Menjaga Inklusivitas di Sekolah Agama
Menjelang tahun ajaran baru, para orang tua mulai disibukkan untuk mencari sekolah lanjutan terbaik. Yang putra/putrinya baru lulus taman kanak-kanak mulai mencari sekolah lanjutan tingkat dasar. Demikian seterusnya. Salah satu pertimbangannya adalah agama. Ada orang tua yang menginginkan anaknya tumbuh tidak hanya mampu menguasai pelajaran sains, ilmu sosial, atau kewarganegaraan. Tapi juga berharap anaknya memiliki penguasaan agama yang cukup.
Sampai dengan saat ini, terutama di kota besar, sekolah agama masih menjadi salah satu yang favorit. Meski berbiaya mahal atau harus antre setahun sebelumnya, sekolah swasta agama banyak diminati. Sebagai gambaran, di Surabaya, untuk dapat terdaftar di sekolah dasar Islam favorit, maka orang tua harus menyiapkan dana di kisaran 16-35 juta. Itupun tidak langsung daftar. Harus rela antre. Sekali lagi, semua itu karena harapan tinggi orang tua terhadap anaknya.
Namun tanpa disadari, keberadaan sekolah agama berpotensi membuat kelompok-kelompok kecil yang eksklusif, baik diri sisi agama maupun sosial. Dari aspek agama, mereka akan cenderung menyampaikan ajaran yang relevan dengan keyakinan mereka saja. Hal itu sah saja jika menyangkut aspek keimanankarena memang seharusnya demikian. Akan tetapi sangat disayangkan apabila siswa tidak dikenalkan beragam ajaran agama dengan berbagai macam versi kebenarannya. Dengan begitu, mereka menjadi tahu bahwa yang berbeda dengan mereka tidak selamanya harus dimusuhi.
Potensi eksklusif berikutnya adalah dari sisi sosial. Siswa yang belajar di sekolah berbasis agama, apalagi yang mewah, mungkin tidak hanya dipersatukan oleh keimanan yang sama, tetapi juga dipersatukan oleh kelas sosial yang setara. Rata-rata pendapatan orang tua yang tidak jauh berbeda, atau bidang pekerjaan yang bersinggungan satu dengan yang lainnya. Jika demikian faktanya, lalu kapan ajaran tentang empati akan dipraktikkan? sedangkan kondisi sepatu mereka sama bagusnya, hobi pun sama mahalnya.
Penulis tidak sedang melarang untuk bersekolah di sekolah berbasis agama, tetapi mengajak untuk melihat sisi lain dari sekolah agama yang berpotensi mengajarakan eksklusivitas. Suatu ketika penulis pernah berjumpa dengan salah seorang guru sekolah dasar Islam favorit di Surabaya. Tapi, ternyata putra guru itu justru tidak disekolahkan di sekolah yang sama. Jawabnya, bukan dia tidak mampu membayar uang bulanan, namun dia tidak siap jika suatu ketika anaknya minta dibelikan gadget seperti yang dimiliki oleh teman-temannya.
Dalam perspektif psikologi sosial, Brewer, M. B., & Gaertner, S. L. (2003) masih berkeyakinan bahwa interaksi antar kelompok yang berbeda (contact hypothesis theory) masih menjadi salah satu cara yang efektif untuk membangun inklusivitas. Menghubungkan individu yang berbeda keyakinan, suku, ras, dan antar kelompok akan menumbuhkan sikap saling kenal, kesetaraan, dan saling menghargai. Setidaknya pengalaman baik yang dihadirkan dalam relasi antar kelompok berpeluang untuk mengurangi penilaian buruk terhadap kelompok yang berbeda.
Dalam konteks Indonesia, diharapkan kehadiran sekolah berbasis agama tidak justru mencetak pribadi siswa yang eksklusif, yang hanya mengenal kebenaran tunggal yang absolut, atau hanya mau kenal dekat dengan kelompok siswa yang berasal dari strata sosial ekonomi yang sama. Sekolah seharusnya menjadi tempat untuk belajar mengenal perbedaan.
Seluruh pemangku kepentingan dalam dunia Pendidikan memiliki tanggung jawab yang sama untuk merawat inklusivitas. Pemerintah seharusnya mampu memastikan bahwa sekolah berbasis agama juga memberikan kesempatan belajar kepada siswa untuk mengenal kelompok yang berbeda. Tidak hanya dilihat dari keberadaan mata pelajaran Pancasila atau Kewarganaegaraan. Tetapi juga dilihat dari program sekolah yang melakukan kunjungan ke sekolah negeri atau lintas agama, upaya pengenalan ke sekolah yang siswanya lebih heterogen strata sosialnya, atau praktek pengajaran tentang keindonesiaan yang lebih mengesankan.
Sekolah juga memiliki tanggung jawab yang tidak kalah besar. Sekolah tidak bisa hanya berpikir peningkatan jumlah siswa di setiap tahunnya atau penambahan ruang kelas beserta fasilitas pendukungnya. Tetapi juga dituntut untuk merumuskan model pembelajaran yang ramah keberagaman. Mungkin bisa dirancang program pertukaran pelajar lintas agama, atau kolaborasi guru mata pelajaran umum dalam perencanaan bahan ajar. Semua ini dalam rangka untuk tetap menghubungkan persamaan di tengah perbedaan.
Harapan yang sama juga bertumpu pada peran guru. Idealnya, guru berawawasan luas sehingga tidak hanya mengajarkan sebuah kebenaran sesuai versinya. Tetapi juga harus mengajarkan nilai-nilai kebenaran yang berbeda-beda. Dalam konteks pembelajaran di kelas, cara pandang guru terhadap isu eksklusivitas, menentukan penyikapan siswa terhadap kelompok yang berbeda. Demikian juga orang tua. Tidak bisa hanya pasrah dan lepas tangan terhadap pendidikan anak. Saat mereka tumbuh menjadi pribadi yang eksklusif, susah membaur, mudah menyalahkan kelompok yang berbeda, itu berrti alarm untuk segera bersikap. Perlu refleksi untuk melihat proses pendidikan yang berjalan. Pada akhirnya, semua harus sadar bahwa berbekal sekolah agama saja tidak cukup untuk menjadikan anak-anak kita pribadi yang inklusif. Semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama untuk membangun harmoni bagi generasi yang akan datang.
*) Tulisan ini telah diterbitkan di Kolom Opini Harian Jawa Pos Edisi Jumat, 23 Juni 2023.