Jamie S. Davidson, Associate Professor of Political Science, Nastional University of Singapore, memberikan kuliah umum di depan mahasiswa-mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya, di Amphitheater, Senin, (22/05/2023)
Dalam Kuliah Umum bertajuk “Perdagangan Beras di Asia Tenggara: Liberalisasi atau Proteksi?” Jamie S. Davidson menyebutkan, bahwa kebijakan perdagangan beras di Indonesia, Malaysia dan Philipina, memiliki kesamaan yaitu proteksi atau perlindungan perdagangan komoditas beras. Kebijakan perdagangan beras di tiga negara tersebut, dimonopoli badan usaha milik negara (BUMN).
Ketiga negara ini secara terus menerus mengimpor beras melalui perusahaan milik negara yang memiliki kewenangan monopoli pasar dagang. Proteksi atau perlindungan perdagangan beras di negara tersebut seringkali menyebabkan banyak anggaran negara dihabiskan untuk meningkatkan swasembada beras, termasuk subsidi, kejar swasembada beras, sehingga harga beras domestik di atas harga pasar internasional.
Jamie S. Davidson mengajukan dua pertanyaan pada forum kuliah umum ini. Pertama, mengapa Presiden Filiphina, Rodrigo Duterte, pada tahun 2018 membuat kebijakan membuka pasar perdagangan impor beras?. Menurut Jamie S.Davidson, karena Rodrigo Duterte, khawatir terjadi pertumbuhan inflasi yang cukup tinggi yang disebabkan kenaikan harga beras.
Pertanyaan kedua, mengapa keputusan perubahan kebijakan serupa belum terjadi di Indonesia dan Malaysia? Padahal Indonesia dan Malaysia, juga pernah mengalami kenaikan harga beras, terutama sebelum dan sesudah pandemi. Jamie S. Davidson mengatakan, bahwa di dua negara tersebut kebijakan impor beras selalu ditolak oleh masyarakat madani yang ingin melindungi petani beras. Tekanan dari masyarakat madani inilah yang membuat politisi di tingkat nasional semua sama, tidak ingin impor beras, dan semua hampir setuju terhadap masalah ini.
“kalau mau impor beras di Indonesia selalu ribut terus, selalu dijawab, dari sisi jumlah yang hampir tak butuh impor beras”
Menurut Jamie S. Davidson, bahwa kebijakan membuka pasar perdagangan impor beras seperti yang dilakukan di Philipina, kemungkinan tidak akan pernah terjadi di Indonesia. Selain karena peranan masyarakat madani yang ingin melindungi petani beras, juga karena hampir semua ekonom di Indonesia mendukung proteksi beras. Jamie S. Davidson juga menyebutkan, bahwa negosiasi pasar beras ikut dipengaruhi oleh politik di Pemilu. Sistem koalisi di Parlemen menjadi faktor sulitnya kebijakan beras dilakukan Pemerintah, karena setiap kebijakan harus dinegosiasikan dengan partai politik koalisi. Hal ini yang tidak terjadi di Philipina, karena Rodrigo Duterte sangat dominan dalam Pemerintahan.
Sekedar untuk diketahui, bahwa ketahanan pangan dan kepercayaan (trust) terhadap pasar internasional di tiga negara ini cukup rendah. Jamie S. Davidson, juga menjelaskan bahwa impor beras di Filiphina mencapai 85-95%, Malaysia 65-80%, dan Indonesia 95-100%. Sementara itu, tingkat konsumsi beras per kapita di Indonesia mencapai 52%, Filiphina mencapai 46%, dan Malaysia mencapai 30%. Di tahun 2019 tiga negara-negara berideologi agraris ini sebagian besar pertumbuhan ekonominya dipengaruhi peranan dan kontribusi sektor beras. Walaupun ekonomi skala makro dan nasional merosot dan makin menurun. Terakhir, data menunjukan, bawa kebijakan perdagangan beras di tiga negara tersebut dipengaruhi oleh nasionalisme petani, NGOs, pengaruh pemikiran etnis, warisan prestasi revolusi hijau, wewenang eksekutif, tekanan dari luar, kebijakan teknokrat (neoliberal), dan pengaruh pemilu.
Forum berlangsung aktif, Fatih Oktavia Ningsih, mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, mengajukan pertanyaan seputar kebijakan proteksi pasar beras di negara-negara ASEAN, apakah kebijakan perdagangan beras di Asia Tenggara memberikan dampak keamanan terhadap petani khususnya di Indonesia?” . Jamie S. Davidson menjawab, bahwa membuka pasar beras akan sangat membantu mengurangi kemiskinan di negara-negara berkembang, terutama di Indonesia.
(Agnina/ Andika)