UIN Sunan Ampel Surabaya
August 31, 2025

AKSI TANPA ANARKI

AKSI TANPA ANARKI

Memahami fenomena aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025 merupakan bentuk refleksi aspirasi rakyat, sebagai bagian dari suara demokrasi. Namun, suasana yang awalnya diharapkan menjadi ekspresi kebebasan berubah menjadi mencekam dan mengkhawatirkan karena ketidakpastian, layaknya bom waktu di beberapa daerah seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Gerakan massa ini berkembang menjadi kekuatan besar yang menuntut perubahan, bersikap resisten, dan tetap menyampaikan aspirasi mereka meskipun menghadapi berbagai hambatan, menyampaikan tuntutan mereka tanpa dapat dihalangi, menunjukkan kekuatan nyata masyarakat dalam menegakkan haknya.

Demonstrasi yang terjadi menjadi cerminan bahwa mahasiswa dan masyarakat sipil berperan sebagai penggerak perubahan sosial sekaligus pengawal legitimasi institusi politik. Aksi protes sosial bukan sekadar kerumunan massa di jalanan, melainkan refleksi dari tuntutan rakyat agar suaranya diakui dalam sistem demokrasi dan sebagai bentuk kontrol terhadap kekuasaan politik melalui struktur formal di parlemen. Aksi massa memiliki tujuan praktis, yaitu menyampaikan aspirasi masyarakat secara langsung melalui gerakan di jalanan menuju kantor Dewan atau lembaga Pemerintahan terkait, untuk mengingatkan dan didengar, sehingga dapat mendorong perubahan perilaku politik yang menghormati kehidupan bermasyarakat yang bermartabat tanpa represi, maupun delegitimasi suara demokrasi rakyat.

Memahami fenomena aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025 sebagai refleksi aspirasi rakyat tidak lepas dari konteks sejarah gerakan sosial di Indonesia. Jika dilihat secara historis, gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang menentang rezim Orde Baru pada 1998 juga menunjukkan pola serupa; penggerak perubahan sosial sekaligus pengawal legitimasi politik. Saat itu, tuntutan mahasiswa terhadap reformasi politik, transparansi, dan pengakhiran korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi simbol bahwa suara rakyat tidak boleh diabaikan. Demonstrasi 1998, seperti halnya aksi 2025, bukan sekadar kerumunan di jalanan, melainkan bentuk tekanan kolektif terhadap kekuasaan yang dianggap tidak responsif terhadap aspirasi publik seperti isu kenaikan tunjangan anggota DPR yang kontroversial, kebijakan Pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada Masyarakat, menaikkan pajak bumi-bangunan di berbagai daerah, pemangkasan anggaran untuk pendidikan dan kesehatan, kematian Ojol di lindas mobil baja taktis Brimob, dan tindakan represif aparat dalam pengamanan massa.

Suasana demonstrasi 1998, meski penuh risiko, mendorong terciptanya perubahan besar dalam struktur politik Indonesia, termasuk pengunduran diri Presiden Soeharto dan lahirnya era reformasi. Hal ini menunjukkan bahwa aksi massa memiliki fungsi integritas sosial: mengingatkan dan menuntut institusi politik untuk mendengarkan rakyat, serta menegaskan hak warga negara dalam sistem demokrasi. Sama seperti aksi Agustus 2025, demonstrasi 1998 menuntut perubahan perilaku politik yang menghormati prinsip keadilan, martabat, dan partisipasi masyarakat, tanpa perlakuan represif dengan pengamanan yang diktatorian.

Dengan membandingkan kedua peristiwa ini, terlihat bahwa gerakan mahasiswa dan kekuatan masyarakat sipil selalu menjadi indikator vitalitas demokrasi. Demonstrasi bukan hanya sekadar protes fisik, tetapi juga sarana kontrol sosial terhadap kekuasaan politik. Baik pada 1998 maupun 2025, aksi massa menunjukkan bahwa perubahan sosial menuntut keberanian kolektif untuk menyuarakan aspirasi, menegakkan legitimasi institusi politik, dan memastikan demokrasi tetap berfungsi sebagai mekanisme perlindungan hak-hak rakyat. Dalam perspektif ini, gerakan Agustus 2025 dapat dipahami sebagai kelanjutan dari tradisi perjuangan mahasiswa di Indonesia untuk menjaga suara rakyat di Parlemen tetap hidup dalam ruang demokrasi yang dinamis.

