UIN Sunan Ampel Surabaya
December 7, 2025

BANJIR BANDANG SUMATERA–MALANG: KRISIS ADAPTASI IKLIM DAN TANTANGAN TATA RUANG NASIONAL

BANJIR BANDANG SUMATERA–MALANG: KRISIS ADAPTASI IKLIM DAN TANTANGAN TATA RUANG NASIONAL

Dr. Moch Irfan Hadi
Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Kebencanaan
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Banjir bandang yang melanda Sumatera dan Malang pada akhir 2025 menegaskan bahwa Indonesia tengah berada dalam fase kritis relasi manusia dengan lingkungannya. Peristiwa tersebut tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik yang luar biasa, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang mendalam. Data resmi BNPB hingga 5 Desember 2025 menunjukkan bahwa banjir bandang di Sumatera mengakibatkan 867 korban meninggal dunia, 521 orang hilang, dan lebih dari 835 ribu warga mengungsi di 51 kabupaten/kota pada tiga provinsi: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Skala dampak ini menjadikannya salah satu bencana hidrometeorologi terbesar dalam lima tahun terakhir. Selain kehilangan nyawa, ribuan rumah hancur, fasilitas umum tidak berfungsi, dan kerusakan infrastruktur menyebabkan kerugian ekonomi yang diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah.

Di Malang, banjir bandang yang menghantam kawasan hilir seperti Blimbing, Lowokwaru, dan sebagian jalan protokol memperlihatkan pola yang serupa meskipun dalam lingkup geografis yang lebih kecil. Puluhan rumah rusak, akses jalan terganggu, aktivitas pasar berhenti, dan fasilitas publik mengalami kerusakan. Masyarakat merasakan langsung bagaimana curah hujan yang tinggi, dipadukan dengan kondisi hulu yang terdegradasi, dapat mengubah sistem kota yang tampak stabil menjadi wilayah yang rapuh dalam hitungan menit.

Kedua kejadian tersebut, meskipun berbeda skala administratif, memperlihatkan pola kerentanan ekologis yang identik: hulu melemah, hilir kehilangan ruang adaptif, dan tata ruang tidak lagi mampu mengikuti dinamika iklim yang semakin ekstrem. Oleh karena itu, tulisan ini tidak menganalisis dua kejadian tersebut secara administratif, tetapi melalui pendekatan analisis berbasis proses yaitu suatu cara memahami bencana melalui mekanisme ekologis dan hidrologis yang bekerja secara universal, terlepas dari batas provinsi atau kota.

Hulu yang Melemah dan Hilir yang Kehilangan Ruang

Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) menjadi akar fundamental dari meningkatnya risiko banjir bandang. Di Sumatera, penurunan tutupan hutan dalam dua dekade terakhir telah mendistorsi sistem ekologis yang sesungguhnya mampu menyerap, menahan, dan mengendalikan air. Pembukaan hutan untuk perkebunan monokultur, pembangunan permukiman baru, dan ekspansi jaringan transportasi tanpa mempertimbangkan kapasitas ekologi telah mengubah sifat fisik lanskap. Tanah yang dahulu mampu menahan air kini berubah menjadi lahan dengan kapasitas infiltrasi rendah. Akibatnya, ketika hujan ekstrem turun, air tidak lagi meresap secara perlahan, melainkan langsung mengalir sebagai limpasan permukaan (surface runoff) yang besar dan cepat. Limpasan ini membawa material besar berupa lumpur, batu, bahkan pohon tumbang yang kemudian memasuki sungai-sungai yang sudah dangkal akibat sedimentasi. Sungai yang kehilangan ruang alirannya tidak mampu menahan debit besar tersebut, menyebabkan luapan mendadak yang berubah menjadi banjir bandang destruktif.

Kondisi serupa terjadi di kawasan Batu Malang. Pertumbuhan ekonomi berbasis pariwisata dan permukiman telah mendorong pembukaan lahan di lereng-lereng yang seharusnya menjadi penyangga ekologis kota. Vegetasi yang hilang mengurangi kemampuan tanah menahan air. Sementara itu, Kota Malang sendiri semakin kedap air akibat meningkatnya permukaan beton, bangunan komersial, dan infrastruktur yang tidak disertai dengan peningkatan kapasitas drainase. Ketika hujan ekstrem turun, air dari hulu mengalir deras memasuki kota yang tidak lagi memiliki ruang untuk menyimpan dan menyalurkannya. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana kerusakan hulu dan ketidaksiapan hilir menciptakan kombinasi risiko yang sangat tinggi.

