Oleh: Imroatul Azizah, Sekprodi D-IAT
Menteri Agamanya benar-benar kyai, Saya mau salaman bu. Kata temenku. Kalau aku sepanjang beliau matur, mentheleng penuh kekaguman. Menagnya alim dan arif, beliau sudah mencapai maqam mahabbah. Mak jleb tertampar dengan sangat lembut menusuk ke dalam hatiku. Berbagai komentar positif menanggapi pembinaan dari Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Nasarudin Umar, MA, Senin, 10 Pebruari 2025 di UIN Sunan Ampel Surabaya. Berikut kucatat apa yang mampu kutangkap dari yang beliau sampaikan.
Secara garis besar beliau memilah pembinaan ini sebagai pembinaan akademik dan birokrasi. UIN Sunan Ampel tidak sekedar lembaga akademik, tapi juga lembaga dakwah. Maka standarnya juga tidak sekedar akademik, tapi standar moral, agama, dan spiritualitas perlu diperhatikan. Sebagai instansi di bawah kemenag, standar birokasi dan standar pelayanan ummat harus ideal. Sebagai dosen dan sebagai ASN kemenag harus bisa mendekatkan ummat kepada ajaran agamanya.
![](https://uinsa.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/Gambar-WhatsApp-2025-02-11-pukul-13.42.54_2942cf07-726x1024.jpg)
Jawa Timur itu central point sejarah Indonesia. Kontribusi Jatim dalam perjuangan bangsa (pra-pascakemerdekaan) sekitar 35%. Perjuangan kemerdekaan, resolusi jihad, dan pencoretan 7 kata dalam Piagam Jakarta, tokohnya para kyai dari Jawa Timur. Saat sidang BPUPKI, Kyai Hasyim Asy’ari memberi ‘nasehat’ dicoretnya 7 kata dengan mencontoh sikap Nabi yang mencoret kata ‘Rasulullah’ di belakang namanya menjadi Muhammad Ibn Abdullah dalam draf Perjanjian Hudaibiyyah, padahal saat itu para sahabat tidak ada yang berani mengganti karena alasan otoritas dan kewibawaan Nabi sebagai Rasul Allah (naskah lengkap tentang penyusunan draf perjanjian Hudaibiyah: Hadis Riwayat Suhail dalam Matan Bukhari I: 5). Andai 7 kata dalam Piagam Jakarta tidak dicoret, mungkin sampai hari ini kita masih belum selesai berdebat tentang pondasi negara ini, karena di Islam sendiri banyak madhhab dan aliran; “Dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”, Syariat Islam-nya siapa? Strategi Nabi yang mencoret “rasulullah” harus menjadi landasan berpikir, bahwa mengakomodir perbedaan pendapat, tidak melulu tentang menang-kalah, tapi mengalah untuk pencapaian yang lebih besar. Jadi Jawa Timur sarat dengan beban sejarah. Menjadi pejabat di Jawa Timur harus mengerti sejarah dan posisi Jatim. Perlu extra kerja keras, semangat, dan keikhlasan.
Beliau mengkritisi klaim Muhammad Ummi (buta huruf) dari fakta bahwa Rasul mencoret gelarnya sendiri. Kalau Ummi, mana mungkin beliau tahu? Pemimpin besar, Nabi Agung dengan wahyu pertama “Iqra”, tidak mungkin kalau Nabi buta huruf. Belum lagi kata ‘Iqra’ itu tidak terbiasa dipakai pada masa itu. Dengan mengatakan Nabi ‘ummi’ sebenarnya itu merendahkan harkat dan martabat Nabi. Selanjutnya beliau menjelaskan, kenapa saat bersholawat badar kita berdiri? Dengan gayanya yang khas, beliau mengatakan: “Presiden datang saja, hadirin diminta berdiri. Wajarlah kalau kita berdiri saat bershalawat karena Rasul hadir, Ruh-nya hadir saat membaca shalawat”. Lalu beliau membaca shalawat Badar, kami semua mengikutinya dengan manis duduk, tentu beliau matur: “Kalau cinta Rasul, berdiri dong”! (hah, eh iya, kataku). Serempak semuanya berdiri dan khusyuk melantunkan shalawat tersebut dua bait. Beliau yakin Rasulullah hadir. Subhanallah.
