Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Penerbangan pagi itu terasa tenang sekali. Itu awalnya. Maklum, penerbangan jam 05:00 WIB pagi. Jumat, 06 September 2024. Dari Bandara Soekarno Hatta Cengkareng ke Surabaya. Itu perjalanan transitku dari Palembang. Usai bertugas sosialisasi sistem kenaikan jabatan fungsional dosen. Namun, hanya beberapa menit kemudian usai take off, semua jadi berubah. Tak lagi setenang di awal. Karena pikiranku terganggu. Kenyamananku terusik. Kala itu, seorang perempuan dengan kostum pekerja kantoran yang duduk di sebelahku mengeluarkan gunting kuku. Diguntinglah kuku tangannya. Satu per satu jari.

Bersamaan dengan bunyi cetuk yang keluar dari gunting kuku itu, lepaslah bagian ujung kuku satu per satu. Usai kuku terpotong dari jari yang satu, berganti ke kuku jari lainnya. Lengkap. Satu-persatu. Dengan santai sekali dia lakukan pemotongan kuku itu. Sampai tuntas. Sambil berbincang santai dengan rekan kerjanya di sebelah kirinya. Tapi, sialnya, kuku yang terlepas dari jari-jemari penumpang perempuan pekerjaan kantoran itu terlempar kesana-kemari. Terlepas ke mana-mana. Secara tak terkendali. Meskipun potongan kuku terbanyaknya masih di pangkuannya, tetap saja ada sejumlah sisanya yang terlepas kemana-mana. Ke arah depan pangkuannya. Juga tentu ke sisi kiri dan kanannya. Tanpa dia merasa bersalah sedikitpun.

Beberapa kuku hasil guntingan itu menempel di bagian paha celanaku. Satu menempel, diikuti potongan kuku lainnya. Kuhitung ada beberapa yang menempel di celana bagian pahaku. Kudiam saja kala itu. Tak menegurnya sama sekali. Kuingin tahu apa reaksi penumpang perempuan itu saat ada potongan kuku jemarinya terlesat ke bagian penumpang sisi sebelahnya. Tapi, sekali lagi, kuperhatikan perempuan itu tak memiliki rasa bersalah. Sama sekali. Buktinya, dia lakukan pemotongan kuku jari-jemarinya itu. Hingga tuntas semuanya. Tentu, sekali lagi, tanpa ada perasaan bersalah. Karena kuku hasil guntingannya melesat ke luar dirinya. Hingga ke pangkuan diriku sekalipun.

Lebih parah lagi, usai memotong kuku di semua jemarinya, kuku hasil guntingannya dia kebaskan ke bawah. Dia buang begitu saja semua kuku hasil guntingannya itu ke bagian bawah. Ke lantai pesawat. Dengan cara dikebasin secara kuat. Hingga akhirnya, semua kuku hasil guntingannya yang semula berada di pangkuannya terkebaskan ke bawah. Lalu, dia masukkan kembali gunting kuku itu ke dalam tasnya. Dia pun berhasil memotong semua kuku dari jari-jemarinya. Potongan kukunya pun tak lagi ada di pangkuannya. Celananya pun kembali bersih. Walaupun ada sejumlah yang terlepas dan menempel di celana tetangga tempat duduknya. Dia pun, lagi-lagi, tak merasa bersalah sediktipun.  

Aku pun berbisik dalam hati. “Ini orang enak banget dengan aksi gunting kukunya. Dan mengotori bagian dalam pesawat dengan kuku guntingannya. Tapi tak ada perasaan bersalah. Apalagi minta maaf. Minimal ke tetangga sebelah tempat duduknya.” Begitu gumamku dalam hati.  Aku pun tak habis mengerti. Kok bisa-bisanya dia melakukan itu. Tak merasa bersalah lagi. Apalagi meminta maaf kepada selainnya. Itu semua tak dia lakukan. Kepada penumpang di sebelah kanan dan kirinya. Dan dari tampang dan cara berpakaiannya, dia tampak sebagai pekerja kantoran. Di Jakarta. Namun, pagi itu tampaknya dia sedang akan bertugas ke Surabaya.