Melalui pendekatan analisis berbasis proses, dapat disimpulkan bahwa bencana di dua wilayah tersebut mencerminkan dinamika yang sama: hilangnya fungsi ekologis hulu dan hilangnya ruang adaptif hilir. Ini merupakan gejala keruntuhan kapasitas ekologis yang berlaku lintas skala, baik di provinsi besar seperti Sumatera maupun di kota berukuran sedang seperti Malang.

Hujan Ekstrem sebagai Pengganda Risiko dalam Sistem yang Rapuh

BMKG melaporkan bahwa intensitas hujan ekstrem di Indonesia meningkat dalam beberapa tahun terakhir akibat perubahan suhu permukaan laut di Samudra Hindia serta dinamika atmosfer yang semakin sulit diprediksi. Fenomena ini tidak saja menaikkan volume curah hujan, tetapi juga meningkatkan intensitas hujan lebat dalam durasi yang pendek. Dalam konteks iklim global, atmosfer yang lebih hangat menahan lebih banyak uap air, sehingga ketika kondensasi terjadi, hujan turun dengan intensitas lebih besar dari biasanya. Namun, hujan ekstrem itu sendiri bukanlah penyebab utama banjir bandang. Ia hanya menjadi risk multiplier yang memunculkan kerentanan struktural yang telah ada sebelumnya. Jika hulu berada dalam kondisi sehat dengan vegetasi penahan, tutupan hutan memadai, dan kapasitas infiltrasi tinggi—debit puncak hujan ekstrem dapat ditekan secara signifikan. Ini merupakan counterfactual argument penting:
Jika ekosistem hulu Sumatera dan Batu masih terjaga, kemungkinan besar dampak banjir bandang akan jauh lebih kecil, meskipun intensitas hujan tetap tinggi.

Dengan demikian, penyebab bencana bukanlah hujan ekstrem semata, melainkan interaksi destruktif antara cuaca ekstrem dan sistem ekologis yang rusak. Pemahaman ini penting untuk menghindari narasi keliru yang menyederhanakan bencana sebagai “kemarahan alam”, padahal faktor utamanya adalah lemahnya pengelolaan ruang dan ekosistem.

Kerentanan Sosial dan Dinamika Kemanusiaan

Analisis ekologis tidak cukup untuk menjelaskan dampak besar dari banjir bandang Sumatera–Malang. Kerentanan sosial turut memainkan peran penting dalam memperbesar skala bencana. Banyak komunitas tinggal di bantaran sungai yang rawan banjir, sebagian karena keterbatasan ekonomi, sebagian lain karena tekanan permukiman di pusat kota. Tingkat kemiskinan yang tinggi, kepadatan penduduk, dan minimnya akses terhadap informasi kebencanaan memperbesar risiko korban jiwa dan kerugian sosial.

Dampak psikologis juga sangat signifikan. Kehilangan anggota keluarga, kehilangan mata pencaharian, dan ketidakpastian jangka panjang menimbulkan trauma yang memerlukan penanganan lebih dari sekadar bantuan logistik. Layanan dukungan psikososial seharusnya menjadi bagian dari kerangka pemulihan yang lebih holistik, sebagaimana direkomendasikan oleh BNPB dan Kementerian Sosial dalam berbagai pedoman penanganan bencana. Dengan demikian, bencana ekologis tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berkelindan dengan struktur sosial, ekonomi, dan kelembagaan yang menentukan tingkat kerentanan masyarakat.

Kebijakan Lingkungan dan Tata Kelola yang Belum Optimal

Indonesia sebenarnya memiliki berbagai instrumen kebijakan lingkungan, mulai dari Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup hingga regulasi tata ruang dan rencana mitigasi perubahan iklim. Namun kelemahan implementasilah yang sering menjadi titik kritis. Banyak daerah menghadapi tekanan kepentingan ekonomi, konsesi lahan, serta lemahnya pengawasan di lapangan. Hal ini membuat kebijakan yang sudah baik secara konsep tidak sepenuhnya terwujud dalam praktik.

Kondisi di Sumatera dan Malang memperlihatkan bagaimana kelemahan pengawasan tata ruang dapat berkontribusi besar terhadap meningkatnya risiko banjir bandang. Pembangunan yang melanggar alur sungai, permukiman yang berdiri di zona merah bencana, dan lemahnya penegakan hukum menjadi faktor yang memperparah kerentanan ekologis dan sosial.