Tentang integrasi keilmuan, Beliau menyuplik pernyataan Jusuf Kalla: “Alumni UIN itu ada di persimpangan jalan; alumninya belum bisa melampaui alumni UGM, dan juga belum bisa melampaui alumni pesantren”. Menjadi tugas bersama bagaimana UINSA bisa mengintegrasikan keilmuan Barat-Timur dengan baik. Al-Razi menafsirkan “majma’a al-bahrayni” dalam QS al-Kahfi (18), ayat 60 dengan “Perjumpaan 2 epistemologi keilmuan”, bukan sekedar perjumpaan/pertemuan dua laut”. Dalam kisah Nabi Musa, beliau merasa tidak mendapat apa-apa saat di Barat, akhirnya berjalan ke Timur dan bertemu dengan Nabi Hidr. Barat sangat rasional, semua filsafat ada di sana. Tapi semua agama dari Timur. Kekuatan intelektual dan rasionalitas belum ada apa-apanya dibanding spiritualitas. Maka tirulah kealiman para ulama dan tiru validitas para intelektual.
Kisah Nabi Sulaiman dalam QS an-Naml (27), 38-40 (Sayembara nabi Sulaiman untuk memindahkan Singgasana Ratu Saba. Ifrit sanggup mendatangkan singgasana sebelum Nabi Sulaiman berdiri dari duduknya, sementara seorang ulama ahl kitab bisa memindahkan sebelum mata berkedip), memperkuat bukti bahwa ilmu tidak semata-mata soal rasionalitas empiris. Karena saat itu, sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan mata, singgasana Ratu Saba benar-benar ada di hadapan.
Perjalanan intelektual dan kepakaran Ibn Rushd menjadi contoh bagus tentang integrasi keilmuan. Sebagai seorang dokter bedah, beliau menulis Al-Kulliyat fi at-Tibb (20 Jilid), kitab kedokteran yang dianggap setara dengan kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina; sebagai filosof, beliau hafal dan mengkritisi pemikiran Plato dan Aristoteles. Beliau juga mendebat pemikiran al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah dengan karyanya Tahafut at-Tahafut (kitab yang membalas kritik Al-Ghazali terhadap ilmu filsafat); sebagai Faqih, beliau menuangkan pemikirannya dalam Bidayah al-Mujtahid (kitab yang meneliti secara rasional nalar fiqh al-ikhtilaf/perbandingan madhhab); dan sebagai seorang sufi beliau menuliskan perjalanan spiritualnya dalam kitab “Al-Kashf ‘an Manahij al-‘Adillah” (kitab yang berisi argumen Ibnu Rushd untuk membuktikan keberadaan Tuhan). Beda pendapat biasa. Sampaikan kritik yang konstruktif. Semakin dalam ilmu seseorang, maka semakin bijak mengambil keputusan.
Kelemahan di UIN itu mantiq-nya. Dengan kurikulum MBKM, banyak Mata Kuliah yang dipangkas bahkan dibuang, termasuk ilmu Mantiq/logika ini. Beliau (Prof. Menteri) mengaku sebagai orang yang percaya dengan ilmu laduni, dan sumber ilmu tidak hanya yang masih hidup. Al-Ghazali dalam kitab Ihya, setiap hadis yang akan ditulis dikonfirmasikan dulu kepada Rasulullah, “Apakah Engkau menyampaikan begini ya Rasulullah?”. Dengan kepakaran beliau, apakah kita mempertanyakan validitasnya? Meminjam kerangka berpikir Abid al-Jabiri, Ini adalah epistemologi Irfani. Jadi, alangkah miskinnya kalau orang belajar gurunya hanya orang hidup (personal lecturer), semestinya bisa juga impersonal.
