UIN Sunan Ampel Surabaya
November 7, 2025

BARAKAH TILL JANNAH

BARAKAH TILL JANNAH

Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

Sebuah keterkejutan terjadi. Nanti di Hari Akhir. Seorang lelaki yang berada di surga terkaget menjumpai seseorang yang pernah dia kenal semasa di dunia masuk surga juga. Tiba-tiba dia bertemu dengan lelaki itu. “Lho, Anda masuk surga juga?” tanya lelaki itu kepada sahabatnya yang lama tak bersua saat di dunia itu. “Apa yang mengantarkan Anda bisa ke sini, ke surga ini?” tanya kembali lelaki itu dengan penuh penasaran. Sebab, dalam bayangan lelaki itu, tak semua orang bisa masuk surga. Yang masuk ke surga, dalam pemikirannya, pasti catatan amal baiknya melebihi yang lain-lainnya.

Karena lama tak berjumpa saat masih hidup di dunia, maka wajar saja lelaki itu bertanya begitu kepada sahabatnya yang dia jumpai di surga itu.  Apalagi, dalam ingatannya saat masih bersama dalam sebuah masa di dunia, ibadah-ibadah mahdlah atau formal sang sahabat itu tak seistimewa yang dibayangkan banyak orang. Sebut saja shalat sebagai misal. Banyak bolongnya. Lalu apa jawab seorang sahabat itu? Ini jawabannya sederhana: “Saya semasa di dunia pernah memimpin perguruan tinggi.” Jawaban seorang sahabat kepada lelaki yang menjadi temannya semasa di dunia itu memang tampak sederhana. Tapi, ada maknanya yang sangat mendalam. Dan, lelaki itu makin tertarik untuk ingin mendengar lebih jauh cerita dari penyataan sang sahabat itu.

Lelaki itu pun lalu bertanya kembali sambil untuk memastikan: “Jadi, amanah yang engkau tunaikan sebagai pimpinan perguruan tinggi itu yang telah mengantarkan Anda bisa ke surga Allah ini?” Sang sahabat itu lalu menjelaskan apa yang dia rasakan kepada lelaki itu. Dalam ceritanya, dia juga merasa bahwa ibadah lainnya bahkan banyak bolong-bolongnya. Termasuk di antaranya shalat juga. Dia merasa, besar kemungkinan dia diselamatkan oleh praktik penunaian jabatan sebagai pimpinan perguruan tinggi yang pernah dia pimpin. Dan, akhirnya itu yang membuatnya mendapatkan berkah. Karena pengalaman penunaian jabatan di perguruan tinggi itu diyakini memberinya berkah hingga bisa mengantarkannya masuk surga.

Dialog dalam kisah di atas disampaikan oleh Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis), Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI, Prof. Dr Phil Sahiron, MA. Di akhir penyampaian kisah itu, sang direktur pun memberi simpulan: “Oh jadi, orang bisa masuk surga karena menunaikan amanah jabatan dengan sebaik-baiknya saat menjadi pimpinan perguruan tinggi.” Begitu simpulan yang ditarik oleh Prof Sahiron itu dari kisah seseorang masuk surga di atas. Simpulan itu disampaikan langsung oleh Direktur Diktis itu kepada seluruh peserta. Dengan diselingi canda, cerita dan simpulannya itu disampaikan oleh Direktur Diktis saat menutup acara Rapat Koordinasi Transformasi PTNBH Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di Denpasar, Sabtu malam (01 November 2025). Pesertanya adalah para rektor PTKIN dimaksud.

(Foto: Direktur Diktis [Tengah] Menutup Rakor Transformasi PTNBH PTKIN, 01/11/2025)

Semua peserta dari kalangan rektor itu pun lalu bertepuk tangan. Tepuk tangan itu mereka lakukan usai serius menyimak kisah yang disampaikan oleh Direktur Diktis di atas. Mereka melakukan semua itu dengan sadar sesadar-sadarnya bahwa kisah yang diceritakan Direktur Diktis di atas adalah sebuah kisah imajinatif. Yakni, penggambaran yang dilakukan untuk mengilustrasikan konsep atau gambaran yang tak terlihat secara fisik. Penggambaran ini sangat dibutuhkan untuk kepentingan konkretisasi atas apa yang tak terlihat secara fisik atau apa yang masih berada dalam bayangan. Kepentingannya untuk memudahkan pemahaman dan kesadaran baru atas nilai yang sedang ingin disampaikan. 

Meskipun diakhiri oleh tawa dan tepuk tangan, bukan tawa dan tepuk tangan itu yang penting. Melainkan apa yang membuat tawa dan tepuk tangan itu menggema, itu yang lebih utama. Justru itu yang jauh melampaui semua yang penting-penting itu. Semua yang hadir pada Rakor Pimpinan PTKIN di atas paham, apa yang diilustrasikan oleh Direktur Diktis melalui penyampaian kisah di atas mengandung maksud penting. Sang direktur itu sedang mengirimkan pesan mulia: agar semua pimpinan perguruan tinggi tak menjadikan amanah dan jabatan sebagai perkara biasa semata. Alih-alih, mereka diingatkan untuk menunaikan amanah jabatan itu sebaik-baiknya.

Amanah Itu Ibadah

Ilustrasi yang menandai pesan Direktur Diktis di atas menjelaskan betapa amanah itu harus ditunaikan. Salah satu bentuk dan jenis amanah dimaksud adalah jabatan. Maka, simulasi rumusannya bisa begini: amanah adalah jabatan, dan jabatan adalah amanah. Berangkat dari rumusan seperti ini, aku pun sebelumnya dalam tulisan yang kubuat beberapa waktu yang lalu (lihat “Jabatan Itu Bukan Untuk Dinikmati” URL: https://uinsa.ac.id/jabatan-itu-bukan-untuk-dinikmati) sampai juga pada simpulan begini: karena merupakan amanah, maka jabatan itu ditunaikan, bukan untuk dinikmati.  

Lalu apa bedanya “ditunaikan” dan “dinikmati”? Di tulisan pada link yang sudah kukutipkan di atas, aku pun sebetulnya juga sudah mengulas soal itu. Namun, untuk kepentingan pembahasan tema tulisan seperti yang menjadi pesan Direktur Diktis di atas, sederhananya aku akan ulas kembali materi tentang amanah jabatan dengan uraian yang lebih kontekstual lagi. Sederhananya, jabatan itu ditunaikan dan bukan untuk dinikmati tersebut. Begini lebih mudahnya: Kalau jabatan itu untuk ditunaikan, berarti ia diyakini dari awal sekali sebagai amanah dan tanggung jawab yang harus dipegang teguh serta dilaksanakan sebaik-baiknya. Tapi jika diyakini untuk dinikmati, maka jabatan itu akan dianggap sebagai hadiah.

Lalu apa implikasinya saat jabatan itu ditunaikan dan sebaliknya saat ia dinikmati? Kalau jabatan itu untuk ditunaikan, maka dari sedini mungkin jabatan betul-betul dipahami dan diyakini untuk dikonversi menjadi kinerja. Maka, tak ditunaikan amanah itu berarti tak berkinerja. Dan sebaliknya, tak berkinerja berarti amanah itu tak ditunaikan. Selanjutnya akan muncul implikasi konkret. Jika tak berkinerja, maka perilaku diri seperti itu akan dianggap menyelisihi amanah. Tentu implikasi berikutnya adalah bahwa praktik seperti itu bisa dipandang berdosa. Karena, perilaku itu sama dengan pengkhianatan terhadap amanah.

Tapi jika jabatan diyakini sebagai hadiah, maka seseorang akan cenderung untuk mengambil manfaat materialnya saja. Amanah jabatan lalu dianggap tak ubahnya dengan hibah atau pemberian. Lalu konsekuensi lanjutannya, akan muncul perilaku kerja seperti ini: yang dianggap penting dilakukan terhadap jabatan itu bukan melaksanakannya, melainkan menikmati fasilitasnya. Jabatan akan dianggap sebagai fasilitasi. Alat untuk memuaskan kepentingan diri. Instrumen untuk memudahkan diri mendapatkan fasilitas publik guna memuaskan kepentingan diri sendiri. Atau mungkin kepentingan keluarga. Bukan alat untuk mewujudkan kebajikan bersama.

Dalam operasionalnya, amanah sama dengan kinerja. Dan, kinerja adalah amanah. Sebaliknya, tak amanah sama dengan tak berkinerja. Dan tak berkinerja sama dengan tak amanah. Kata “tak berkinerja” dalam uraian ini bisa muncul dalam dua muka. Muka pertama, dan ini paling minimal, adalah tak adanya kontribusi apapun dari jabatan yang diterima kepada kinerja instutusi. Muka kedua justru mewujud dalam bentuk pelanggaran. Jabatan membuat pengembannya mempraktikkan aji mumpung untuk menumpuk kekayaan diri dan atau keluarga. Jika tak terkontrol, ujung dari perilaku buruk ini adalah berlangsungnya berbagai pelanggaran terhadap prinsip amanah itu. Jadi, muka pertama itu pelanggaran paling ringan-rendah, dan muka kedua merupakan pelanggaran paling berat.

