Suporter dan Pentingnya Kesadaran Massa Dalam Sepak Bola
Dunia sepak bola berduka, Indonesia berduka atas insiden kerusuhan suporter di stadion Kanjuruhan Malang yang terjadi Sabtu malam (1 Oktober 2022) dan menelan ratusan korban jiwa. Hingga sekarang (saat ini ditulis), 187 suporter meninggal, dan yang lainnya masih di rawat di rumah sakit. Peristiwa ini menjadi catatan sejarah kelam dalam dunia olah raga khususnya sepak bola di Indonesia. Rentetan keurusuhan supoter selalu mewarnai hiruk-pikuk pentas dan eforia sepak bola Indonesia, mulai Liga 1, Liga 2, dan bahkan Liga 3. Eforia pasca kemenangan Timnas sepak bola Indonesia atas Timnas Curacau dalam pertandingan persahabatan yang teragendakan dalam kalender FIFA ternoda oleh peristiwa kerusuhan suporter yang terjadi di Malang, Jawa Timur.
Kerusuhan suporter di Indonesia memiliki dua jenis yaitu kerusuhan internal dan eksternal suporter. Kerusuhan internal suporter terjadi bila peristiwa yang memicu bersumber dari internal club sepak bola dan gesekan antar internal suporter. Kerusuhan eksternal suporter terjadi bila peristiwa yang memicu bersumber dari gesekan dengan suporter tim lawan main. Melihat kronologi peristiwa yang terjadi di stadion Kanjuruhan Malang, kerusuhan terjadi termasuk dalam kategori kerusuhan internal suporter. Kategori ini cukup beralasan dengan melihat; pertama, sebelum pertandingan berlangsung, suporter Persebaya yang menjadi lawan main tidak diperkenankan hadir ke stadion untuk menghindari bentrokan antar suporter. Kedua, peristiwa kerusuhan yang terjadi murni karena kekecewaan suporter terhadap tim Arema yang menuai kekalahan dihadapan pendukungnya dengan tim lawan Persebaya yang dikenal dengan ‘musuh bebuyutan’ dalam sepak bola. Gensi aremania dipertaruhkan dalam kekalahan ini.
Sepak bola telah menjadi komoditas industri olah raga yang memiliki market value yang paling menjanjikan untuk dikembangkan. Penilaian ini tidak berlebihan, mengingat jumlah penggemar sepak bola di Indonesia sangat besar dan juga fanatik. Namun demikian, peluang ini juga dapat berbalik arah menjadi komoditas industri olah raga yang beresiko rugi besar karena berkaitan erat dengan fanatisme suporter yang berakibat kerugian, bahkan dihentikan kompetisinya.
Ada beberapa faktor yang mendasari suporter dapat melakukan kerusuhan, pertama, kekecewaan pada tim sepak bola yang didukungnya, kedua, kekecewaan pada manajemen yang mengelola, dan ketiga, ada oknum suporter yang memang seringkali memicu terjadinya keributan antar suporter. Dalam perspektif psikologi massa, suporter merupakan tempat berkumpulnya individu-individu penggembar sepak bola dalam satu tim tertentu. Individu yang berkumpul dalam sebuah kelompok tertentu ini akan melahirkan perilaku massa. Seorang suporter jika belum bergabung dengan suporter lainnya tidak memiliki kekuatan dalam menggerakkan opini dan perilakunya. Namun, jika suporter telah bergabung dengan kelompoknya, mereka merasa memiliki kekuatan yang berlipat. “Sendiri tidak memiliki kekuatan, berkelompok menaikkan kekuatan dan keberanian yang berlipat”. Inilah sesungguhnya yang terjadi dalam karakter suporter di manapun. Dengan karakter ini, pemicu masalah sedikitpun jika terjadi di lapangan, akan menimbulkan peristiwa yang lebih besar jika tidak cepat dikendalikan.
Peristiwa kerusuhan suporter memberikan kesadaran bersama bahwa pengelolaan pertandingan yang tertib, aman, terkendali, dan saling menguntungkan berbagai pihak sangat diperlukan demi tercapainya tujuan kompetisi olah raga, khususnya sepak bola. Kesadaran bersama untuk mejadi suporter yang fanatik diperlukan, namun tidak fanatik yang membabi-buta. Suporter harus siap menikmati setiap kemenangan timnya dan juga harus siap menerima dan menderita setiap kekalahan timnya. Kesadaran massa harus dibentuk menjadi kesadaran masif yang dimiliki semua suporter.
Secara umum, kerusuhan suporter dapat berawal dari individu-individu yang memiliki sikap tidak puas terhadap performa tim yang dibelanya. Dalam sudut pandang teori spiral keheningan, ide dan gagasan ketidakpuasan bersumber dari invidu-individu kemudian meluas kepada individu-individu yang lain, dan menjelma menjadi kekuatan kelompok/massa yang melakukan tindakan protes dalam bentuk ucapan lisan, tulisan, dan perilaku. Di sinilah pentingnya memiliki kesadaran massa dalam suporter sepak bola.
Kesadaran massa dapat dimulai dari setiap individu, dan bergerak mempengaruihi invividu yang lain dalam kelompok suporter. Inilah funsgi konformitas dalam psikologi kelompok massa. Kiesler (1969) menjelaskan kekuatan kelompok massa dibentuk oleh kesadaran individu secara bersama, dan membentuk kekuatan massa yang dapat memberikan tekanan dan pengaruh pada pihak lain.
Pembentukan kesadaran massa memerlukan keterlibatan pihak terkait dalam elemen olah raga sepak bola. Ada peran pemerintah melalui aparat keamanan (polisi dibantu oleh TNI) yang bertugas membangun suasana tertib, aman, dan terkendali. Ada peran pemilik club sepak bola yang bersentuhan langsung dengan suporternya, dan ada peran lembaga PSSI sebagai pengatur regulasi sepak bola, dan ada peran media dalam menyebarkan informasi. Semua pihak harus saling bekerjasama dalam membangun suasana kesadaran soporter secara masif agar dunia sepak bola dapat berkembang sebagaimana mestinya.
Sepak bola tidak boleh hanya dijadikan sebagai pemenuhan kebutuhan pemilik club, namun juga harus menjadi pemenuhan kepuasan suporter. Tim sepak bola dan suporter adalah dua kelompok yang saling terikat. Sepak bola tanpa suporter adalah kematian. Pemilik club harus mampu menjaga asa supporter tetap dalam ketertiban dan kedamaian, dan pemerintah berperan mengatur regulasi yang saling menguntungkan. Jaya Sepak Bola Indonesia.
*Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya | Sekretaris Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam