Pascasarjana
May 27, 2024

MELACAK ESENSI AGAMA (INSTITUSI SOSIAL) DI INDONESIA

MELACAK ESENSI AGAMA (INSTITUSI SOSIAL) DI INDONESIA

Tidaklah cukup apabila umat beragama hanya setia merapalkan doa dan asa ke surga tanpa terlebih dahulu membangun jalan dan amalnya di bumi.”

Muhammad Nurush Shobah

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel, Surabaya, Program Studi Aqidah Filsafat Islam.

            Melihat konflik agama yang semakin bergejolak di Indonesia, maka semakin terang dan jelas bahwa agama memiliki kekuatan militan untuk dapat dikatakan agama yang melembaga. Karena, Semua agama pada awalnya selalu memihak kepada orang-orang lemah yang terzalimi. Ketika gerakan agama terlembagakan dan mendapat dukungan militan pemeluknya, agama menjadi kekuatan politik. Tak ada kekuatan yang lebih besar daripada agama yang mendorong seseorang untuk menciptakan perdamaian dan peradaban. Sebaliknya, tak ada kekuatan yang melebihi agama yang mampu mengantarkan seseorang untuk melakukan peperangan dan rela mengorbankan nyawanya.

Demikianlah, agama memiliki kekuatan paradoksal ketika tampil dalam panggung sejarah. Sejarah mencatat, para nabi pembawa agama adalah para pejuang peradaban dan pencerah zaman yang mampu memikat umatnya tanpa janji-janji jabatan, kekuasaan, dan imbalan materi. Para pengikutnya dengan setia dan militan menjaga dan menyebarkan ajarannya sehingga agama tak pernah lenyap dalam sejarah sekalipun menghadapi musuh yang hendak memadamkannya

Agama jelas memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Kebanyakan masyarakat percaya pada Tuhan. Kita cenderung memandang agama secara individual karena keyakinan dan nilai-nilai agama bersifat sangat privat bagi banyak orang. Namun, agama juga merupakan institusi sosial, karena melibatkan pola keyakinan dan perilaku yang membantu masyarakat memenuhi kebutuhan dasarnya, mengingat kembali definisi institusi social.

Pada umumnya persoalaan tentang agama memiliki dua bagian yakni teologis dan sosiologis, agama dalam teologis berkenaan dengan keberadaan sebuah keyakinan yang ditujukan terhadap suatu agama. Intinya ialah iman yakni keimanan mutlak terhadap kebenaran ajaran agama yang diyakininya. Sedangkan agama dalam sosiologis sebagai salah satu institusi sosial, sebagai subsistem dari sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu. Lebih khususnya lagi, agama merupakan seperangkat keyakinan dan praktik mengenai hal-hal suci yang membantu masyarakat memahami makna dan tujuan hidup.

Lalu, bagaiamana dengan peran agama dijadikan sebagai institusi (lembaga) bagi masyarakat social? Apakah agama dapat mendamaikan setiap masyarakat yang berkerkecimbung dalam dunia keagamaan? hal ini akan kami bahas dalam coretan berikut.

Institusi Sosial sebagai Norma Agama

Berkenaan dengan institusi social maka ia merupakan sebuah norma-norma pokok yang dibutuhkan oleh setiap kelompok dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, maka di dalam suatu masyarakat terdapat berbagai lembaga sosial, yang didasarkan pada jenis kebutuhan masyarakat. Semakin banyak kebutuhan masyarakat yang membutuhkan, maka semakin banyak pula lembaga/institusi sosial yang lahir dalam masyarakat itu.

Karena agama merupakan institusi sosial yang penting, agama telah lama menjadi topik sosiologi yang penting. Émile Durkheim (1915/1947) telah lama mengamati bahwa setiap masyarakat mempunyai kepercayaan terhadap hal-hal yang supranatural dan menakjubkan serta keyakinan terhadap hal-hal yang lebih praktis dan membumi. Dia menyebut keyakinan sebelumnya sebagai keyakinan suci dan keyakinan terakhir sebagai keyakinan profan . Keyakinan dan praktik keagamaan melibatkan hal-hal yang sakral: hal-hal tersebut melibatkan hal-hal yang tidak dapat dengan mudah diamati oleh indera kita, dan hal-hal tersebut melibatkan hal-hal yang membuat kita kagum, hormat, dan bahkan takut.

Durkheim tidak berusaha membuktikan atau menyangkal keyakinan agama. Agama, diakuinya, adalah persoalan iman, dan iman tidak dapat dibuktikan atau disangkal melalui penyelidikan ilmiah. Sebaliknya, Durkheim mencoba memahami peran agama dalam kehidupan sosial dan dampaknya terhadap struktur sosial dan perubahan sosial terhadap agama. Singkatnya, ia memperlakukan agama sebagai institusi sosial.

Ciri lain dari semua agama adalah penggunaan upacara danritual. Prosedur yang bergaya dan formal ini, seperti berdoa memiliki tujuan menurut Durkheim. Ingat kembali perbedaan antara yang sakral dan yang profan: manusia menurut definisinya adalah bagian dari dunia yang profan, sedangkan agama adalah dunia yang sakral dan dengan demikian memiliki sifat-sifat yang luar biasa dan bahkan berbahaya. Upacara dan ritual memungkinkan orang untuk mendekati dengan tuhan mereka dengan hormat, penuh hormat dan aman.