Di titik inilah, kita semua perlu untuk menengok kembali uraian oleh Ibnu Faris atas makna amanah. Dalam karya magnum opus-nya yang berjudul Mu’jam Maqayis al-Lughah (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979, vol. 01, hal. 133) sebagaimana bisa dijumpai di bawah, kata amanah memiliki lawan kata yang konkret. Yakni khianah. Dalam Bahasa Indonesia (lihat KBBI pada URL: https://kbbi.web.id/khianat#google_vignette), kata khianah ini tercetak dalam ejaan khianat yang berarti “perbuatan tidak setia; tipu daya; perbuatan yang bertentangan dengan janji”. Kata tersebut memiliki padanan yang meliputi pengkhianatan; pelanggaran; penyelisihan; penyelewengan.

(Foto: Kitab Karya Ibnu faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah [Beirut: Dar Al-Fikr, 1979], vol. 01, hal. 133)

Sebagai sebuah konsep, kata amanah sendiri, menurut Ibnu Faris dalam kitabnya di atas (1979:133), memiliki dua arti. Pertama, adalah sukun al-qalb (tenangnya hati), dan kedua berarti al-tashdiq (pembenaran; validasi; penguatan kejujuran). Jadi, amanah dalam bahasa sederhananya menimbulkan dua karakter atau nilai kinerja diri: tenang dan jujur. Amanah itu sama dengan ketenangan hati dan kejujuran diri. Saat amanah ditunaikan, ketenangan hati didapatkan. Kejujuran diri pun juga bisa diwujudkan dan dipertahankan. Saat amanah diselewengkan, ketenangan hati dan kejujuran diri tak akan bisa diwujudkan, apalagi dipertahankan.

Maka implikasinya sesederhana begini: tak berkinerja sama dengan menghilangkan unsur ketenangan dalam jiwa serta kejujuran dalam diri. Sebaliknya, berkinerja itu sama dengan memperkuat unsur ketenangan dalam jiwa serta kejujuran dalam diri. Itu semua tak lain karena amanah ditantang secara serius dengan lawan katanya, khianah. Meminjam bahasa Ibnu Faris dalam kitab di atas (1979:133), “al-amanah” itu “dlidd al-khiyanah”. Amanah itu lawan langsung dari khianat. Maka, langkah tidak berkinerja baik atas jabatan adalah bentuk pengkhianatan atas amanah. Nama lainnya adalah penyelewengan atas amanah. Sebaliknya, langkah berkinerja baik atas jabatan adalah bentuk penunaian amanah. Dan itu adalah praktik mulia dalam menjaga kepercayaan yang diterimakan.

Berkah Ke Surga

Karena kemuliaan yang dikandung itu, lalu amanah membuahkan berkah. Yakni, kebajikan yang selalu bertambah dari waktu ke waktu. Apa yang selama ini dikenal dengan teori pertambahan nilai (surplus value) dalam bahasa ekonomi modern, itulah sebetulnya bagian dari makna berkah atau barakah dalam Bahasa Arab. Meskipun aset atau materi bertambah namun tak ada nilai (value) yang bertambah atau meningkat di dalamnya, maka sejatinya itu bukan pertambahan nilai. Sebagai contoh konkret, nilai nominal uang yang diterima mungkin bertambah namun nilai manfaatnya bagi hidup tak meningkat, maka sebetulnya tak ada berkah di situ. Nah, nilai manfaat dan atau value itulah terjemahan konkret dari konsep berkah di atas. 

Atas keberkahan yang dimiliki di atas, amanah lalu berbuah surga. Sebab, sekali lagi, amanah selalu mengandung –dalam bahasa spiritualnya– pertambahan kebajikan atas hidup dan –dalam bahasa ekonominya– pertambahan nilai atas aset. Lebih-lebih, saat amanah itu berupa jabatan yang berkaitan langsung dengan penciptaan kebajikan bersama di ruang publik, maka tentu pertambahan kebajikan atas hidup bersama sebagai gugusan individu segera bisa didapatkan. Pertambahan nilai atas aset publik pun juga bisa diraih. Itu artinya bahwa amanah telah membawa berkah.