Tanpa penguatan tata kelola, solusi teknis seperti normalisasi sungai atau restorasi DAS tidak akan berjalan optimal. Oleh karena itu, penting untuk menempatkan tata kelola lingkungan sebagai inti dari strategi adaptasi iklim nasional.

Arah Solusi: Kerangka Adaptasi Iklim yang Bertingkat

Untuk menghadapi krisis adaptasi iklim ini, Indonesia memerlukan pendekatan bertahap yang melibatkan intervensi langsung, pemulihan struktural, dan reformasi kebijakan jangka panjang.

1. Langkah Jangka Pendek: Mengurangi Risiko Langsung

Penanganan harus dimulai dengan pemetaan cepat wilayah rawan banjir bandang menggunakan data geospasial dan citra satelit. Sungai dan drainase pada titik kritis perlu dinormalisasi untuk meningkatkan kapasitas aliran. Sistem peringatan dini berbasis sensor hujan, muka air sungai, dan informasi komunitas harus diperluas. Vegetasi berakar kuat seperti vetiver dapat ditanam di lereng terdegradasi untuk menstabilkan tanah. Sementara itu, pembangunan di kawasan hulu rawan harus dihentikan sementara hingga kajian lingkungan dilakukan.

2. Langkah Jangka Menengah: Memulihkan Struktur Ekologis dan Tata Ruang

Restorasi DAS berbasis data ilmiah harus menjadi prioritas, termasuk rehabilitasi lahan kritis dan pemulihan vegetasi riparian. Revisi RTRW dan RDTR wajib dilakukan dengan mengintegrasikan peta risiko banjir bandang dan skenario perubahan iklim. Kota harus meningkatkan kapasitas resapan melalui pembangunan kolam retensi, sumur resapan massal, dan sistem drainase hijau. Penertiban pembangunan ilegal di hulu sangat penting untuk memutus rantai kerusakan ekologis. Pendidikan kebencanaan perlu diperkuat di sekolah dan komunitas, karena kesiapsiagaan masyarakat terbukti menjadi faktor penentu dalam mengurangi dampak bencana.

3. Langkah Jangka Panjang: Membangun Ketahanan Iklim Nasional

Dalam jangka panjang, Indonesia memerlukan transformasi besar dalam tata ruang dan pengelolaan sumber daya alam. Restorasi lanskap hulu secara besar-besaran harus dilakukan secara bertahap dan konsisten. Kota-kota perlu diarahkan menuju konsep Sponge City, yaitu kota yang dirancang untuk menyerap, menyimpan, dan melepaskan air secara terkendali. Tata ruang nasional harus diselaraskan dengan proyeksi iklim 2050, bukan hanya mencerminkan kondisi saat ini. Ekonomi masyarakat hulu harus diperkuat melalui skema konservasi produktif agar mereka memiliki insentif menjaga lingkungan. Literasi lingkungan perlu ditanamkan sebagai budaya nasional, bukan sekadar pengetahuan tambahan.

Penutup: Dari Duka Menuju Ketahanan Baru

Banjir bandang di Sumatera dan Malang memperlihatkan bagaimana sistem ekologis dan tata ruang Indonesia berada dalam kondisi yang rapuh. Dua bencana pada skala berbeda tersebut menunjukkan pola kerentanan yang sama: hulu yang kehilangan fungsi ekologis, hilir yang tidak lagi adaptif, serta tata kelola lingkungan yang belum berjalan efektif.

Duka yang ditinggalkan para korban menegaskan bahwa pengelolaan lingkungan tidak dapat dipandang sebagai isu sampingan dalam pembangunan nasional. Perbaikan tata ruang, pemulihan DAS, dan penguatan adaptasi iklim harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Tanpa itu, bencana serupa sangat mungkin berulang dengan dampak yang lebih besar. Jika langkah-langkah adaptasi dan pemulihan ekologis dijalankan secara sungguh-sungguh, Indonesia memiliki peluang nyata untuk memperkuat ketahanan lingkungan di masa depan. Banjir bandang tidak boleh dianggap sebagai peristiwa alam semata, tetapi sebagai peringatan bahwa ruang hidup kita memerlukan pengelolaan yang lebih bijak, ilmiah, dan berkeadilan ekologis. Dengan memahami pelajaran dari bencana ini, Indonesia dapat bergerak menuju masa depan yang lebih aman, tangguh, dan resilien.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA