Column

Oleh: Siti Musfiqoh*
Wakil Dekan Bidang AUPK FEBI UINSA Surabaya

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

(QS Al-Baqarah [2]:261).

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit …

(QS Ali ‘Imran [3]:133-134).

Tidak terasa 1/3 terakhir bulan Ramadlan 1445 H. akan berlalu juga setelah 2/3 terlewati dengan begitu cepat, rahmah dan maghfiroh tentu menjadi dambaan setiap insan dan itqun minan nar menjadi harapan. Hadis riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Khuzaimah menyatakan bahwa Rasul membagi hikmah Ramadlan menjadi tiga bagian: 1) sepuluh hari bagian pertama berupa rahmat, 2) sepuluh hari bagian ke dua mendapat ampunan dan, 3) sepuluh hari bagian ketiga adalah terbebas dari siksa neraka. Hadis ini dinyatakan dlaif oleh Imam al-Suyuthi, meskipun demikian hadis ini masih banyak digaungkan para da’i untuk menstimulasi masyarakat dalam meningkatkan rangkaian ibadah, yang dikaitkan dengan hadis lain tentang pelipat gandaan pahala dan keutamaan melakukan aktifitas selama bulan Ramadlan. Keinginan mendapatkan keutamaan dalam melaksanakan sebuah aktifitas, terutama dalam bulan Ramadlan ini terasa berimbas nyata pada kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang terdiri dari produksi, konsumsi dan distribusi menjadi meningkat pesat dalam bulan Ramadlan. Bahkan kenaikan harga sejumlah bahan pokok dan lainnya terjadi disinyalir karena datangnya bulan Ramadlan. Para pelaku bisnis utamanya dalam keberlanjutannya untuk mendapatkan hasil yang maksimal dengan cara yang mudah dilaksanakan selama bulan Ramadlan.

Pelaku bisnis melihat bulan Ramadlan menjadi moment penting. Peluang bisnis terbuka lebar bagi para pelaku pasar yang ingin mendapatkan keuntungan lebih dengan melakukan berbagai macam reformasi manajemen. Reformasi manajemen dalam bisnis dilakukan dengan menambahkan kreatifitas model produk ataupun pembaharuan marketing baik dengan promosi secara langsung atau dengan media online, sehingga menjadikan banyak orang ikut nimbrung meramaikan. Sementara bagi pelaku konsumtif, Ramadlan bisa jadi ajang kesempatan juga untuk menyalurkan keinginan ataupun kecemburuan sosial karena melihat gaya hidup dan barang yang dimiliki orang lain, sehingga keinginan untuk memiliki dan memakai barang baru menjadi pemicu peningkatan permintaan pasar.

Produktif >< Konsumtif

Sebagaimana tertulis dalam salah satu disertasi tahun 2021 hasil sebuah penelitian yang dilakukan pada Ibu-ibu Metropolis menunjukkan sebuah konsep terkait kajian preferensi konsumen dalam memaksimalkan kepuasan yang menyatakan bahwa yang memiliki ‘lebih’ tidak selamanya akan lebih baik, karena penetapan standar of living seseorang tidak disebutkan dengan batas minimum ataupun maksimum, melainkan pada batas kepuasan secara optimum; memaksimalkan utility fuction dengan budget line tertentu yang dapat memberikan mas}lah}ah manfaat dan berkah bagi pemenuhan kebutuhan d}aru>riyyah, h}a>jiyyah, dan tah}si>niyyah secara bertahap. Kritik atas konsep the more is the better ini bersandar pada kupasan ayat QS Al-Baqarah [2]:261 dan QS Ali ‘Imran [3]:133-134, ayat yang menjelaskan dengan menggunakan perumpamaan keadaan yang sangat mengagumkan dari orang yang berkenan menginfaqkan hartanya di jalan Allah dengan tulus untuk ketaatan dan kebaikan dalam kondisi keuangan yang sedang berkecukupan ataupun sebaliknya yang membutuhkan energi lebih dalam sebuah kepercayaan kepada Dzat Sang Maha pencipta sehingga mampu memberikan perubahan kebaikan.

Istilah Produktif seringkali terdengar di telinga dan memberikan kesan kesibukan yang bertumpuk hingga ta kenal waktu. Benarkah demikian? Ada sederet orang yang sibuk mengerjakan ini itu, ternyata tidak selalu membuat orang tersebut produktif dalam makna mendapatkan nominal, tetapi mereka mendapatkan nilai kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat. Produktif di sini merupakan kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang menguntungkan atau bermanfaat bagi dirinya atau kegiatan yang dipenuhi dengan hal-hal yang bermanfaat. Dan tanpa disadari umur berjalan begitu cepat hingga lupa tingkat produktifitasnya yang berkaitan dengan kekuatan imun tubuh mulai menurun.