Pada titik ujung yang paling ekstrem, berkah itu akan mengantarkan peraihnya untuk masuk surga. Sebab, perjalanan hidupnya akan selalu diiringi dan dilengkapi dengan pertambahan kebajikan.  Kehidupan materialnya di dunia juga diperkaya dengan pertambahan nilai yang terus meningkat atas aset yang dimiliki. Dengan demikian, berkah itu bukan saja memberi kebajikan bagi hidup, melainkan juga sekaligus memberikan peningkatan dan bahkan pelipatan nilai kebajikan bagi hidup itu. Maka, siapa yang hidupnya dikelilingi oleh berkah, maka kebajikan akan selalu melingkupi pergerakan hidupnya.

Nah, dalam konteks inilah bisa dipahami mengapa amanah itu ada untuk ditunaikan dan bukan untuk dinikmati, seperti yang dijelaskan panjang lebar di atas. Itu konsep dasar tentang amanah. Keyakinan terhadap makna substansial atas konsep dasar tentang amanah harus ditegaskan. Implementasinya pun juga harus ditegakkan. Kalau sudah begitu, maka penunaian amanah dengan baik akan bisa berbuah berkah ke surga. Maka bisa dimengerti jika terbangun pemahaman dan keyakinan mendasar bahwa amanah jabatan pun bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga saat ditunaikan sebaik-baiknya. Begitu pula sebaliknya.

Dalam konteks inilah, lalu Direktur Diktis Prof. Sahiron mengingatkan kita semua dengan pentingnya menunaikan amanah jabatan dalam kepemimpian perguruan tinggi di atas. Disampaikan langsung di hadapan para rektor, berarti pesan yang sedang dikirimkan tentang makna dasar amanah di atas dikehendaki oleh sang direktur untuk menjadi perhatian serius oleh para pimpinan perguruan tinggi itu. Memang, sang direktur berkepentingan dengan para kinerja para rektor itu. Tapi sebetulnya, pesan itu tak terbatas berlaku untuk mereka saja, melainkan juga bisa diperluas hingga melingkupi semua pemegang amanah jabatan publik. Artinya, pesan bahwa amanah itu ditunaikan dan bukan untuk dinikmati bisa berlaku untuk semua pemangku jabatan publik. Siapa dan apapun uraian tugas dan fungsi jabatan publik itu. Karena itu, kinerja tinggi adalah sebuah perintah agama juga.

Jadi, kinerja tinggi bukan sekadar urusan material duniawi yang menjadi kebutuhan umat manusia, termasuk masyarakat modern. Agama juga berkontribusi dalam urusan ini melalui skema spiritualitas atas amanah. Dimasukkannya unsur sukun al-qalb atau ketenangan hati dan al-tashdiq atau pembenaran/validasi/penguatan kejujuran ke dalam cakupan makna amanah merupakan skema spiritualitas yang ditanamkan oleh agama kepada manajemen modern. Khususnya dalam urusan yang berkaitan dengan penunaian jabatan publik. Maka, jangan pernah mengesampingkan amanah, apalagi menyelewengkannya. Karena agama justeru menolak praktik itu melalui konsep amanah di atas.

Lalu Apa Pelajarannya?

Aku mencatat minimal ada dua pelajaran penting yang bisa ditarik dari pembahasan mengenai amanah dan penggilan suci untuk menunaikannya di atas. Pertama, jangan main-main dengan amanah publik. Jenis dan bentuk amanah publik memang macam-macam. Tapi, substansi dasarnya adalah satu. Yakni, bahwa tugas dan kewenangan yang diberikan oleh publik itu untuk ditunaikan. Maka, apapun yang diamanahkan untuk pengelolaan kebajikan bersama adalah bagian dari amanah publik. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan level amanah publik itu. Mulai di bidang pendidikan, ekonomi, hingga layanan birokrasi kepemerintahan lainnya. Juga berlaku mulai dari level kantor layanan terdepan hingga level pengambilan kebijakan di pusat pemerintahan. Semua masuk ke dalam kategori amanah publik.

Tak setiap orang diberi amanah. Tak semua orang pun juga dipercaya untuk mengelola amanah publik itu. Karena itu, setiap amanah yang dipercayakan tak sepatutnya disia-siakan. Mengapa begitu? jawabannya sungguh sederhana; karena amanah hanya diterimakan kepada orang terpilih. Yang tidak sedang diamanahi berarti sedang tidak terpilih. Karena itu, saat amanah dipercayakan, berarti penerimanya adalah yang terbaik. Minimal terpilih. Orang selainnya tak termasuk ke dalam kriteria terpilih itu. Karena itu, amanah yang dipercayakan itu harus diyakini untuk ditunaikan sebaik-baiknya. Bukan untuk dinikmati sebagaimana diuraikan panjang lebar di atas.

Menyia-nyiakan, oleh sebab itu, harus segera dijauhkan darai pikiran dan perbuatan. Dipikirkan saja jangan, apalagi dilakukan. Itu karena sekali lagi, amanah hanya diberikan kepada yang terpilih. Menyia-nyiakan berarti mengkhianati. Atas pertimbangan itulah, maka mengesampingkan adalah menyia-nyiakan. Dan menyiakan-nyiakan itu berarti mengkhianati. Maka, siapapun yang tak berkinerja baik dalam jabatan yang diamanahkan sama dengan menyiakan-nyiakan jabatan itu sebagai sebuah kesempatan eksklusif yang tak diberikan kepada selainnya. Maka pula, setiap diri yang diamanahi jabatan tak seharusnya menyiakan-nyiakan amanah publik yang diberikan.

Kedua, jangan pernah ragu atau khawatir, apalagi takut, untuk diberi amanah publik. Memang ada ajaran yang menjadi peringatan bersama, bahwa menyia-nyiakan bukan ajaran agama. Bahkan cenderung dilarang. Itulah mengapa Ibnu Faris dalam karyanya Mu’jam Maqayis al-Lughah (1979:133) sebagaimana diuraikan sebelumnya menempatkan amanah sebagai lawan langsung dari khianah (dalam transkripsi Bahasa Arab) atau khianat (dalam ejaan Bahasa Indonesia). Artinya, praktik buruk atas amanah, mulai menyiakan-nyiakan hingga menyelewengkan, sama artinya dengan praktik khianat.  Meskipun demikian, bukan berarti Muslim yang baik lalu menghindari pemberian amanah oleh publik.  

Karena amanah publik itu berkaitan langsung dengan penciptaan dan pengembangan kebajikan dalam hidup bersama di ruang publik, maka posisi amanah publik itu penting untuk kepentingan bersama. Karena itu, saat publik sudah bergerak hingga pada taraf membutuhkan pikiran dan tenaga seseorang untuk mengemban amanah publik, jangan ragu atau khawatir untuk menerimanya. Apalagi lalu ketakutan yang tidak perlu dalam menunaikannya. Jangan! Terimalah amanah itu. Dengan catatan satu syarat: tunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Dengan penuh tanggung jawab. Yang dilarang itu menyiakan-nyiakan. Apalagi menyelewengkan.

Mengapa jangan ragu, khawatir, atau takut diberi amanah publik? Meminjam ilustrasi yang diberikan oleh Direktur Diktis Prof. Sahiron dalam kisah imajinatif di atas, amanah publik bisa menyediakan lintasan cepat (fast track) untuk pergerakan menuju surga. Jalan cepat itu dibangun oleh nilai keberkahan yang dikandung oleh amanah publik itu. Nilai keberkahan itu menyediakan pertambahan nilai dan kebajikan untuk hidup mereka yang mempraktikannya. Selain itu, nilai keberkahan itu lahir menyusul penunaian amanah publik dengan sebaik-baiknya.  Itulah yang menjadi latar belakang munculnya kekagetan di surga kelak seperti yang sampaikan oleh sang direktur dalam kisah imajinatif di atas.  Karena itu, takut? Jangan! Tapi tunaikan amanah sebaik-baiknya. Itu prinsipnya.

Karena agama sudah masuk ke ruang publik melalui konsep amanah seperti dijelaskan di atas, maka masing-masing kita pun tak boleh menyelewengkan amanah yang diterimakan. Meremehkan dengan sekadar mengambil manfaatnya saja sudah termasuk khianat, apalagi menyelewengkannya. Di sinilah nilai positif bisa ditarik dari kisah yang diceritakan Direktur Diktis di atas. Walaupun masuk kategori kisah imajinatif, tapi ada pesan mulia yang sedang ingin dikirimkan kepada kita semua untuk menjadi perhatian. 

Akhirnya, bukan hanya ibadah dalam pengertian formal (ibadah mahdlah) yang bisa melahirkan berkah. Penunaian jabatan publik yang pada dasarnya bukan masuk kategori ibadah dimaksud pun juga bisa membuahkan berkah. Tentu bagian sentral dari berkah itu adalah pengakuan Ilahi atas praktik penunaian amanah publik itu sebagai ibadah dan mengkonversinya ke dalam bentuk pahala. Karena itu, berkah lahir dari dua pengakuan dan pengkonversian itu secara bersamaan. Maka, penunaian amanah publik pun bisa mengantarkan seseorang ke surga. Itulah yang diilustrasikan oleh konsep Barakah Till Jannah.

Spread the love

Tag Post :

rectorinsights

Categories

Column, Column UINSA