
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Kalimat yang ada pada judul di atas belakangan sangat ngetop. Itu quote yang sangat terkenal di kalangan anak muda. Aku mendengarnya di beberapa kesempatan. Dan itu diucapkan sendiri oleh anak-anak muda itu. Bahkan di sejumlah akun media sosial, kalimat itu banyak ditemukan. Redaksinya mungkin berbeda-beda. Tapi maksudnya sama. Ada yang bilang begini: “Bersinarlah Tanpa Meredupkan Cahaya Lain.” Ada juga yang lainnya seperti ini: “Jadilah Terang Bersinar, Naik Setinggi Mungkin, Tanpa Harus Melukai Orang Lain.” Masih ada versi lainnya lagi seperti ini: “Bila Ingin Terang Nyalakan Lampu Sendiri, Jangan Padamkan Sinar Orang Lain.”
Pesan yang ingin disampaikan anak-anak muda itu sangat jelas. Terang tergambar dari redaksi dan pilihan kata yang digunakan. Bahwa kalau ingin berprestasi, tak harus kemudian mendorong jatuh orang lain. Bahwa kalau ingin berdiri tegak, tak harus kemudian menginjak orang lain. Bahwa kalau ingin meraih sukses, tak harus menjegal orang lain. Bahkan, kalau hanya ingin tampil cantik-cakep, tak harus kemudian ngatain orang lain jelek. Inti dari semua makna itu cukup sederhana: Kalau hanya ingin bersinar, tak perlu harus mematikan cahaya orang lain. Atau: Kalau hanya ingin mencetak nama besar, tak harus kemudian menistakan sesama.

Bukan sekali saja aku mendengar quote di atas. Tapi beberapa kali aku mendengar sendiri bagaimana kemudian quote itu berseliweran di kalangan anak muda. Tentu ini merupakan fenomena yang cukup baik. Pertanda bahwa anak muda pun sudah bicara fasih soal nilai. Anak muda pun sudah berbicara mendalam (deep talk) soal standar kebajikan. Anak muda pun sudah menjadikan sebuah nilai sebagai standar untuk menjaga kemuliaan hidup. Lalu mereka menjadikan nilai tersebut sebagai sebuah panduan dalam bentuk quote. Rujukannya adalah situasi yang sering mereka jumpai di sekeliling mereka sendiri dan atau di tengah-tengah masyarakat.
Mereka mungkin melihat sebagian orang dewasa telah menabrak prinsip kemuliaan itu. Mereka mungkin melihat ada yang janggal bahwa orang yang seharusnya menjadi contoh justeru menistakan orang lain saat ingin mengejar prestasi atau kedudukan. Dalam kesadaran anak-anak muda itu, sangat tidak layak untuk meruntuhkan marwah orang lain hanya karena ingin mencapai sesuatu. Tapi faktanya, mereka kerap justeru melihat sendiri praktik culas seperti itu banyak dilakukan oleh orang dewasa. Kerap dipraktikkan oleh orang-orang usia mapan yang seharusnya menjadi simbol kemuliaan. Atau bahkan nilai kemuliaan itu sendiri yang seharusnya menjadi rujukan bagi anak-anak muda itu. Lalu, anak-anak muda itu pun resah atas kejadian-kejadian itu. Tentu keresahan itu diungkapkan agar mereka juga tidak tergelincir pada kehancuran nilai itu.
Lantas, mereka menjadikan apa yang mereka lihat dan dengar dari orang dewasa itu sebagai bahan baku untuk memunculkan quote di atas. Hingga mereka pun memproduksi dan bahkan menebarkan quote di atas ke sebanyak mungkin orang. Kutipan mulia itu pun lalu menjadi mutiara hikmah. Maka, Bersinarlah tanpa memadamkan cahaya orang lain perlu kujadikan quote yang layak dibahas lebih lanjut. Kuulas melalui catatan ringan ini. Quote ini lahir sebagai sebuah kemuliaan yang diberikan oleh anak-anak muda kita hari ini untuk membangun masa depannya yang baik. Orang dewasa pun rasanya harus malu karena mendapat teguran anak-anak muda melalui quote ini.
Orientasi dan Strategi
Rumusan quote di atas sangat menarik. Lihatlah susunan kalimatnya. Ia bicara tentang orientasi dan metode. Kata bersinarlah adalah ungkapan pengandaian atas sebuah orientasi. Mungkin di antara kita ada orang yang sedang berhasrat menyasar sebuah amanah jabatan. Mungkin di antara kita ada yang sedang ingin meraih sebuah prestasi hidup. Mungkin di antara kita ada yang sedang ingin mengejar sebuah cerita sukses. Mungkin ada di antara kita yang sedang dalam konteks dan ingin mengejar sebuah kedudukan. Itulah bagian dan orientasi. Itu semua adalah sasaran yang sedang dikejar. Itulah yang disebut dengan orientasi.
