Berita

Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya menggelar konferensi Internasional tahun kedua. The 2nd ICONITIES (International Conference on Islamic Civilization and Humanities) kali ini mengangkat tema, CULTURAL DIVERSITY IN THE ISLAMIC WORLD (Exploring the Diverse Cultures, Languages, Literatures, and Traditions within Islamic Societies). Di hari pertama Iconities 2024, Selasa 28 Mei 2024 merupakan rangkaian acara Opening Ceremony dan Konferensi oleh 4 narasumber, di antaranya; Dr. Theis Greentree dari Centre for Islamic Da’wah dan Education and Al-Insaan New Muslim Learning Community, Australia, menjelaskan tentang sejarah datangnya Islam dan kehidupan Muslim di Australia pada masa kini. Beliau mengenalkan berbagai istilah yang menarik. Misalnya, Mualaf Gedung, ini adalah sebutan bagi bangunan gereja yang dibeli oleh komunitas Muslim dan disulap menjadi masjid. Narasumber ketiga yakni Dr. Ahmad Yani dari Sultan Sharif Ali Islamic University, Brunei, menyajikan materi yang juga sangat menarik. Beliau menjabarkan mengenai sebab-sebab peradaban masih terus eksis sampai saat ini. Tidak lain karena banyaknya Muslim yang terus menggemakan peradaban Islam itu sendiri dengan terus belajar dan mengajar.

Materi ketiga yang tak kalah menarik dilanjutkan oleh seorang Dalang senior dari Nganjuk yakni Dr. Lukman. Beliau menyandingkan tradisi dan Islam dalam praktik yang masih dilakukan hingga saat ini yaitu ruwatan. Dasar, kondisi dan prosesi ruwatan dijelaskan secara ekspresif, tidak hanya melalui gambar dan kata-kata tetapi juga dengan demonstrasi cara duduk seorang dalang saat prosesi ruwatan. Materi terakhir ditutup oleh narasumber keeempat yakni Dr. Arthur E. Schneider dari Georgetown University, Washington, memaparkan tentang Best Practice EMI (English as Medium of Instruction) yaitu pelatihan untuk guru dan dosen diberbagai level Pendidikan yang menggunakan Bahasa pengantar Bahasa Inggris. Dr. Schneider telah memberikan banyak pelatihan bagaimana memberi instruksi dengan Bahasa Inggris menjadi mudah dan bermakna serta membuat siswa/mahasiswa paham tentang materi dan tahu apa yang harus dilakukan.

Ditemani oleh moderator handal dari prodi Sastra Inggris Fahum UINSA, yakni Prof. Dr. A. Dzo’ul Milal, M.Pd. diskusi menjadi semakin renyah dan bermakna. Ketika sesi diskusi telah usai, beberapa peserta yang hadir sangat aktif untuk bertanya. Salah satunya peserta dari Palu, Sulawesi, ibu Gusnarib Wahab dari UIN Datokarama, Palu, Sulawesi Tengah yang menanyakan tentang bagaimana model penerapan Moderasi Beragama di Australia di era globalisasi ini?. Kemudian seorang mahasiswi BSA Fahum UINSA bertanya tentang apakah ada diskriminasi atau kebencian terhadap Muslim di Australia yang merupakan masyarakat minoritas? Dr. Theis Greentree yang memiliki nama hijrah Muhammad Ali Abdullah, menjawab bahwa, moderasi beragama di Indonesia lebih bermoderasi dibandingkan dengan Australia. Meskipun Australia menyebut dirinya sebagai Multicultural Country, tetapi masih ada perlakuan yang kurang adil bagi seluruh komunitas budaya. Misalnya, jika Indonesia menerapkan hari libur untuk perayaan hari besar semua agama, pemerintah Australia hanya memberikan hari libur bagi perayaan agama Kristen. Umat Muslim di Australia sering mengalami kesulitan melaksanakan ibadah terutama yang bersifat massal seperti hari Raya Idul Fitria atau Idul Adha. Australia memang welcome kepada pendatang baru, namun masih ada dari mereka yang berkomentar negative tentang identitas seorang Muslim baik tentang pakaian atau ritualnya.

Dr. Ahmad Yani juga memberikan tanggapan mengenai cara terbaik untuk meningkatkan peradaban Islam adalah dengan belajar dan mengajar. Seperti dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw kepada umatnya adalah mengajar. Setelah Nabi wafat, maka para sahabat meneruskan ajaran Nabi dengan mengajar. Begitupun peradaban Islam yang kita ketahui saat ini adalah berkat para guru-guru kita. Maka untuk menjaga dan melanjutkan Peradaban Islam adalah dengan belajar dan mengajar. Bahkan salah satu proses pembelajaran Peradaban Islam itu dijaga adalah dengan adanya UIN tersebar di seluruh Indonesia. Seperti halnya Muslim minoritas di Manado, tetapi di sana berdiri kampus UIN dan juga di Papua, ada kampus IAIN.

Tanggapan lain dari Dr. Lukman mengenai unsur seni dan budaya dalam tradisi ruwat. Sekalipun ada yang memahami bahwa ruwat itu musyrik, akan tetapi dalam segi uri-uri budaya, tradisi tersebut telah mengakar di masyarakat dan diartikan sebagai bentuk talak bala yang tetap perlu dilestarikan.

Hari kedua, 29 Mei 2024 acara 2nd Iconities berlangsung aman dan lancar. Sebanyak kurang lebih 170 peserta hadir tidak hanya dari mahasiswa, dosen, dan tendik UINSA tetapi juga dari kampus dan negara lain. Para presenter mempresentasikan hasil tulisan mereka di ruang masing2 yang telah disediakan oleh Panitia. Diskusi tanya jawab menjadi semakin menarik karena peserta di ruang diskusi tidak hanya dari kalangan mahasiswa namun juga dosen.

Terima kasih kepada seluruh presenter, panitia dan peserta yang telah mengikuti acara selama dua hari. Jika tidak ada peserta yang datang, acara ini tidak akan berjalan sukses. Semangat para peserta adalah penghilang lelah panitia. Semoga kita dipertemukan kembali dalam 3rd Iconities tahun 2025 dalam keadaan sehat dhohir batin.