Dilihat dari perspektif sosiologi konflik, fenomena ini dapat dipahami sebagai manifestasi ketegangan struktural antara kelompok masyarakat yang merasa terpinggirkan atau diabaikan dengan aparat negara dan elite politik. Kekerasan simbolik dan fisik yang terjadi bukan semata-mata kehendak individu, melainkan wujud tekanan sistemik yang menumpuk akibat ketidakadilan, perasaan frustrasi, serta distribusi kekuasaan yang timpang. Dalam kerangka ini, kerusuhan menjadi bentuk komunikasi ekstrem yang memaksa institusi politik menghadapi konflik kepentingan, sekaligus memperlihatkan bahwa ketidakmampuan sistem politik untuk menyalurkan aspirasi secara damai dapat memicu eskalasi sosial yang merusak tatanan masyarakat. Ralf Dahrendorf, mengingatkan bahwa konflik sosial merupakan bagian integral dari struktur masyarakat yang dinamis. Tidak ada kesetaraan dalam distribusi kekuasaan dan sumber daya sering kali menjadi pemicu utama konflik. Senada dengan Johan Galtung mengenai kekerasan struktural disebabkan karena struktur sosial yang tidak adil dapat menciptakan kondisi yang memicu kekerasan fisik.

Aksi demonstrasi mahasiswa pada Agustus 2025 di Indonesia menandai salah satu titik kritis ketegangan sosial, yang berlangsung di berbagai kota metropolis seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Jogyakarta, Surabaya, Makassar dan daerah lain. Peristiwa ini, yang mencakup pembakaran gedung DPRD di Makassar, rumah dinas anggota MPR di Bandung, membakar Gedung DPRD Kabupaten Cirebon, dan kerusuhan di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, menunjukkan eskalasi dari protes damai menjadi kekerasan fisik. Fenomena ini dapat dianalisis melalui perspektif sosiologi konflik, Dahrendorf (1959, hlm. 27) menekankan bahwa ketimpangan kekuasaan dan sumber daya menjadi pemicu utama ketegangan sosial.

Dahrendorf dalam Class and Class Conflict in Industrial Society (1959: 28-29) berargumen bahwa konflik merupakan bagian integral dari struktur sosial yang dinamis, terutama ketika kelompok subordinat merasa terpinggirkan dan tidak memiliki saluran untuk menyalurkan aspirasi secara sah. Dalam konteks demonstrasi Agustus 2025, ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah, seperti kenaikan tunjangan anggota DPR yang tidak proporsional serta tindakan represif aparat terhadap demonstran, menjadi katalis utama eskalasi konflik.Teori kekerasan struktural Johan Galtung dalam Violence, Peace, and Peace Research (1969: 168–172) relevan untuk menjelaskan kerusuhan ini. Kekerasan struktural muncul ketika sistem sosial yang tidak adil menghasilkan ketidaksetaraan yang menghambat akses kelompok tertentu terhadap kebutuhan dasar dan hak-haknya. Ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan politik dan ekonomi, ditambah dengan respons represif aparat, dapat dipahami sebagai bentuk kekerasan struktural yang pada akhirnya memicu tindakan destruktif dari massa (Galtung, 1969). Dengan demikian, ketidakmampuan sebagian demonstran dalam mengendalikan sikap dan perilakunya merupakan ekspresi ketidakpuasan yang terakumulasi akibat kegagalan sistem dalam menyalurkan aspirasi secara damai.