Kelompok agama selalu diorganisir berdasarkan komunitas moral orang-orang yang memiliki keyakinan dan nilai yang sama. Hal ini berfungsi untuk menjaga kesinambungan dari generasi ke generasi serta memberikan dukungan kelompok bagi para anggotanya di saat suka dan duka. Berada bersama orang lain dalam komunitas menciptakan rasa solidaritas sosial karena mengamalkan keyakinan memperkuat sistem kepercayaan yang menopangnya. Ini juga menghasilkan koneksi seperti yang ditemukan di jaringan sosialyang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari; misalnya, seseorang mungkin berbisnis dengan anggota yang lain.

Elemen terakhir dalam semua agama adalah pengalaman pribadi penganutnya. Apakah agama memberi makna pada kehidupan seseorang, menyediakan cara untuk menghilangkan rasa bersalah atau mengatasi masalah, agama dapat menjadi sangat penting dan berpengaruh bagi para penganutnya.

Lembaga sosial muncul dalam masyarakat karena adanya norma yang pada mulanya terbentuk secara tidak sengaja, lama kelamaan norma tersebut dibuat secara sadar. Mislanya, norma (ukuran) tentang pendidikan. Pada awalnya pendidikan bukan merupakan sesuatu yang menjadi ukuran status seseorang. Lama kelamaan pendidikan itu disadari oleh anggota masyarakat, maka pendidikan itu menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Pendidikan dirasakan sebagai suatu yang memberi status, maka pendidikan itu menjadi melembaga dalam masyarakat. Jadilah pendidikan sebagai salah satu intitusi social.

Agama disebut Institusi/Lembaga Sosial, Ketika?

Proses agama dijadikan sebagai Lembaga sosial dapat diketahui berawal dari pengetahuan terhadap nilai dan norma yang terkandung dalam agama itu, walaupun masih taraf rendah. Selanjutnya norma itu dipahami sebagai sesuatu yang dapat mengatur kehidupan bersama, maka timbullah kecenderungan untuk mentaati norma itu. Setalah disadari bahwa norma itu memang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, dengan sendirinya akan tumbuh dalam masyarakat sikap menghargai dan akan berprilaku sesuai dengan norma dan nilai agama itu.

Oleh sebab itu nilai agama tersebut tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Penolakan terhadap agama sebanarnya bukan penolakan terhadap eksistensi agama, malainkan penolakan terhadap fungsi agama. Hal ini disebabkan karena kebingungan melihat fakta-fakta sosial yang terjadi, misalnya agama yang seharusnya menjadi perekat sosial, justeru menjadi penyebab lahirnya konflik sosial di masyarakat. Agama yang seharusnya menjadi sumber motivasi bagi penganutnya dalam mencari dan memenuhi kebutuhan hidup, bahkan menjadi tempat pelarian (kompensasi) atas ketidakmampuan menghadapi cobaan hidup, lalu mengatakan bahwa itulah takdir.

Diakui, bahwa agama membawa ajaran takdir, tetapi agama meletakkan takdir di akhir usaha manusia, bukan sebagai tempat pelarian dari ketidakmampuan dan kemalasan. Rasulullah saw. melarang untuk berlindung di balik takdir untuk suatu pekerjaan yang jelek. Misalnya, seseorang dipenjara karena mencuri, lalu mengatakan bahwa ini sudah takdir. Itu artinya menempatkan takdir (agama) sebagai tempat pelarian dari suatu perbuatan yang tidak dikendaki oleh agama seperti malas.

Kenyataan seperti ini kerap kali dipahami sebagai tidak fungsionalnya agama. Eksistensi agama sama sekali tidak pernah diingakri oleh siapapun, yang digugat adalah fungsionalisasi agama. Demikian halnya dengan pandangan bahwa agama adalah illusi dan angan-angan, hanya merupakan reaksi terhadap pengamalan agama yang salah. Sering agama di salahkan ketika manusia menghadapi kesulitan hidup, bahkan agama dijadikan sebagai penyebab dari kesulitan itu, lalu seseorang berangan-angan keluar dari kesulitan hidup dengan berserah diri kepada Tuhan tanpa berusaha untuk keluar dari kesulitan hidup melalui aktifitas dan ikhtiar yang konkrit.

Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas, agama tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Jadi agama adalah fakta sosial yang eksistensinya tidak bisa diingkari. Bahkan agama merupakan sesuatu yang dilembagakan dalam masyarakat.