Integrasi keilmuan akan menghasilkan moral value. Al-Khawarizmi (Penemu angka nol dan Algoritma) menyatakan sebesar apapun angka dan nilai, tidak bisa lepas dari angka 1 (Tauhid, Iman). Matematika dengan moral value, 4+4 = 8. Maka jangan dikurangi 2 (korupsi), karena hasilnya jadi tidak = 8 lagi. Dalam biologi, klorofil ternyata hijau itu tidak hanya pada daun, tapi di semua unsur tanaman (akar, batang, buah, biji), jadi mestinya zat hijau pohon (bukan sekedar zat hijau daun). Bagaimana memahami QS. Yasin (36), 80: ࣙالَّذِيْ جَعَلَ لَكُمْ مِّنَ الشَّجَرِ الْاَخْضَرِ نَارًاۙ فَاِذَآ اَنْتُمْ مِّنْهُ تُوْقِدُوْنَ. Subhanallah. (Ayo anak-anakku mahasiswa doktor Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, kaji ayat ini)
Pembinaan untuk birokrat
Sebagai birokrat perlu Kepercayaan Diri. Untuk bisa PD maka unsur pertama yang harus ada adalah kejujuran. Untuk bisa jujur, syarat utama adalah bersih; bersih dari kepentingan, dan bersih-clear dalam track rekordnya. Kita bukan malaikat tapi jangan menjadi iblis. Dalam bekerja tidak mencari banyak, tinggi, atau luas, tapi mencari berkah. Buat apa kaya raya kalau berpenyakit yang makan-minum-gerak serba terbatas. Sebagai ASN tidak mengapa mobilnya second, tapi penumpangnya full senyum. Daripada pakai mobil mewah, tapi seperti ambulan (penumpangnya mati, hampir mati, atau kesedihan yang lain). Kaya hati = Ghina an-Nafs. Lakukan apapun yang sesuai dengan hati nurani. Kalau kerja ikhlas jangan takut akan resiko.
Kementerian Agama itu elan vitalnya Indonesia. Tidak boleh bubar. Kenapa banyak kewenangan kemenag yang dipreteli, ya karena masyarakat tidak yakin dengan kemenag. Mari kita berbenah. Beliau sedang menyusun kurikulum Cinta untuk pembelajaran PAI. Guru Agama tidak boleh mengajarkan kebencian. Toleransi sejati itu ada rasa cinta, bukan sekedar ko-eksistensi. Toleransi ko-eksistensi bisa menjadi bom waktu jika cinta sesama anak bangsa dan cinta sesama manusia tidak ditanamkan sejak dini dan di setiap jenjang pendidikan.
Beliau sangat berharap UINSA bisa menciptakan Kejutan Intelektual. Darul Hikmah di Cordoba bisa menghasilkan 27 Intelektual muslim kaliber dunia. Jika jaman dulu ada hadiah nobel, pasti disabet oleh mereka semua. Barat itu Maghrib, tempat tenggelamnya matahari dan awal dari kegelapan. Sementara Timur itu Mashriq, tempat terbitnya matahari dan munculnya cahaya. Tugas bersama UINSA adalah patahkan perkataan JK. Jangan hanya bangga dengan kemewahan gedungnya tapi lahirkan sarjana yang tidak hanya pinter secara intelektual, tapi juga mempunyai pondasi spiritual dan moral yang kuat.
![](https://uinsa.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/Gambar-WhatsApp-2025-02-11-pukul-13.42.54_690aa5f9-1024x682.jpg)
Di akhir kalamnya beliau mengatakan: “Maaf bukannya Saya menggurui, ini sekedar pengalaman pribadi, renungan pribadi. Salam untuk teman-teman yang tidak hadir, pungkasnya. Wow, meleleh aku. Benar-benar santun. Bersyukur bisa hadir acara ini. Subhanallah, alhamdulilllah. Semoga civitas akademika UINSA berjaya. Ikhlas menjalani tugas dan sukses dunia akhirat. Amin.