
Gempa sebesar 8.8 SR mengguncang Rusia pada Rabu (30/7) pukul 08.25 waktu setempat atau (06.25 WIB) dengan epicentrum (titik gempa) berada di lepas pantai timur Rusia tepatnya di daerah Kamchatka. Gempa yang termasuk gempa terdahsyat di dunia ini kemudian mengakibatkan Tsunami dengan tinggi gelombang mencapai 4 m. Peringatan dini tsunami pun dibunyikan di berbagai negara seperti Jepang, tak terkecuali juga Indonesia. BMKG sempat menyalakan sistem peringatan dini di beberapa tempat, seperti Kepulauan Talaud, Gorontalo, Halmahera Utara, Manokwari, Raja Ampat, Biak Numfor, Supiori, Sorong Utara, Jayapura, dan Sarmi.
Jarak dari epicentrum ke stasiun BIG di Depapre, Papua kurang lebih 6371 km. Jika tsunami sampai ke Depapre setelah 8 jam, maka kecepatan gelombang tersebut mencapai kurang lebih 800 km/jam! Kabar baiknya, meskipun gempa yang terjadi sangat kuat dan gelombang tsunami yang terjadi cukup tinggi dan kerusakan infrastruktur juga terjadi, sampai artikel ini ditulis belum ada laporan korban jiwa. Bagaimana bisa?

Indonesia perlu belajar dari Rusia dan Jepang. Sebagai negara kepulauan dengan barisan gunung berapi (ring of fire) dan juga letaknya yang di pertemuan lempeng-lempeng dunia, Indonesia memiliki risiko bencana yang cukup tinggi, salah satunya tsunami. Masih jelas ingatan kita tentang tsunami yang terjadi di Aceh (2006) dan Palu (2018) dan juga tsunami-tsunami lain. Naasnya, hampir semua tsunami besar yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari adanya korban jiwa yang jumlahnya tidak sedikit.
Dalam konteks mitigasi bencana, ada beberapa hal dasar yang harus diperhatikan yakni edukasi, sistem peringatan dini, infrastruktur fisik, zonasi, logistik, dan partisipasi masyarakat. Beberapa dekade terakhir, penulis melihat sudah ada upaya-upaya sistemik untuk memperbaiki sistem mitigasi bencana di negara kita. Mulai dari edukasi ke masyarakat, jalur evakuasi dan yang terbaru adalah sistem peringatan dini. Data pasang surut dari BIG seperti gambar di atas misalkan, adalah salah satu bentuk kongkret.
Pun demikian, agaknya beradaptasi dengan bencana ini seolah menjadi PR yang tak berkesudahan. Dari semua sistem yang disebutkan di atas, faktor utamanya adalah manusia. Contoh paling sederhana bagaimana perilaku tidak menjaga kebersihan, membangun pemukiman ilegal di ruang hijau/daerah resapan air/daerah rawan gelombang tinggi. Belum lagi baterai dan alat-alat deteksi dini yang seringkali hilang dicuri. Hal-hal sederhana seperti ini menunjukkan bahwa kesadaran ekologis kita masih rendah. Irfan Hadi dalam satu artikelnya di kolom yang sama disini menyebutkan masyarakat kita krisis etika spiritual.
Disinilah peran perguruan tinggi, apalagi UINSA, sangat dibutuhkan. Di prodi Ilmu Kelautan, misalnya, tidak hanya aspek matematik, fisik, kimia dan biologi saja yang ditekankan. Tapi mahasiswa (dan dosen) juga ditekankan bagaimana menyampaikan hasil-hasil studinya ke masyarakat. Tak hanya menyampaikan hasil studi, tapi bagaimana membuat dampak. Hal ini tetapi, tidak bisa dilakukan secara parsial. Kami di prodi-prodi saintek tentunya tidak mungkin ngeklaim lebih paham ilmu pemberdayaan masyarakat. Pun demikian, program-program pemberdayaan masyarakat dan studi-studi kasus di lapangan pasti akan kaya jika dikerjakan bersama teman-teman saintek.
At the end, perjalanan bersama mewujudkan visi “Menjadi universitas Islam terkemuka dalam pengembangan ilmu, teknologi, dan kebudayaan melalui upaya integrasi keilmuan, inovasi dan pemberdayaan masyarakat yang berdampak pada kemaslahatan bangsa dan kemanusiaan” akan memakan waktu dan oleh karena itu perlu dilakukan secara bersinergi. Belajar dari Rusia dan Jepang, Insyaa Allah kita bisa.