Peran Agama (Institusi Sosial) pada Masyarakat

Agama memiliki sarana untuk mencapai tujuannya. Agama Islam, sarana berupa kitab suci, tempat peribadatan dan sebagainya merupakan media untuk pembinaan umat untuk mencapai tujuan yang dikehendaki oleh agama itu. Di dalam kitab suci, sudah tercantum berbagai petunjuk untuk membangun individu dan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh Islam, yakni tercapainya kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Setiap agama memiliki ciri yang membedakannya dengan agama yang lain, misalnya tata cara ritual yang dilakukannya. Setiap agama, dalam prateknya selalu menunjukkan kekhasannya yang merupakan simbol yang membedakannya dengan agama yang lain. Bagi agama samawi yang diterima pada pengikutnya melalui perantaraan para Nabi dan Rasul saja, berbeda praktek ritual yang dinyalaninya, meskipun misi yang diembannya sama, yakni mengesahkan Allah swt. Puasa misalnya, berbeda antara Nabi Daud as , Nabi Ibrahim as, dan Nabi Muahammad, saw. Apalagi agama budaya yang merupakan hasil renungan para tokohnya dalam menetapkan praktek ritualnya.

Oleh karena itu, maka dapat disimpulkan bahwa agama merupakan suatu institusi atau lembaga sosial yang akan tetap ada dan fungsional dalam masyarakat. Tanpa agama, masyarakat akan mengalami kegoncangan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Agama akan tetap fungsional dalam masyarakat. Jika suatu masyarakat mengalami konflik yang disebabkan oleh persoalan agama, sebenarnya bukan karena agama itu sendiri, melainkan kesalahan memahaminya yang terjadi.

Pembahasan tentang peran agama disini juga bisa kita lihat akan dua hal, yaitu agama sebagai faktor integratif dan disintegratif bagi masyarakat. Peran agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat.

Peran agama sebagai faktor disintegratif merupakan, meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabai kan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain.

Jadi sebenarnya disintegrasi tersebut terjadi karena faktor manusianya atau penganut agamanya, apabila kita merujuk pada Al-Qur’an, faktor konflik sesungguhnya berawal dari manusia, misalnya dalam surat Yusuf ayat 5 dijelaskan tentang adanya kekuatan pada diri manusia yang selalu berusaha menarik dirinya untuk menyimpang dari nilai-nilai dan norma Ilahi. Sejalan dengan perspektif teori konflik yang menyatakan masyarakat akan menjadi lahan adanya konflik. Dalam konteks Perubahan sosial yang dikehendaki ajaran agama adalah perubahan yang memiliki dan mengutamakan nilai-nilai, yaitu perubahan dari suatu yang kurang baik menjadi baik atau yang baik menjadi lebih baik.

Secara sosiologis munculnya semangat perubahan sosial di Indonesia, biasanya lebih difokuskan pada dinamika sosial yang berkembang, meskipun pada gilirannya hampir semua aspek dapat pula menjadi pemicu arah perubahan itu sendiri. Bahkan sebagian sosiolog sependapat, bahwa perubahan di semua sektor merupakan keharusan yang tidak dapat ditawar dan ditunda-tunda, kendatipun dalam proses perjalanannya diketemukan kendala-kendala yang tidak ringan.

Ajaran agama memiliki pengaruh yang besar dalam penyatuan persepsi kehidupan masyarakat. Kehadiran agama secara fungsional sebagai “perekat sosial”, memupuk solidaritas sosial, menciptakan perdamaian, membawa masyarakat menuju keselamatan, mengubah kehidupan seseorang menjadi kehidupan yang lebih baik, memotivasi dalam bekerja dan seperangkat peranan yang kesemuanya adalah dalam rangka memelihara kestabilan sosial. Keterkaitan yang demikian erat antara agama dan masyarakat ini berdampak pada pemanfaatan fungsi kolektif agama untuk menggerakkan masyarakat demi perubahan sosial.

Dengan demikian, agama merupakan salah satu alat perekat dalam masyarakat, meskipun pada sebagian masyarakat agama merupakan persalan pribagi yang tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain dalam menjalankannya. Terjadinya konflik yang disebabkan oleh agama, biasanya disebabkan karena terjadinya fanatisme pengikutnya yang berlebihan, atau terjadinya perubahan dalam masyarakat, sehingga jika terjadi perbedaan dengan kelompok agama yang lain, mereka melupakan tujuan utama dari agama itu, sehingga agamalah yang dijadikan sebagai penyebab.

Dengan demikian,Agama dalam kehidupan berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma. Norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Dalam konteks perubahan sosial agama berperan dalam perubahan sosial dengan memberikan ide dan membentuk nilai-nilai yang mempengaruhi tindakan manusia serta memotivasi terhadap proses aktif dalam pembangunan masyarakat.

Sedangkan perubahan yang mengarah pada kemajuan (progress), posisi agama pun memberikan kontribusi yang sangat besar. Dengan agama, manusia dapat menebarkan perdamaian dan cinta kasih di antara sesama, optimis dalam menatap masa depan, menegakkan keadilan, kemudian teknologi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, proses perubahan sosial tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab seluruh masyarakatnya, terutama para pemeluk agama.

Dalam perspektif sosiologis merubah masyarakat ke arah yang lebih baik merupakan sebuah keharusan yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, umat beragama dengan semangat ajarannya, memikul tanggung jawab untuk memperkuat nilai-nilai moral, etik dan spiritual sebagai landasan pembangunan, untuk menuju kehidupan yang harmonis.

Spread the love

Tag Post :

Categories

Articles, Artikel