan. Dalam masyarakat satu dimensi itu terjadi produksi materi yang melimpah. Kita lupa ajaran Rosul, sebaik-baiknya manusia adalah yang memanfaatkan ilmunya dan mengamalkannya. Untuk mengatasinya kita bisa mulai dengan melakukan kajian sastra. Sastra adalah salah satu ilmu yang menjadi jembatan untuk mengatasi fenomena manusia satu dimensi ini,” sambut Wakil Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Dr. Muhammad Khodafi, M.Si..
Kegiatan seremonial berlanjut dengan sesi penandatanganan MOU antara prodi Sastra Indonesia dengan Dewan Kesenian Sidoarjo. “Semoga dengan penandatanganan MOU ini menjadi langkah lanjutan yang baik dan berpengaruh positif,” sambut Haris Shofiyuddin, M.Fil.I., Kaprodi Sastra Indonesia.
“Kritik ini bukan mencari kesalahan, bukan menghujat, menyampaikan semua keburukan. Disini kritik lebih ke apresiasi. Tidak hanya menyampaikan yang jelek-jelek saja, tapi sisi baiknya juga disampaikan,” buka Ribut Wijoto mengawali materi.
Seorang kritikus sastra akan mengevaluasi karya sastra dalam berbagai sudut pandang seperti sejarah, psikologi, sosial, budaya, dan politik. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman lebih mendalam tentang karya sastra, memberikan evaluasi dan penilaian terhadap kualitas karya, serta memberikan pandangan lebih luas dan kritis terhadap dunia sastra secara umum. Kritik sastra juga dapat membantu pembaca untuk memahami makna dan nilai dari karya sastra tersebut serta memberikan saran dan masukan bagi pengarang untuk meningkatkan karya-karya mereka di masa depan.
“Dewasa ini, kritikus sastra sudah mulai hilang. Sebabnya apa? Karena mereka tidak terbiasa untuk mengkritik. Mereka yang saya maksud adalah kalangan mahasiswa maupun masyarakat sastra nonakademis. Tidak adanya kritikus, menyebabkan tidak ada kritik, karena tidak ada kritik, di media pun juga terasa hambar karena tidak ada kritik. Hilangnya kritikus sastra hari ini berdampak pada ‘rasa’ media,” tutup Moh. Atikurrahman, M.A, dosen Prodi Sastra Indonesia yang pada kesempatan ini juga menjadi narasumber.