Dalam bahasa quote di atas, kala disebut bersinarlah, itu artinya ada orientasi tertentu yang seseorang sedang kejar. Kata “bersinar” mewakili orientasi itu. Ada tujuan tertentu yang sedang dia ingin sasar. Ada destinasi dari kehidupan tertentu yang dia ingin capai. Pertanyaannya, apakah tidak boleh dia memiliki orientasi itu? Apakah tidak sah dia memiliki keinginan itu? Apakah dilarang dia memiliki cita-cita itu? Tentu jawabannya adalah, tentu saja boleh! Tentu saja sah! Tak ada yang melarang. Tak ada yang menghalangi. Sebab, orientasi dalam bentuk keinginan dan cita-cita itu sah-sah saja dimiliki oleh setiap diri.
Yang bisa menjadi masalah adalah bagaimana cara dalam mewujudkan orientasi, keinginan dan cita-cita itu. Bagaimana praktik meraihnya. Karena itu, kalimat lanjutan dari quote di atas, yakni tanpa memadamkan cahaya orang lain, menjadi prinsip untuk mengkerangkainya. Nah kalimat lanjutan ini bukan lagi bicara orientasi. Tapi bicara tentang strategi. Bicara tentang cara. Bicara tentang metode. Yakni bagaimana seharusnya seseorang mencapai dan merealisasikan orientasi hidupnya. Orientasi dalam bentuk keinginan dan cita-cita tentu saja dirasa baik oleh pemiliknya. Namun, bisa saja itu berubah menjadi nista saat strategi, cara, dan metode meraihnya justeru menabrak prinsip kemuliaan seperti yang diuraikan sebelumnya.
Mungkin kita masih mengingat quote yang popular berikut ini: methods always change, principles never do. Ada versi lainnya sebagai berikut: methods may change, principles remain the same. Keduanya bermakna serupa. Prinsip selalu bergerak serupa. Dalam lintas zaman. Termasuk juga lintas lokasi. Tetapi soal metode, cara, atau strategi tak selalu sama. Bisa berubah. Bisa bergerak dinamis. Saat metode, cara, atau strategi itu bisa berubah, jangan pernah kehilangan nilai. Jangan pernah kehilangan prinsip. Sebab, prinsip dan nilai selalu sama. Diikat oleh standar kemanusiaan dan kesejatian. Bisa dalam kaitannya dengan sesama. Bisa pula dalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Termasuk juga dengan alam raya.
Di sinilah Menteri Agama RI Prof. Nasaruddin Umar mengembangkan konsep trilogi jilid 2. Trilogi jilid 1 dianggap sudah mapan. Urusannya dengan tiga entitas: sesama, antar umat beragama, dan intern umat beragama. Dalam trilogi jilid 1, kemuliaan ditentukan oleh kebajikan perilaku kita kepada sesama, kepada penganut agama dan keyakinan yang berbeda, serta kepada sesama penganut seagama atau sekeyakinan. Menteri Agama yang akademisi dan kyai itu lalu mengembangkan trilogi itu kepada level yang lebih tinggi. Yakni, mencakup hubungan kepada sesama manusia (Man), Tuhan (God), dan alam raya (nature). Kemuliaan diri seseorang, dalam konsep yang disebut sebagai trilogi jilid 2 itu, ditentukan oleh perilaku baiknya kepada sesama manusia, Tuhan, dan juga sekaligus lingkungan.
Nah, quote Bersinarlah tanpa memadamkan cahaya orang lain seperti yang ada pada judul tulisan di atas mengait secara khusus aspek hubungan baik kepada sesama manusia. Karena itu, quote tersebut dilahirkan untuk menjaga kemuliaan hidup antar sesama manusia. Lalu, di manakah kemuliaan hidup dalam maksud itu? Ya, kemuliaan itu ada saat untuk meraih sukses, seseorang tak menghalalkan segala cara hingga membuat yang lain ternodakan karena praktik culas seperti hasud dan fitnah yang ditebar. Juga, saat dalam keinginan untuk meraih prestasi, seseorang tak harus membuat yang lain terzalimi. Prinsip kemuliaan ini menegaskan bahwa memperhatikan strategi yang bajik untuk meraih sukses sama pentingnya [untuk dilakukan secara mulia] dengan wujud sukses yang dicapai.