Kabin dan atau ruas dalam tempat duduk penumpang pesawat adalah contoh dari ruang publik. Ruang publik itu mempertemukan kepentingan banyak orang. Karena, dari konsep dasarnya, ketika sesuatu terbuka untuk umum, maka itulah yang disebut dengan ruang publik. Ketika sesuatu bisa diakses oleh banyak orang secara sama, maka itulah ruang publik. Habermas menyebutnya dengan public sphere. Dalam buku babonnya mengenai public sphere (lihat The Structural Transformation of the Public Sphere, 1991:1), Habermas menyatakan begini: “We call events and occasions “public” when they are open to all, in contrast to closed or exclusive affairs” (Kami menyebut kegiatan dan peristiswa itu “publik” jika terbuka untuk semua orang, berbeda dengan urusan tertutup atau eksklusif). Jadi sederhana sekali batasannya. Saat engkau berada di ruang yang terbuka untuk, dan karena itu bisa dikases oleh, umum, maka engkau sedang berada di ruang publik.

Foto: Sampul Buku The Structural Transformation of the Public Sphere

Untuk memperjelas konsep ruang publik atau public sphere di atas, Habermas dalam karyanya di atas (1991:2) juga menghadirkan istilah public organ (organ publik). Begini kata Habermas: “Depending on the circumstances, either the organs of the state or the media, like the press, which provide communication among members of the public, may be counted as “public organs”.” Terjemahannya begini: “Bergantung pada keadaan, baik organ negara atau media, seperti pers, yang menyediakan komunikasi di antara anggota masyarakat, dapat dihitung sebagai “organ publik.” Dengan konsep ini, pemerintah yang menyelenggarakan sekolah negeri dengan layanan pendidikannya yang terbuka untuk warga masyarakat, sebagai contoh, bisa disebut dengan organ publik. Begitu pula dengan media massa yang menyediakan layanan komunikasi dan informasi untuk anggota masyarakat juga dapat disebut dengan organ publik.

Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan penerbangan yang menyediakan layanan penerbangan untuk umum atau banyak orang, juga bisa disebut dengan organ publik. Nah, ruang dalam pesawat yang dimanfaatkan perempuan kantoran di atas untuk memotong kuku jemarinya adalah juga ruang publik. Organ publiknya adalah perusahaan penerbangan yang menyediakan layanan penerbangan hingga membuat perempuan itu bisa mengakses layanan itu untuk terbang bersama penumpang lainnya. Karena layanan penerbangan itu terbuka untuk umum, maka seluruh yang terkait dengan fasilitas penerbangan itu juga menjadi ruang publik. Termasuk kabin atau bagian dalam tempat para penumpang duduk dan menikmati penerbangan itu.

Karena ruang penerbangan pesawat itu adalah ruang publik, maka sudah semestinya berlaku pula hukum ruang publik. Yakni, norma yang berlaku untuk mewadahi kepentingan bersama seluruh individu yang ada di dalamnya. Tak harus tertulis memang hukum ruang publik itu. Karena substansinya sejatinya adalah norma sosial. Namun keberadaannya menjadi pengikat kepentingan bersama. Karena, norma sosial itu mengikut semua individu yang ada di dalamnya ke dalam cakupannya. Menyelisihi berarti melanggarnya. Menabraknya berarti mengeluarkan diri darinya. Sebagai akibatnya, kepentingan umum pun akhirnya terganggu. Termasuk kenyamanan yang harusnya bisa mereka nikmati secara sama bersama semuanya. 

Dari norma sosial itulah muncul apa yang disebut dengan akhlaq ruang publik. Itu karena, norma sosial itu mengandung etika publik. Kriteria dan cakupannya tentu adalah kepentingan bersama. Karena itu, memotong kuku jemari yang mengganggu kepentingan penumpang pesawat lainnya dalam kasus perilaku perempuan  di atas tentu tak menunjukkan akhlaq ruang publik. Sederhana sekali alasannya. Itu pasti mengganggu penumpang lainnya. Sebab, begitu seseorang masuk ke ruang publik, maka dia terikat dengan kepentingan umum atau banyak orang. Kepentingan umumlah yang menjadi titik tumbuhnya hukum ruang publik. Nah, akhlaq ruang publik itu dibutuhkan untuk mengkerangkai kepentingan umum.

Karena itu, kisah perempuan kantoran yang memotong kuku jemarinya di ruang pesawat di atas harus bisa menjadi pelajaran bersama. Kejadiannya memang dalam konteks penerbangan pesawat. Ruang publik dalam kaitan ini berkaitan dengan layanan penerbangan pesawat komersial itu. Karena pesawat komersial, maka kepentingan umum ada didalamnya. Meskipun kasusnya berkaitan dengan layanan penerbangan pesawat komersial yang demikian, cakupan substansinya bisa ditarik ke semua kepentingan bersama di ruang publik. Fokusnya adalah tentang akhlaq ruang publik. Itu semua penting untuk mendapatkan pembahasan yang cukup mendalam. Kepentingannya agar akhlaq ruang publik bisa semakin menjadi kesadaran bersama. Tentu ujungnya untuk kebaikan umum.