Produktif menurut ajaran Islam adalah bekerja karena Allah SWT. yang menghasilkan materi maupun non materi berupa rizki dan juga pahala sebagaimana yang difirmankan dalam QS al-Qasas [ ]:77, QS al-Shaff [ ] 10-13, dan al- Nahl [ ]: 97, Allah mencintai orang berkarya dengan baik sesuai dengan ketentuan berlaku yang disertai rasa iman. Termasuk dalam kategori kegiatan produktif adalah membaca, mencatat, menghafal, berlomba-lomba dalam kebaikan, menolong orang lain, dan memanfaatkan waktu/usia. Janji Allah atas kehidupan yang baik dan balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu dikerjakan menjadi spirit bagi orang yang produktif. Tidak ada kekhawatiran atas jaminan kehidupan di dunia ini hingga akhirat nanti.

Sementara konsumtif adalah perilaku atau gaya hidup orang yang senang membelanjakan uang atau hartanya tanpa pertimbangan yang matang. Perilaku ini cenderung berlebihan dan membabi buta dalam memperoleh atau membeli barang. Tanpa disadari di era modern yang serba canggih ini, manusia jadi mudah sekali memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Dari generasi atas sampai generasi Z semua mulai berbondong-bondong ikut merasakan kemudahan ini. Dibalik kemudahan yang tersaji ada dampak tidak baik yang timbul, orang bisa saja dengan mudah masuk dalam perangkap perilaku konsumtif, tanpa disadarinya.

Perilaku konsumtif dilarang dalam Islam. Firman Allah menyebutkan larangan keras atas penghamburan harta yang diumpamakan berteman dengan syaitan kecuali pemberian harta yang diberikan kepada keluarga dekat, orang-orang miskin dan yang membutuhkan. QS al- Isra [ ]: 26-27. Indikasi perilaku konsumtif dapat dilihat dari Pengeluaran uang belanja yang membludak, padahal hanya untuk barang yang tidak penting, nafsu belanja yang sulit dikontrol, perilaku boros dan hedonisme yang mulai timbul, muncul kecemburuan sosial akibat melihat gaya hidup dan barang yang dimiliki orang lain, sehingga menimbulkan keinginan untuk meniru dan membelinya, mengurangi kesempatan menabung, cenderung tidak mampu menyiapkan kebutuhan mendatang, tidak memiliki dana darurat, dan sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. Sementara ciri lain dari konsumtif adalah memanfaatkan kemudahan yang ada untuk downgrade diri bukan upgrade.

Gaya Hidup berSahaja; Serba-serbi Ramadlan dan Hari Raya Idul Fitri

Bahasan gaya hidup menjadi menarik untuk dibincang dan tidak pernah berhenti dari sorotan, dan akan lanjut berkembang dengan berbagai ragam. Keberagaman yang muncul dari berbagai aspek kehidupan terdiri dari isu-isu pangan, perubahan iklim, dan seterusnya.

Gaya hidup adalah bentuk wujud cara manusia menjalani hidup yang terdiri dari fisik, psikologi, sosial, ekonomi, nilai, minat, pendapat, dan perilaku individu, kelompok, dan atau komunitas tertentu. Gaya hidup ini akan menggambarkan keseluruhan diri seseorang yang berinteraksi dengan lingkungannya. Gambaran karakteristik seseorang secara kasat mata yang menandai sistem nilai, serta sikap terhadap diri sendiri dan lingkungannya merupakan kombinasi dan totalitas cara, tata, kebiasaan, pilihan, serta obyek-obyek yang mendukung nilai-nilai kepercayaan yang selama ini dijalani. Gaya hidup juga dapat menunjukkan bagaimana sesorang hidup dan berkehidupan. Bagaimana membelanjakan uang dan juga bagaimana mengalokasikan waktu dengan tepat, baik dan benar. Klasifikasi gaya hidup dapat dilihat dari dimensi berdasarkan aktifitas, minat dan opini masing-masing.

Ramadan merupakan ibadah sakral tahunan yang dapat membingkai seseorang dalam menjalankan nilai-nilai dan tindakan dalam kegiatan ubudiyah dan juga sosial budaya sebagai gambaran cara dalam menjalani kehidupan. Perilaku seseorang dalam menjalani aktifitas selama bulan Ramadlan, bagaimana mereka hidup, menggunakan uang, memanfaatkan waktu akan menjadi pola gaya hidup masing-masing individu. Gaya hidup dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. Perubahan ini seringkali bukan karena sebab berubahnya kebutuhan melainkan pada keinginan yang tidak dikendalikan. Kebutuhan pada umumnya tetap seumur hidup, sebagai contoh kebutuhan makan sehari 2-3 kali dengan menu sepiring nasi dan lauk disertai segelas minum dan seiris buah, tapi mengapa ketika bulan Ramadlan pengeluaran belanja lebih besar dibanding bulan lainnya. Karena menu hidangan yang bersifat complementary dengan berbagai varian menjadi ‘menu wajib’ saat berbuka, setelah tarawih dan sahur. Menu lengkap dan istimewa yang dihidangkan pada saat bulan Ramadlan akan berbeda dan berdampak pada pergerakan ekonomi keluarga.

Perubahan yang terjadi dalam pola gaya hidup seseorang seringkali dipengaruhi oleh lingkungan. Era dan sistem globalisasi juga telah menghilangkan batas-batas budaya lokal, nasional, maupun regional, sehingga perkembangan arus dan gelombang gerakan gaya hidup secara global sangat mudah pindah ‘meracuni’ tempat lain yang mungkin justru tidak sesuai. Perpindahan ini lebih cepat tepatnya dengan perantara media masa. Dengan demikian gaya hidup dapat muncul dan bercabang ke berbagai aspek; fashion, foot, teknologi, atau percampuran antara ketiga aspek dalam satu gaya hidup. Ada 7 (tujuh) macam istilah gaya hidup yang mendunia 1) gaya hidup aktif, 2) gaya hidup sehat, 3) gaya hidup bohemian, 4) gaya hidup nomaden, 5) gaya hidup solo, 6) gaya hidup pedesaan, 7) gaya hidup minimalis. Di nomor berapakah berada gaya hidup kita?.

Sementara Hari Raya Idul Fitri dijadikan sebagai ajang ekspresi kemenangan atas ibadah suci yang telah dilaksanakan selama satu bulan. Perayaan ini tentu akan berakibat pada bagaimana individu dapat berdiri di depan orang lain dengan penampilan dan sajian sempurna. Sajian menu yang dihidangkan di ruang tamu saat lebaran, baju dan berbagai aksesoris yang dipakai saat berkunjung ke sanak kadang, atau transportasi yang dinaiki saat harus jalan-jalan bersama keluarga. Pada saat inilah, gaya hidup seseorang ditampilkan. Penampilan spektakuler yang diperlihatkan dapat menjadi sebuah nilai diri. Nilai diri ini mengacu pada berapa seseorang memiliki nominal, benarkah demikian? Tentu jawabnya tidak selalu, banyak ditemui orang dengan banyak nominal tetapi masyarakat menganggap dia tidak bernilai karena perilaku kesehariannya lebih mencerminkan pada sifat kikir yang sifat tersebut tidak disukai oleh masyarakat sekitarnya. Dan ditemukan data orang yang biasa-biasa saja, nominalnya tidak terlalu fantastis dalam hitungan, tetapi kelompok orang tersebut memiliki nilai yang tinggi di mata masyarakat karena kekuatan perilaku yang selalu mendahulukan orang-orang kecil dibanding mengayakan dirinya dengan berbagai sifat rendah hati dan berbaginya.

Sekelompok orang menjalani kehidupannya sebagaimana air mengalir, padahal bisa saja gaya hidup yang seperti ini akan berakibat pada ketidak pedulian diri sendiri dan keturunannya yang akan hidup dalam kondisi lemah dengan gaya hidup acak. Meski sering difatwakan bahwa kita tidak diperkenankan mengatakan aku akan melakukan pekerjaan ini itu besok, kecuali jika Allah Yang Maha Mengatur menghendakiNya. Seseorang akan berfikir dan bersikap yang menjadi gaya hidupnya sesuai dengan porsi kemampuan tanggapannya terhadap gejala, isu atau masalah yang dihadapi. Produktif atau konsumtif sangat sarat dengan bagaimana mulai gaya hidup aktif hingga tidak aktif. Menentukan corak warna gaya hidup dapat dimulai dengan melihat kebutuhan bukan keinginan. Karena seberapa nominal yang dimiliki tentu akan berakibat pada nilai barang atau jasa yang akan dipilih. Sehingga nilai % (prosentase) dari 100% itu akan sama nilainya, namun pada nominal tentu akan berbeda.

#untukraihjiwaberseri #tunaikankewajibandiri #denganblajarslaluberbagi#SelamatIdulFitriMohonMaafLahirdanBathin #SalamSehatwalAfiyah

al-Suyuthi, Jâmiʽ al-Aḥâdîts, [Beirut: Dar Fikr, t.t], j. 23, h. 176.