Di sinilah, Ibnu Faris dalam karyanya yang berjudul Maqayis al-Lughah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t: Juz 5, halaman 390) mengingatkan prinsip sukses. Dia menyebut sukses itu dengan istilah al-najah. Menurutnya, sukses itu bisa dikerangkai dengan tiga prinsip: dhafr (kemenangan), shidq (kejujuran), dan khayr (kebajikan). Ketiganya berkelindan satu sama lain. Tak bisa dipisah-pisah. Ketiganya harus hadir bersamaan. Hilangnya salah satu akan meruntuhkan bangunan konseptual atas kriteria sukses. Karena itu, ketiganya ibarat trisula yang membentuk perisai bagi bangunan sukses sejati. Dengan kata lain, kesejatian sukses sangat ditentukan oleh hadirnya tigas prinsip dimaksud secara bersamaan.

Berangkat dari kriteria sukses sejati di atas, maka terjemahan konkret atas sukses sejati itu bisa dirumuskan begini: tidaklah sukses itu hanya ditandai dengan sebuah kemenangan semata, namun proses meraihnya absen dari cara yang jujur dan bajik. Juga, tidaklah sukses bisa diukur dengan praktik jujur semata namun tak ada kemenangan di tangan. Pula, tidaklah sukses bisa dinilai saat kemenangan yang diraih dapat menebar kebajikan semata namun cara memperolehnya tidak jujur. Maka, ketiga nilai itu harus menyatu dalam perilaku diri. Ketiga nilai itu harus hadir dalam cerita baik yang diraih. Baru dengan begitulah sukses sejati itu bisa dikenakan.
Lalu, Apa Pelajarannya?
Quote yang diuraikan di atas mengajarkan sejumlah nilai penting. Sederhananya, aku mencatat dua pelajaran penting untuk mengkerangkai nilai-nilai mulia itu. Pertama, memang penting bagi setiap kita untuk memiliki orientasi dalam hidup. Karena bagaimanapun, tanpa orientasi, maka hidup akan kehilangan arah. Tanpa orientasi, hidup akan kehilangan semangat untuk bergerak lebih maju. Karena itu, orientasi menjadi penting. Tujuan menjadi penting. Keinginan dan cita-cita menjadi penting. Tapi kita juga diingatkan oleh quote di atas. Jangan sampai kemudian tujuan yang baik itu menjadi tersungkur hancur. Jangan sampai kemudian orientasi yang baik itu menjadi hina dan nista. Jangan sampai kemudian keinginan dan cita-cita yang baik itu menjadi runtuh nan kumuh. Itu semua bisa terjadi karena cara, strategi, dan metode yang diambil sebagai langkah untuk mencapai orientasi serta merealisasikan keinginan dan cita-cita itu buruk.
Nah, quote di atas mengirim pesan penting. Yakni agar setiap diri bisa memiliki orientasi yang baik dan sekaligus juga mempraktekkan strategi, cara, dan metode yang terbaik nan mulia untuk mewujudkan orientasi dan memenuhi kebutuhan itu semua. Nah ini yang menjadi bagian dari kebutuhan kita semua sebagai makhluk Tuhan. Maka quote yang ada pada judul tulisan ini penting menjadi arah dan panduan bagi kita semua untuk menjaga dan menumbuhkan kemuliaan dalam hidup. Sebab, tanpa strategi, cara, dan metode yang bajik nan mulia itu, hidup pun bisa tersungkur kepada nista yang menggurita pada diri siapa saja.
Bahkan lebih jauh, tumbuhnya integritas yang menjadi jati diri dimulai dari satunya orientasi dan strategi dalam nilai kebajikan dimaksud. Bagaimanapun, integritas itu penanda kesempurnaan kemanusiaan. Karenanya, harus ada integritas dalam setiap diri. Penandanya adanya kesatuan antara orientasi dan strategi dalam kebajikan. Karena bagaimanapun, sebaik-baik orientasi, kalau strateginya buruk maka jatuhnya jadi keburukan. Ending-nya adalah kenistaan. Maka, hubungan antara keduanya harus dijaga betul. Orientasi yang baik harus disempurnakan dengan cara, strategi, dan metode yang bajik pula.
Karena hanya dengan cara itu kemuliaan bisa dijaga. Integritas sendiri justru lahir saat kemudian antara orientasi dan strategi bisa diselaraskan dan disinkronkan secara baik dalam ukuran kebajikan. Bisa saja keduanya antara orientasi dan strategi itu sinkron. Bisa saja keduanya kita sambungkan. Tapi saat di sana tidak ada nilai kebajikan, maka sebetulnya bukan integritas namanya. Karena itu, orientasi dan strategi [atau cara atau metode] ini harus dilakukan sinergi dan integrasi yang sangat baik. Tentu kerangka dan ukurannya adalah dalam nilai kebajikan. Ini yang menjadi pelajaran bagi kita semua.
Kedua, kemuliaan hidup tak boleh runtuh oleh cara yang salah dalam mewujudkannya. Ungkapan “cara yang salah” dalam kaitan ini bukan dalam pengertian efektif atau tidaknya cara itu dalam operasionalnya. Tapi, “cara yang salah” yang dikehendaki dalam ungkapan dimaksud adalah cara yang sudah menanggalkan nilai kebajikan dalam operasionalnya. Atau, cara yang sudah tak lagi mengenal baik-buruk atau mulia-hina. Sebab, saat baik-buruk atau mulia-hina sudah tak lagi dijadikan sebagai ukuran, maka cara apapun akan dilakukan. Asalkan, cara itu dianggap menguntungkan bagi pelakunya yang akan mengantarkan dirinya untuk meraih keinginan yang dimiliki dan dihasrati.
Kalimat tanpa memadamkan cahaya orang lain pada bagian akhir dari susunan kalimat pada quote di atas mengingatkan kepada setiap kita untuk tak menanggalkan nilai kebajikan sebagai ukuran perilaku. Ungkapan memadamkan cahaya orang lain hanyalah salah satu ilustrasi saja dari sekian banyak lainnya yang menunjuk kepada praktik buruk dalam mengejar keinginan atau merealisasikan kemauan. Karena, setiap kita tentu bisa mendatangkan ilustrasi untuk menunjuk kepada praktik buruk yang menghalalkan segala cara dimaksud. Setting sosial dan budaya yang berbeda bisa menjadi konteks atas potensi beragamnya ilustrasi dimaksud.
Intinya, apapun ragam ilustrasi yang digunakan, substansinya satu: orang yang kehilangan nilai kebajikan sebagai ukuran akan selalu berusaha untuk melakukan praktik apapun yang bisa merusak bangunan prestasi sesama. Bahkan, menghasut atau memfitnah pun juga akan dilakukan. Lalu praktik itu kemudian dianggap biasa-biasa dan sah-sah saja. Asal cahaya orang lain dengan segala prestasinya, dalam bayangan pelaku praktik buruk itu, segera bisa padam. Dan, sinar dirinya lalu mulai tampak seiring dengan padamnya cahaya sesamanya itu.
Tentu, yang dikehendaki justeru sebaliknya: Bersinarlah tanpa memadamkan cahaya orang lain. Kalau hanya ingin tampak ke permukaan, tak perlu meredupkan cahaya orang lain. Kalau hanya ingin bersinar, tak perlu sampai harus terlebih dulu mematikan cahaya orang lain. Janganlah sampai setiap kita terjerembab ke dalam apa yang diperingatkan oleh pepatah Arab berikut ini: al-ghayah tubarrir al-wasilah. Tujuan menghalalkan segala cara. Sikap Machiavellian ini tentu bukan sebuah kemuliaan. Karena pergerakannya justeru meruntuhkan nilai kemuliaan hidup itu sendiri akibat hilangnya ukuran baik-buruk atau mulia-hina dalam diri.
Karena itu, rumus sederhananya begini: sempurnakanlah cita-cita dan keinginan dengan cara meraihnya yang baik. Sebab, memiliki orientasi saja tidak cukup untuk menjadi mulia dalam hidup. Karena memiliki orientasi itu harus disempurnakan dengan strategi, cara, dan metode yang baik untuk mewujudkannya. Nah inilah kemudian yang menjadi pelajaran bagi kita semua: bagaimana kemudian kita harus hidup dalam kemuliaan. Hidup tidak bisa hanya ditarget sebatas dengan sebuah orientasi. Hidup tidak hanya bisa diwujudkan ke dalam bentuk keinginan saja. Hidup tidak hanya bisa dirupakan dalam cita-cita semata. Hidup tidak hanya bisa diterjemahkan melalui harapan melulu. Sebab, saat kita melupakan strategi, cara, dan metode yang baik, maka kita akan menjauh dari nilai kebajikan itu sendiri.
Kalau anak-anak muda sudah mengingatkan sebuah nilai kemuliaan hidup melalui quote seperti dijelaskan di atas, rasanya malu jika ada orang dewasa justeru menabrak nilai kemuliaan hidup itu. Nah karena itu, kita perlu sekali belajar dari quote yang sangat populer di kalangan anak muda itu. Sebab, sebaik apapun orientasi dibangun harus disempurnakan dengan strategi realisasinya yang bajik pula. Keinginan harus dilengkapkan dengan cara pemenuhannya yang terpuji. Cita-cita harus diparipurnakan dengan metode yang terhormat dalam meraihnya. Jangan runtuhkan kemuliaan diri hanya karena mengejar orientasi yang tak lagi memedulikan baik-buruk dan mulia-hina sebagai ukurannya. Maka, kalau hanya ingin bersinar tak perlu harus mematikan cahaya orang lain.