oleh: Ahmad Fauzi, M.Pd*
Selama ini, citra Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) bermutu seringkali identik dengan bangunan megah, bengkel yang mentereng, dan deretan mesin-mesin canggih di etalase sekolah. Namun, benarkah kualitas lembaga pendidikan kejuruan hanya diukur dari tampilan fisiknya? Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (BAN-PDM) tampaknya punya jawaban tegas: “tidak”.
Melalui instrumen akreditasi terbaru (IA-2024 Versi 2025), BAN-PDM menggeser paradigma penilaian dari sekadar pemenuhan administrasi compliance-based menjadi pengukuran kinerja nyata performance-based. Akreditasi SMK bukan lagi soal tebalnya tumpukan dokumen, melainkan potret jujur tentang dampak nyata proses pendidikan bagi siswa. Fokusnya adalah menciptakan sebuah ekosistem mutu yang utuh, bukan sekadar memoles “etalase”.
Instrumen baru ini secara lugas menyederhanakan konsep “SMK Bermutu” ke dalam empat pilar yang saling terkait, layaknya kepingan puzzle yang membentuk satu kesatuan kokoh: kepemimpinan kepala sekolah, kinerja guru, iklim lingkungan belajar, dan kompetensi lulusan. Keempatnya menjadi denyut nadi yang menentukan apakah sebuah SMK benar-benar siap mencetak generasi kompeten atau hanya sebatas lembaga pencetak ijazah.
“Nakhoda” Visioner dengan Naluri “Bisnis”
Pilar pertama dan utama adalah kepemimpinan kepala sekolah. Instrumen akreditasi terbaru menuntut seorang kepala SMK tidak lagi hanya berperan sebagai manajer administratif, tetapi sebagai “nakhoda” visioner. Salah satu kekhasan utama dalam penilaian ini adalah penekanan pada “ketajaman bisnis” dan kemampuan kepala sekolah dalam membangun jejaring kemitraan strategis dengan dunia kerja.
Kepala sekolah dituntut mampu membaca tren industri, mengantisipasi perubahan dunia kerja, dan menerjemahkannya menjadi program-program inovatif di sekolah, seperti teaching factory atau unit usaha produktif. Tanpa visi bisnis yang tajam dari pemimpinnya, sebagus apa pun fasilitas yang dimiliki, sebuah SMK akan kesulitan mengejar laju perubahan industri.
Membawa Industri ke Ruang Kelas
Pilar kedua dan ketiga—kinerja guru dan lingkungan belajar—adalah jantung dari proses pendidikan kejuruan. Guru tidak hanya dinilai dari cara mengajar, tetapi juga dari kemampuannya menjalin hubungan erat dengan industri untuk menyelaraskan kurikulum. Lingkungan belajar pun tak lagi dimaknai sebatas ruang kelas yang rapi, melainkan sebuah miniatur dunia kerja.
Akreditasi SMK secara spesifik mengukur bagaimana sekolah menerapkan budaya kerja industri, terutama terkait prinsip Keselamatan, Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan Kerja (K3 Lingkungan Kerja). Selain itu, keterlibatan praktisi industri sebagai pengajar atau mentor menjadi salah satu indikator kunci. Tujuannya jelas siswa tidak hanya belajar teori, tetapi juga merasakan langsung atmosfer, disiplin, dan etos kerja profesional sejak dini.
Portofolio Kerja, Bukti Kompetensi Sejati
Pada akhirnya, muara dari semua proses adalah pilar keempat: kompetensi lulusan. Mutu sebuah SMK paling sahih diukur dari lulusannya. Instrumen akreditasi kini tidak hanya melihat angka kelulusan, tetapi menuntut bukti konkret berupa “portofolio kerja” yang diakui dunia industri.
Portofolio ini bisa beragam bentuk, mulai dari sertifikat kompetensi dari lembaga resmi seperti BNSP, micro credential dari platform terpercaya, hingga hasil karya nyata berupa produk, proyek, atau desain yang pernah dibuat siswa selama menempuh pendidikan. Inilah bukti bahwa siswa tidak hanya “tahu”, tetapi benar-benar “bisa”. Data penelusuran lulusan—apakah mereka bekerja, berwirausaha, atau melanjutkan studi—menjadi penentu akhir dari keberhasilan sebuah SMK.
Pergeseran paradigma akreditasi ini adalah langkah maju yang krusial. Ia memaksa sekolah untuk melakukan refleksi mendalam, tidak lagi terjebak pada formalitas, dan fokus pada hal yang paling esensial: memastikan setiap siswa yang melangkah keluar dari gerbang sekolah benar-benar membawa bekal kompetensi yang relevan dan siap bersaing. Ini adalah wujud akuntabilitas publik yang sesungguhnya, memastikan hak setiap anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan kejuruan yang berkualitas dan bermakna.
“Ala kulli hal” pada akhirnya, Pergeseran paradigma akreditasi SMK secara fundamental mengubah fokus penilaian dari sekadar pemenuhan formalitas administratif menjadi pengukuran kinerja yang utuh dalam sebuah “Ekosistem Mutu Kinerja”. Ekosistem ini ditopang oleh empat pilar krusial yang saling terkait: kepemimpinan kepala sekolah yang visioner dengan ketajaman bisnis, kinerja guru yang mampu menyelaraskan kurikulum dengan industri, lingkungan belajar yang menginternalisasi budaya kerja profesional , serta kompetensi lulusan yang divalidasi melalui portofolio karya nyata dan data keterserapan di dunia kerja.
Dengan demikian, akreditasi kini menjadi cerminan otentik dari kemampuan sebuah SMK untuk secara nyata menghasilkan lulusan yang kompeten dan siap bersaing, bukan lagi sekadar penilaian atas kelengkapan dokumen atau tampilan fisik semata
Referensi:
- BAN-PDM. (2025). Modul 2 [PA-SMK] SMK Bermutu. Disampaikan dalam Pelatihan Asesor Akreditasi SMK/MAK.
- BAN-PDM. (2025). Modul 3 [PA-SMK] Pendalaman Instrumen SMK. Disampaikan dalam Pelatihan Asesor Akreditasi SMK/MAK (IA-2024 Versi 2025).
- BAN-PDM. (2025). Modul 4 [PA-SMK] Penggalian Data Perangkat SMK. Disampaikan dalam Pelatihan Asesor Akreditasi SMK/MAK (IA-2024 Versi 2025).
- BAN-PDM. (2025). Panduan Penjelasan Instrumen Akreditasi SMK/MAK 2024 (IA2024 Versi 2025) untuk Asesor.
* Koordintor Pusat Integrasi Keilmuan Pada Lembaga Penjaminan Mutu UIN Sunan Ampel Surabaya
*Peserta Pelatihan Asesor BANPDM ke Khususan Pada Satuan Penddidikan SMK/MAK 2024 (IA2024 Versi 2025)