Surabaya – Pagi itu, pesawat yang ditumpangi Ali Surya Baihaqi mendarat di Bandara Juanda, Surabaya. Tas ransel di punggungnya menjadi saksi perjalanan ribuan kilometer dari Merauke, Papua. Usianya baru 18 tahun, namun langkahnya telah menempuh jarak yang tidak sedikit, meninggalkan keluarga, kampung halaman, dan segala kenyamanan, demi satu tujuan — menuntut ilmu.
Ali, mahasiswa baru Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Ampel Surabaya tahun ajaran 2025/2026. Dorongan terbesar untuk merantau datang dari kedua orang tuanya. “Kedua orang tua saya menginginkan saya melanjutkan studi di Surabaya, tepatnya di UIN Sunan Ampel,” ujar Ali saat ditemui di kampus UINSA, Kamis (15/8/2025).
Awal perkuliahan tidak berjalan mulus. Ali sempat merasa berat meninggalkan tanah kelahiran. Namun, sebuah kutipan mengubah cara pandangnya. “Allah tahu apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Ada saatnya nanti kita paham mengapa kita ditempatkan di sini,” tuturnya.
Ali menargetkan menjadi lulusan cumlaude pertama di keluarganya. Lebih dari itu, ia ingin membawa manfaat bagi masyarakat. Kepada sesama perantau, ia berpesan agar tetap tegar. “Anak-anak rantau adalah orang yang paling kuat. Biarkan orang rumah tahu kita bahagia, sakitnya kita biar kita sendiri yang tahu,” katanya sambil tersenyum.
Bagi Ali, kesuksesan tidak bergantung pada nama besar kampus atau latar belakang keluarga. “Menjadi besar atau tidaknya kita tergantung diri kita sendiri. Walau berada di naungan besar tapi pasif, kita tidak akan bisa berkembang. Tapi kalau dari naungan kecil, asal punya tekad kuat dan usaha besar, insya Allah Allah akan mudahkan,” ujarnya.
Kisah Ali adalah potret kegigihan mahasiswa perantau: meninggalkan rumah bukan hanya soal jarak, tapi juga tentang keberanian untuk bermimpi dan berjuang mewujudkannya. *(Aisya Kumala)
