Fakultas Syariah & Hukum
November 4, 2025

ANALISIS PENOLAKAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP UU NOMOR 3 TAHUN 2025 TENTANG PERUBAHAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI

ANALISIS PENOLAKAN JUDICIAL REVIEW TERHADAP UU NOMOR 3 TAHUN 2025 TENTANG PERUBAHAN UU NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TNI

Latar Belakang

UU TNI telah diubah melalui UU No. 3 Tahun 2025, menggantikan sebagian ketentuan dalam UU No. 34 Tahun 2004. Perubahan ini menuai kritik dari masyarakat sipil, LSM, akademisi, dan aktivis, terutama soal prosedur pembentukan undang-undang (proses legislasi), transparansi, partisipasi publik, serta potensi perluasan peran militer (TNI) ke ranah sipil.

Kelompok pemohon (termasuk YLBHI, KontraS, Imparsial, mahasiswa, aktivis) mengajukan uji formil dan materiil ke MK — menolak bahwa proses revisi undang-undang tersebut telah memenuhi standar konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundangan terkait pembentukan UU. Utamanya mereka menuding: (1) proses tidak transparan, dokumen dan draf RUU tidak diakses publik secara memadai; (2) revisi UU TNI tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas dari awal; (3) partisipasi publik bermakna tidak dipenuhi; dan (4) terdapat kondisi-kondisi yang menunjukkan penggunaan kekuasaan atau pengaruh yang bisa mengurangi kontrol umum dan akuntabilitas.

Pertimbangan MK dalam Menolak

MK dalam amar putusannya menolak permohonan para pemohon dengan beberapa alasan utama: Pertama, Legal Standing (Kedudukan Hukum Pemohon).
MK menyatakan banyak pemohon tidak memiliki kedudukan hukum, karena tidak dapat membuktikan bahwa mereka secara aktif ikut mengawal atau memantau proses pembentukan UU dari tahap awal. Pemohon seperti mahasiswa, aktivis, masyarakat sipil dianggap tidak menunjukkan bukti bahwa mereka terlibat secara nyata dalam proses legislasi.

Kedua, Dalil Tidak Terbukti. Beberapa dalil tentang pelanggaran prosedur, keterbukaan, atau bahwa revisi UU tersebut carry-over (melewati tahap normal perencanaan dan pembahasan) dianggap tidak terbukti menurut fakta persidangan. MK menyebut bahwa pemerintah dan DPR telah melakukan upaya membuka informasi publik melalui kanal resmi (YouTube, situs DPR), melakukan Focus Group Discussion, rapat dengar pendapat, dan sebagainya.

Ketiga, Prosedur Legislasi. MK menyatakan proses pembentukan UU tersebut mengikuti ketentuan dalam UU P3 (Peraturan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), melibatkan tahap perencanaan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Pemerintah dan DPR mengklaim bahwa Prolegnas, daftar inventarisasi masalah (DIM), serta koordinasi antar instansi telah dilakukan sesuai ketentuan.

Keempat, Tidak Ada Indikasi Hambatan Material terhadap Partisipasi Publik. MK menyebut bahwa selama proses legislasi, masyarakat memiliki akses melalui laman resmi DPR, kanal YouTube, melalui media massa, dan penyampaian pendapat publik. Karena itu, tuduhan bahwa publik tidak diikutsertakan atau bahwa dokumen rahasia secara sistematis disembunyikan atau tidak tersedia dianggap tidak berdasar.

Sebagai kesimpulan, MK menolak permohonan para pemohon “tidak dapat diterima” sebagian karena legal standing, dan “tidak beralasan menurut hukum” terhadap dalil-dalil mereka.

Dissenting Opinion: Empat Hakim yang Berbeda Pendapat

Meski pendapat mayoritas menolak permohonan terhadap Uji Materiil UU TNI, tetapi terdapat empat hakim konstitusi — Suhartoyo, Saldi Isra, Arsul Sani, dan Enny Nurbaningsih — menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan MK tersebut.

Beberapa alasan yang menjadi inti dari pendapat berbeda dari empat hakim MK antara lain: Pertama, Cacat Formil sebab Kurangnya Keterbukaan & Partisipasi Publik Bermakna. Mereka menilai bahwa meskipun pemerintah dan DPR menyebutkan telah dilakukan akses publik dan saluran partisipasi, praktiknya jauh dari standar yang mereka anggap konstitusional. Keterbukaan dokumen, draf, dan akses informasi publik tidak memadai, sehingga masyarakat tidak benar-benar bisa “mengawal” atau mengawasi secara efektif.

Kedua, Legal Standing Pemohon. Mereka berpendapat bahwa beberapa pemohon yang ditolak karena dianggap tidak punya kedudukan hukum sejatinya memiliki hak untuk mengajukan judicial review, khususnya ketika UU yang diuji berdampak langsung terhadap ruang sipil dan demokrasi secara kolektif, bukan hanya perorangan. Peran sebagai mahasiswa, aktivis, masyarakat sipil harus dapat dihargai bila ada bukti bahwa mereka terdampak atau dapat terdampak oleh ketentuan UU.

Ketiga, Kewajiban Perbaikan dalam Waktu Maksimal. Mereka mengusulkan agar MK mengabulkan permohonan untuk sebagian, atau menyatakan UU tersebut sah secara bersyarat, dengan kewajiban bagi pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) untuk melakukan revisi dalam waktu paling lama dua tahun agar memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi publik yang bermakna.

Keempat, Transparansi Proses Legislasi & Prolegnas. Saldi Isra dalam dissent-nya menyoroti bahwa revisi UU TNI tidak memasuki Prolegnas Prioritas sejak awal, yang dianggap sebagai salah satu kegagalan prosedur perencanaan yang penting. Mereka menilai prosedur carry-over atau percepatan yang melewati tahapan yang semestinya memperkecil kesempatan publik untuk ikut serta secara memadai.

Secara keseluruhan, dissenting opinion ini memandang bahwa putusan mayoritas MK terlalu permisif dalam menerima klaim pemerintah bahwa prosedur telah dilakukan “cukup”, tanpa mempertimbangkan apakah prosedur tersebut dilaksanakan dengan kualitas transparansi dan partisipasi yang nyata — bukan hanya formalitas.

Dampak dan Implikasi

Dengan adanya penolakkan mayoritas hakim MK terhadap Uji Materiil UU TNI, maka memberikan dampak dan implikasi secara yuridis. Pertama, Kekuatan Normatif UU tetap berlaku. Karena putusan MK menolak judicial review formil dan materiil permohonan, UU TNI tetap berlaku dalam bentuk yang disahkan. Artinya perubahan-perubahan yang dipersoalkan belum dibatalkan atau dikoreksi oleh MK. UU tersebut memiliki kekuatan hukum mengikat.

Kedua, Standar Pembangunan Undang-Undang. Putusan ini memberikan preseden tentang bagaimana MK menilai aspek legal standing dan partisipasi publik dalam proses legislasi. Yaitu, bahwa hanya bukti formal (undangan RDPU, kanal komunikasi resmi, publikasi online) mungkin sudah dianggap sedikit “cukup” oleh hakim mayoritas, meskipun terdapat kritik dari dissent bahwa kualitasnya rendah. Ini bisa mempengaruhi bagaimana proses legislasi UU lain di masa depan dilakukan dan diuji di MK.

Ketiga, Respons terhadap aspirasi masyarakat sipil. Penolakan ini menuai kekecewaan dari masyarakat sipil dan LSM, yang melihat bahwa jalur konstitusional untuk mempertanyakan UU tidak memadai bila prosedur atau mekanisme demokrasi dianggap tidak optimal. Dissenting opinion memberikan ruang legitimasi bagi kritik tersebut, memang. Tetapi dalam jangka pendek, UU tetap berlaku dan kekhawatiran terkait implementasi dan potensi penyalahgunaan tetap muncul.

