UINSA Newsroom, Kamis (07/09/2023); “Mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia.”
Rabu, 06 September 2023, UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menjamu rombongan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Kunjungan ini digelar dalam rangka acara Focus Group Discussion bertajuk “Menyempurnakan dan Memperkuat Sistem Bernegara Sesuai Rumusan Pendiri Bangsa.” Kegiatan yang berlangsung sejak pukul 13:00-17:00 WIB ini, diikuti seluruh pimpinan dan civitas akademika pada Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), serta Mahasiswa Program Pascasarjana UINSA Surabaya.
Hadir sebagai Narasumber dari DPD RI yakni Dr. H. Ichsanuddin Noorsy, B.Sc., S.H., M.Si (Pengamat Politik Ekonomi) dan Dr. Mulyadi, S.Sos., M.Si. (Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia). Bertindak selaku penanggap dari perwakilan Akademisi UINSA Surabaya, yakni Dr. Lutfil Ansori, M.H., dan Dr. Mahir, M.Fil. Keduanya juga merupakan Pakar Hukum Tata Negara pada FSH UINSA Surabaya.
Kegiatan ini setidaknya membahas lima proposal kenegaraan yang telah diajukan DPD RI. Proposal tersebut diantaranya ialah 1). Mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai sebuah sistem demokrasi yang sufficient, dengan sistem tersendiri yang merupakan kedaulatan suatu bangsa. 2). Membuka peluang anggota DPR berasal dari peserta pemilu unsur perseorangan (independent) atau nonpartisan. 3) Memastikan Utusan Daerah dan Utusan Golongan diisi melalui mekanisme bottom up. Bukan appointed by president seperti terjadi di era Orde Baru. 4). Memberikan ruang review dan pemberian pendapat kepada Utusan Daerah dan Utusan Golongan terhadap materi rancangan undang-undang yang dibentuk oleh DPR dan Presiden. 5). Menempatkan secara tepat tugas, peran, dan fungsi lembaga negara yang sudah dibentuk atau sudah ada di era Reformasi, dengan tolok ukur penguatan sistem Demokrasi Pancasila.
Dalam diskusi yang berlangsung cukup ketat, kedua narasumber dari DPD RI menyatakan, bahwa usulan lima proposal kenegaraan merupakan kebutuhan hukum dalam rangka memberikan perbaikan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Namun hal ini secara tegas disanggah Akademisi UINSA Surabaya.
Dr. Lutfil Ansori misalnya, dalam tanggapannya menyatakan, bahwa lima proposal kenegaraan tersebut patut untuk dikaji secara mendalam. Bahkan, Dr. Lutfil Ansori juga menyampaikan kritik tajam dan penolakan pada beberapa poin. Diantaranya terkait gagasan kembali pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum amandemen. Atau mengembalikan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara.
Dr. Lutfil Ansori pun menjabarkan secara komprehensif kelemahan-kelemahan yang ada pada UUD 1945 sebelum amandemen, yang pada prinsipnya berpotensi terdapat pelanggaran hak konstitusional warga negara. Misalnya, pengaturan Hak Asasi Manusia yang tidak seimbang, kekuasaan MPR yang tidak terbatas, masa jabatan Presiden yang tidak terbatas, sampai dengan tidak adanya mekanisme judicial review atas kebijakan pemerintah.
Sebagai clossing statement Dr. Lutfil Ansori juga menjelaskan, bahwa mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia. “Jika dipaksakan, bisa menjadikan kemunduran demokrasi, dan melemahkan sistem presidensial. Gagasan itu bukan merupakan solusi yang tepat untuk mempertahankan keberlanjutan pembangunan dan penyerapan aspirasi publik dalam pembangunan dan pembentukan kebijakan,” pungkasnya.