Selain itu, teori mobilisasi sumber daya McCarthy, J.D., & Zald, M.N. (1977: 121-125) dalam Resource Mobilization and Social Movements: A Partial Theory menekankan bahwa kelompok sosial akan melakukan aksi kolektif ketika mereka memiliki kapasitas dan sumber daya untuk bertindak. Dalam kasus ini, mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya memiliki solidaritas sosial yang kuat serta akses ke media sosial untuk mengorganisir dan menyebarkan protes secara luas, sehingga meningkatkan efektivitas aksi. Namun, meski kerusuhan dapat dipahami sebagai manifestasi konflik struktural, pendekatan kekerasan tetap tidak dibenarkan secara normatif. Perubahan sosial yang berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui mekanisme partisipatif dan dialog yang konstruktif antara masyarakat dan institusi politik.

Bagaimana dengan aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat pada Agustus 2025 di berbagai kota besar Indonesia, termasuk Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar, memunculkan perdebatan signifikan terkait respons aparat keamanan. Tindakan represif, seperti penggunaan gas air mata, water cannon, penangkapan sewenang-wenang, serta kekerasan fisik terhadap pengunjuk rasa, memperburuk eskalasi sosial dan memunculkan kerusuhan di beberapa daerah.

Dari perspektif sosiologi konflik, tindakan represif aparat dapat dipahami sebagai refleksi ketegangan struktural dalam masyarakat. Dahrendorf (1959: 30) menekankan bahwa konflik antara kelompok dominan dan subordinat muncul ketika distribusi kekuasaan dan sumber daya tidak merata. Aparat negara, sebagai representasi kekuasaan institusional, sering berperan dalam mempertahankan status quo yang dianggap menguntungkan elite politik, meskipun hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan resistensi dari masyarakat yang terpinggirkan.

Johan Galtung (1969: 173) melalui konsep kekerasan struktural menjelaskan bahwa ketidakadilan sistemik dapat memunculkan kondisi di mana kekerasan fisik menjadi konsekuensi yang hampir tak terhindarkan. Dalam konteks Agustus 2025, ketidakadilan sosial-ekonomi, ketidaksesuaian kebijakan publik dengan kebutuhan rakyat, serta penggunaan kekerasan oleh aparat memperlihatkan bahwa sistem gagal menyediakan mekanisme damai bagi aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, tindakan represif aparat bukan sekadar respons terhadap massa, tetapi juga manifestasi dari kegagalan struktur politik dan sosial untuk menyeimbangkan kekuasaan dan memenuhi hak-hak warga negara.

McCarthy & Zald (1977: 121-125) dalam teori mobilisasi sumber daya dapat digunakan untuk menganalisis dinamika kelompok sosial, dalam hal ini mahasiswa dan kekuatan masyarakat sipil, akan melakukan aksi kolektif ketika mereka memiliki sumber daya baik material, jaringan sosial, maupun media informasi yang memungkinkan mereka menekan pihak berwenang. Reaksi aparat yang represif justru memperkuat solidaritas internal kelompok demonstran, meningkatkan mobilisasi, dan dapat memicu eskalasi kekerasan, seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Surabaya dan Makassar.

Dengan mempertimbangkan fakta-fakta di atas, sulit dibayangkan gerakan mahasiswa dan kekuatan masyarakat sipil dapat menjadi kelompok penekan yang efektif untuk mewujudkan reformasi yang diidam-idamkan apabila masih terjadi tindakan represif dari aparat atau aksi anarkis dan destruktif saat menyampaikan aspirasi demokrasi. Aparat, di satu sisi, berperan sebagai pelindung dan pengayom masyarakat; namun apabila responsnya bersifat represif, saluran komunikasi dan negosiasi yang damai menjadi terhambat, sehingga potensi perubahan sistemik menjadi tereduksi. Analogi yang relevan dapat ditarik dari pengalaman sejarah transisi politik Indonesia: turunnya Presiden Soeharto pada 1998, yang awalnya dipandang sebagai gerbang menuju reformasi total, ternyata menghasilkan perubahan yang tidak sepenuhnya sesuai harapan, karena proses transisi demokrasi bukan hanya soal pergantian rezim, melainkan juga soal bagaimana aspirasi masyarakat tersalurkan secara konstruktif dan demokratis. Meminjam istilah Samuel P Hangtintion dalam The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991: 114, 116, 231) tentang tiga skenario transisi Demokrasi; transformation, transplacement, dan replacement dapat ditelaah secara kontekstual terhadap demonstrasi Agustus 2025.Pertama, transformation. Skenario ini terjadi ketika perubahan demokratis muncul dari dalam rezim atau institusi yang berkuasa. Dalam konteks aksi mahasiswa dan kekuatan masyarakat sipil, jika pemerintah atau DPR merespons tuntutan rakyat dengan reformasi internal, seperti evaluasi kebijakan tunjangan anggota legislatif atau penguatan mekanisme partisipasi publik, maka aspirasi masyarakat dapat tersalurkan secara konstruktif. Transformation menekankan pada kemampuan elite yang berkuasa untuk beradaptasi dengan tuntutan rakyat tanpa harus menimbulkan konflik fisik, sekaligus menghindari gaya hidup ala aristokrat, borjuis dan hedonis yang dapat mencederai perasaan masyarakat.Kedua, transplacement ini adalah perubahan melalui negosiasi antara kelompok penguasa dan oposisi atau masyarakat sipil. Demonstrasi yang damai dan direspon dengan dialog terbuka oleh aparat, memungkinkan terciptanya kesepakatan politik yang reformis. Dalam kasus Agustus 2025, jika mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat lainnya dapat menekan pemerintah melalui aksi damai, sementara aparat tetap menjaga keamanan tanpa melakukan kekerasan, maka aksi tersebut bisa memfasilitasi transplacement. Hasilnya adalah perubahan kebijakan dan perilaku politik yang mengakomodasi tuntutan publik, sekaligus menjaga stabilitas sosial.Ketiga, replacement sebagai skenario ini terjadi ketika rezim digantikan secara paksa akibat tekanan massa atau intervensi eksternal. Dalam demonstrasi Agustus 2025, kerusuhan di Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar pembakaran gedung DPRD, kantor dinas Pemerintah, dan bentrokan dengan aparat menunjukkan potensi pergeseran menuju replacement jika saluran aspirasi damai terhalang. Kekerasan massa dan respons represif aparat memperbesar risiko transisi destruktif, di mana perubahan politik bukan melalui reformasi yang direncanakan, tetapi melalui konflik yang merusak tatanan sosial.

Dengan demikian, tindakan represif aparat pada demonstrasi Agustus 2025 harus dipahami tidak hanya sebagai respon hukum atau keamanan semata, tetapi juga sebagai cerminan ketimpangan kekuasaan yang melekat dalam sistem politik. Analisis ini menunjukkan perlunya reformasi institusional, mekanisme pengawasan, serta dialog konstruktif antara aparat dan mahasiswa-masyarakat sipil agar aspirasi publik dapat tersalurkan secara damai, mengurangi potensi eskalasi konflik di masa depan. Agenda reformasi belum selesai, arah reformasi sangat bergantung pada keseimbangan antara aspirasi mahasiswa-masyarakat sipil dan respons aparat. Aksi tanpa represi dan dialog terbuka mendorong transplacement atau transformation, sementara aksi yang diikuti kekerasan dan represif aparat meningkatkan kemungkinan replacement yang destruktif. Kasus Agustus 2025 memperlihatkan bahwa meski tuntutan demokrasi sangat jelas, jalannya transisi sangat dipengaruhi oleh perilaku aktor-aktor sosial dan institusi politik.

Ibnu Khaldun (1332-1406) dalam Tārīkh Ibn Khaldūn (2011, Jilid I: 34), pada bab Fī anna al-Ijtimā‘ al-Insānī Ḍarūrīyun, mengingatkan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki watak beradab. Istilah adab dapat dimaknai bahwa lahirnya suatu peradaban masyarakat memerlukan piranti kebersamaan serta tatanan integritas sosial yang terwujud melalui kepemimpinan. Artinya, bagaimana aksi tanpa anarki, mencerminkan dorongan kodrati manusia untuk mewujudkan adab yakni lahirnya tatanan peradaban yang bersandar pada kebersamaan dan integritas sosial. Dengan demikian, gelombang demonstrasi dapat dibaca sebagai upaya kolektif masyarakat dalam menegaskan kembali pentingnya kepemimpinan yang adil, beradab, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat sebagai fondasi peradaban yang berkelanjutan.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Column, Column UINSA