Podcast EduTalk HMP MPI kembali digelar dengan menghadirkan dua diskusi menarik yang membahas masa depan lulusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) serta dampak pemangkasan anggaran terhadap dunia pendidikan. Podcast ini berlangsung dalam dua sesi, yaitu pada Jumat, 28 Februari 2025 dan 7 Maret 2025. Dengan mengusung jargon “Edukasi Kuat, Kepemimpinan Hebat,” acara ini bertujuan memberikan wawasan kepada mahasiswa dan masyarakat tentang tantangan serta peluang di bidang pendidikan.

Pada sesi pertama yang berlangsung pada 28 Februari 2025, Prof. Drs. H. Nur Kholis, M.Ed.Admin., Ph.D., seorang guru besar di UIN Sunan Ampel (UINSA), hadir sebagai narasumber utama untuk membahas tema “Masa Depan Lulusan MPI: Peluang, Keterampilan, dan Tantangan.” Dalam pemaparannya, beliau menjelaskan pentingnya lulusan MPI untuk memiliki keterampilan multitalenta, seperti kemampuan menulis, mengelola, serta berkompetisi di berbagai bidang. Manajemen pendidikan, menurutnya, bukan hanya sekadar mengelola sekolah tetapi juga mencakup pengelolaan lembaga pendidikan berbasis bisnis yang tetap mengutamakan mutu dan kesejahteraan masyarakat.
Banyak alumni MPI yang masih bingung dengan prospek karir mereka setelah lulus. Prof. Nur Cholis menegaskan bahwa lulusan MPI tidak harus menjadi kepala sekolah, tetapi bisa berkembang di berbagai posisi, baik sebagai pemimpin pendidikan, administrator, maupun pengelola lembaga pendidikan yang lebih luas. Dalam sesi ini, host Ahmad Fadhlullah menekankan bahwa kepemimpinan dimulai dari diri sendiri. Kepemimpinan tidak harus selalu formal, tetapi bisa dimulai dari organisasi, komunitas, atau bahkan kompetisi akademik.

Pada sesi kedua yang berlangsung pada 7 Maret 2025, Podcast EduTalk kembali menghadirkan diskusi yang lebih menyoroti kebijakan pemerintah, yakni “Dampak Pemangkasan Anggaran terhadap Manajemen Pendidikan.” Acara ini menghadirkan narasumber Abu Yazid Albusthomi dari UINSA prodi Hukum Ekonomi Syariah, Haris Fatah dari UINSA prodi PAI, dan Siti Nurhaliza S.Ag dari Universitas Darussalam Gontor prodi Aqidah Filsafat Islam serta dipandu oleh moderator Abd Hamid. Diskusi ini berangkat dari kebijakan pemerintah yang melakukan pemangkasan anggaran pendidikan melalui Instruksi Presiden (Inpres).
Yazid menegaskan bahwa kebijakan ini diambil tanpa campur tangan pihak lain, tetapi tetap menimbulkan pertanyaan apakah langkah ini benar-benar membawa dampak positif atau justru memperburuk kualitas pendidikan. Siti Nurhaliza menyoroti bahwa efisiensi anggaran harus dilakukan dengan pemanfaatan sumber daya yang tepat. Ia mengutip pemikiran Imam Syafii, yang menyatakan bahwa “salah satu aspek dalam mendapatkan ilmu adalah dirham (uang),” sehingga pemangkasan anggaran bisa berdampak buruk terhadap kualitas dan kuantitas pendidikan.
Sementara itu, Haris Fatah menegaskan bahwa anggaran pendidikan saat ini sudah terbatas bahkan tanpa adanya efisiensi. Jika anggaran dipotong lebih jauh, maka dampaknya akan semakin besar terhadap proses belajar-mengajar, tenaga pengajar, serta fasilitas pendidikan. Dampak pemangkasan ini juga dinilai menciptakan ketimpangan dalam sektor pendidikan. Yazid mengutip pernyataan seorang Guru Besar UGM, yang menyayangkan bahwa pemangkasan anggaran lebih banyak berdampak pada lembaga fundamental seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sementara lembaga seperti Kementerian Pertahanan tidak terkena dampaknya. Hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai keadilan dalam pengambilan kebijakan.
Sebagai solusi, Siti Nurhaliza menawarkan pengkajian ulang dan evaluasi dengan menerapkan skala prioritas dalam penggunaan anggaran. Dengan pendekatan ini, diharapkan kebijakan anggaran bisa lebih tepat guna tanpa mengorbankan kualitas pendidikan. Selain membahas dampak pemangkasan anggaran, diskusi juga menyoroti fenomena “Kabur Aja Dulu,” di mana banyak generasi muda memilih untuk meninggalkan Indonesia demi mencari peluang di luar negeri.
Siti Nurhaliza menilai fenomena ini sebagai bagian dari brain drain, di mana sumber daya manusia unggul lebih memilih bekerja atau belajar di luar negeri. Namun, ia setuju jika tujuan mereka adalah “pergi untuk kembali” dan membangun bangsa. Di sisi lain, Yazid menekankan bahwa banyak orang memilih meninggalkan Indonesia bukan karena kurang nasionalisme, tetapi karena kondisi ekonomi dan kesejahteraan yang belum stabil. Sementara itu, Haris Fatah melihat fenomena ini sebagai ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah. Banyak yang merasa kehilangan kepercayaan, kurangnya lapangan kerja, serta kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Sebagai solusi, Siti Nurhaliza menegaskan pentingnya transparansi dan komunikasi dua arah antara pemerintah dan rakyat. Menurutnya, komunikasi adalah ruh organisasi, dan jika komunikasi ini hilang, maka kebijakan yang dibuat tidak akan berjalan dengan baik. Dalam konteks kepemimpinan, Yazid menyoroti pentingnya leadership yang berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan pribadi. Siti Nurhaliza menutup diskusi dengan menegaskan bahwa good governance harus berbasis integritas, kapabilitas, dan kredibilitas, bukan sekadar popularitas.
Podcast EduTalk HMP MPI kali ini menghadirkan wawasan baru mengenai prospek lulusan MPI, tantangan di dunia pendidikan, serta dampak kebijakan pemerintah terhadap sektor pendidikan. Diskusi yang menarik dan berbobot ini membuktikan bahwa manajemen pendidikan memegang peran penting dalam menciptakan generasi pemimpin yang kompeten dan inovatif. Tetap update dengan diskusi edukatif lainnya hanya di Podcast EduTalk HMP MPI!