Keempat, Waktu Revisi dan Akuntabilitas. Karena dissenting opinion mengusulkan agar legislator melakukan perbaikan dalam dua tahun, ini menjadi tekanan terhadap DPR dan pemerintah untuk melakukan evaluasi dan kemungkinan revisi terhadap bagian-bagian proses legislasi yang dianggap bermasalah. Namun tidak ada jaminan MK akan menyatakan batalnya suatu ketentuan kecuali ada judicial review berikutnya yang berhasil.

Kritik terhadap Putusan Mayoritas dan Potensi Perbaikan

Dari perspektif yang lebih kritis, berikut beberapa catatan kelemahan dan peluang perbaikan: Pertama, Kualitas Partisipasi vs Formalitas. (1) Partisipasi publik yang disebut oleh pemerintah dan DPR sebagian besar formal: FGD, RDPU, publikasi online. Tetapi kritik menyebut: apakah publik benar-benar dapat mengakses draf, apakah waktu cukup, dan apakah masukan publik memiliki dampak terhadap substansi rancangan UU? (2) Peran media dan dokumentasi: meskipun tersedia kanal YouTube dan laman DPR, tidak semua materi relevan dipublikasikan, dan masyarakat bisa tidak mengetahui kapan dan bagaimana mengaksesnya.

Kedua, Bukti legal standing yang terlalu berat. Meminta bukti bahwa pemohon “aktif mengawal sejak awal” mungkin terlalu berat atau sulit untuk dibuktikan oleh masyarakat sipil yang selama ini tidak diikutkan secara optimal.

Ketiga, Transparansi Prolegnas dan Tahapan Legislasi Awal. Apabila revisi UU TNI memang tidak masuk Prolegnas Prioritas sejak awal, ini merusak asas perencanaan legislasi yang baik. Evaluasi terhadap bagaimana Prolegnas ditetapkan dan diawasi bisa menjadi aspek penting untuk perbaikan.

Keempat, Pengawasan setelah pengesahan. Karena UU tetap berlaku, perlu ada mekanisme nyata pengawasan publik terhadap implementasi UU, termasuk penggunaan kekuasaan TNI dalam ranah sipil, dan pengaruh UU terhadap hak-hak sipil dan demokrasi.

Kelima, Peran MK dalam Standar Partisipasi Publik. Dissenting opinion menunjukkan bahwa MK bisa memperjelas dan mempertegas standar keterbukaan dan partisipasi publik dalam pembentukan UU, bukan hanya “ada saluran resmi”, tetapi standar kualitas — waktu pemberitahuan, akses dokumen, ruang masukan, dampak masukan terhadap rancangan, dan pertanggungjawaban terhadap masukan publik.

Penilaian akhir

Berdasarkan pengamatan terhadap fakta-fakta dan pendapat berbeda, berikut kesimpulan analitis:

  • Penolakan MK dalam judicial review terhadap UU TNI didasarkan pada pemahaman formal prosedur legislasi dan keamanan bahwa pengajuan pemohon tidak memenuhi standar legal standing yang menurut mayoritas hakim harus jelas dan nyata.
  • Namun, dissenting opinion menunjukkan bahwa untuk UU dengan implikasi signifikan terhadap demokrasi dan ruang sipil, pendekatan formal administratif saja tidak cukup; aspek material dari partisipasi dan keterbukaan publik harus lebih diperkuat.
  • UU tetap berlaku, sehingga potensi dampak dari ketidakoptimalan prosedur ini perlu diawasi. Di sisi lain, adanya dissenting opinion adalah sinyal bagi legislator dan pembuat kebijakan bahwa publik memantau, dan standar demokrasi prosedural tidak bisa diabaikan.

Secara khusus penulis memberikan catatan terhadap judicial review UU TNI tersebut, bahwa pemohon dalam permohonannya merancukan makna, yaitu tidak jelas apakah yang diajukan pemohon tersebut uji materiil atau uji formil karena keduanya memiliki karakter dan fokus yang berbeda. Meski harus diakui bahwa uji formil dalam sistem judicial review di Indonesia belum begitu familier – hal ini karena sistem peradilan tata negara kita yang masih tergolong muda.

Spread the love

Tag Post :

UINSAHebat

Categories

Column UINSA