Nah, untuk kepentingan inilah, ada dua pelajaran penting yang bisa ditarik dari kejadian perempuan kantoran yang memotong kuku jemarinya di ruang dalam pesawat di atas. Pertama, jangan kehilangan akhlaq publik saat berada di ruang bersama atau tempat umum. Apa itu akhlaq publik? Seperti disinyalir sebelumnya, itu adalah akhlaq yang berlaku saat seseorang berada di ruang publik bersama anggota masyarakat lainnya. Isinya norma sosial yang mengikat semua orang ke dalamnya. Seseorang bisa saja memiliki kebiasaan tersendiri. Dan kebiasaan itu bisa saja dia lakukan sesukanya. Tidak masalah. Itu saat dia berada dalam ruang kesendiriannya. Tak bersama yang lain. Tapi, saat berada dengan yang lainnya di tempat umum, maka dia terikat dengan norma kepentingan umum. Di situlah akhlaq publik itu berlaku.  

Memang, akhlaq itu sejatinya tak mengenal ruang. Apakah itu ruang privat atau ruang publik. Apakah ruang pribadi atau ruang umum. Karena akhlaq itu urusan hulu. Praktik perilaku adalah hilirnya. Begitu kan yang disampaikan oleh al-Imam al-Ghazali? Lihatlah karya magnum opus-nya; Ihya ‘Ulum al-Din. Pada juz atau volume 3 di halaman 52, dia menyatakan begini: al-khuluq  ‘ibarah ‘an hai’ah fi al-nafs rasikhah ‘anha tashdur al-af’al bi suhulah wa yusr min ghair hajah ila fikr wa ruwiyah.  Terjemahannya seperti ini: akhlaq itu konsep tentang kondisi intrinsik dalam diri seseorang yang melahirkan perilaku diri dengan mudah dan lancar tanpa perlu banyak mikir dan pertimbangan. Di sini, al-Imam al-Ghazali secara jelas menyebut akhlaq itu hulu, dan perilaku adalah hilirnya. Istilah yang digunakannya untuk menyebut hulu tersebut adalah al-mashdar, seperti terkandung dalam kutipan di bawah. Hulu mengalirkan sesuatu ke hilir. Dan hilir mencerminkan hulu.

Foto: Halaman 52 dari juz atau volume 3 Kitab Ihya ‘Ulum al-Din

Keberadaan akhlaq publik itu perlu ditekankan untuk menyatakan bahwa seseorang tak boleh sembarangan jika sudah berada di ruang publik. Sikap, perilaku, dan kebiasaan yang dilakukan di ruang privatnya tak boleh dilakukan semaunya saat dia berada di ruang publik. Karena akan mengganggu kepentingan orang banyak. Minimal, karena akan mengganggu kenyamanan sesamanya. Itulah kenapa kebiasaan ngupil saat sendiri tak sepatutnya dilakukan saat berada bersama banyak orang. Juga, meludah atau mengeluarkan dahak sembarangan tak sepatutnya dilakukan saat berada di ruang publik. Karena orang lain di ruang publik yang sama itu akan merasa kenyamanannya terganggu.

Pelajaran kedua, akhlaq publik itu milik dan tanggung jawab semua kalangan. Terlepas dari soal kelas sosial ekonomi sebagai latar belakang. Artinya, apapun status kelas sosial ekonomi yang disandang, akhlaq publik tetap berlaku sama. Bukan berarti akhlaq publik itu hanya menjadi kewajiban kelas sosial ekonomi bawah atau terdeprivasi saja. Lalu, yang kelas menengah atas tak terkena kewajiban yang sama. Tentu tidak. Sama sekali tidak. Bahkan, sejatinya, kelas sosial ekonomi menengah ke atas semakin besar kewajibannya untuk menjunjung tinggi akhlaq publik itu. Karena kemapanan material semestinya diikuti dengan kematangan berakhlaq di ruang publik.

Namun, ironi makin besar saat kejadian sebaliknya menguat. Pada perempuan kantoran yang memotong kuku jemarinya di ruang dalam pesawat di atas, sebagai contoh, jelas sekali tergambar bahwa kategori kelas menengah itu ternyata murni soal ekonomi. Budaya dan nilai belum tentu membuatnya menyertai kemapanan ekonominya. Kesadaran soal berbagi ruang dan menghormati kepentingan bersama seharusnya kuat terpateri dalam diri kelas menengah. Namun, fakta yang terjadi, seperti diwakili oleh perilaku perempuan kantoran yang memotong kuku di dalam pesawat dan menimbulkan ketidaknyamanan selainnya di atas, menjadi bukti bahwa tak selalu naiknya indeks ekonomi seseorang diikuti dengan naiknya pemahaman, kesadaran dan praktik nilai berbagi di ruang publik yang menjadi penciri khas kelas menengah.

Merujuk kepada dua pelajaran di atas, maka siapapun Anda memiliki kewajiban untuk menjaga akhlaq ruang publik. Secara sama. Bersama sesama. Sebab, masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjunjung tinggi dan mempraktekkan akhlaq publik itu. Tanggung jawab itu tak mengenal kelas sosial ekonomi. Apakah kelas sosial ekonomi bawah ataukah menengah atas. Semua sama. Terkena kewajiban yang setara. Kelas sosial hanyalah soal kemapanan material. Dan, kemapanan material hanyalah untuk memudahkan hidup saja. Namun demikian, kemapanan spiritual seharusnya juga mengalami penguatan yang sama. Karena kemapanan spiritual itu menunjukkan tingkat kedalaman pemaknaan hidup dan kesadaran diri.

Penjelasannya sangat sederhana. Setiap kita pasti berada dalam dua dimensi kehidupan yang sama, material dan spiritual. Keduanya bersemayam secara sama. Karena itu, mapan di satu dimensi seharusnya juga diikuti dengan kemapanan di satunya lagi. Jika hanya satu dimensi saja yang mengalami kemapanan, tentu hidup akan mengalami ketidakseimbangan. Lebih-lebih saat diri sudah mengalami kemapanan material, maka tuntutan untuk mapan secara spiritual juga menjadi semakin tinggi dan konkret adanya. Karena itu, dimensi material dan spiritual dari hidup harus dirawat sekuat mungkin. Juga sesetara mungkin. Kepentingannya agar hidup terus seimbang dan berimbang.

Karena itu pula, maka Anda yang orang dewasa tak seharusnya hanya berpikir ke dalam diri sendiri semata. Dengan menjaga akhlaq ruang publik sendiri saja. Sebab, orang dewasa juga punya kewajiban untuk menanamkan akhlaq ruang publik kepada generasi yang lebih muda. Termasuk oleh orang tua kepada anak-anaknya. Hanya, kewajiban untuk menanamkan akhlaq ruang publik ini tampak semakin membesar saat Anda yang orang dewasa itu berprofesi sebagai pendidik. Apakah namanya guru ataukah dosen. Tangung jawab untuk menanamkan akhlaq ruang publik ini tak bisa ditawar-tawar. Peserta didik penting untuk dilibatkan ke dalam proses pembelajaran yang konkret berbasis pengalaman riil. Karena itu, libatkanlah mereka ke dalam proses yang positif untuk terjadinya pembelajaran akhlaq ruang publik. Tidak hanya berhenti pada penanaman akhlaq ruang privat semata.

Penguatan proses pelibatan peserta didik ke dalam eksperimentasi dan implementasi akhlaq ruang publik di atas akan dengan sendirinya membuat mereka terkondisikan kepada penghormatan dan sekaligus penjunjungan akhlaq ruang public itu. Di situlah pembelajaran akhlaq ruang publik itu sejatinya dimulai. Tak hanya melalui pembelajaran verbal. Melainkan lebih-lebih melalui proses conditioning berbasis praktik hidup yang konkret. Jika proses yang demikian bisa diwujudkan, maka pendidik telah menanamkan investasi masa depan yang luar bisa tinggi kepada peserta didik untuk menjalani masa depannya secara mapan dan seimbang. Harapan terhadap membaiknya ruang publik pun bisa digantungkan pada para pendidik yang berhasil melakukan proses ini dalam penyelenggaraan pembelajarannya.

Prinsip berikut ini pun lalu penting dicamkan: Naiknya indeks akademik seseorang tak selalu identik dengan naiknya akhlaq publiknya. Sekolah itu penting. Kuliah pun juga begitu. Karena semua itu akan selalu meningkatkan indeks akademik. Tapi, kemuliaan indeks akademik itu harus disempurnakan dengan indeks akhlaq publik. Beraktivitas di ruang publik akan menjadi bukti atas akhlaq publik itu. Maka, jangan pernah kotori diri dengan praktik buruk di ruang publik. Di sinilah akhlaq ruang publik penting menjadi perhatian dan kesadaran bersama.