Column

 

Jadi angka 0:
Prinsip Matematika dalam Komunikasi Kesehatan

Oleh
Dr. Nikmah Hadiati Salisah, S.Ip., M.Si.
(Ketua Jurusan Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya )

Saat mengamati peristiwa konflik dan perselisihan yang terjadi di tempat kerja maupun di lingkungan sekitar rumah, teringat sebuah nasehat bijak: jika tidak bisa membahagiakan seseorang, minimal jangan menyakiti; jika tidak bisa membantu, minimal jangan menyulitkan. Pernyataan tersebut jika diilustrasikan dengan bentuk hitungan, akan tampak seperti dalam prinsip aritmetika yang menggambarkan adanya angka ( – ), ( 0 ) dan ( + ). Angka dengan tambahan (-) di depannya bisa dikatakan sebagai ‘kurang’, atau ‘negatif’ yang bisa dimaknai secara ekuivalen dengan kata “jangan” atau “dilarang” dan sejenisnya. Level berikutnya ada (0) yang berarti “kosong” yang ekuivalen dengan makna “tidak lakukan” dan level selanjutnya yaitu tanda (+) yang disebut “positif” atau “tambah”  dan bisa secara ekuivalen dimaknai dengan “lebih”. Sampai di sini, jika kembali ke nasehat bijak di awal tulisan ini, seakan ada begitu banyak nilai kebaikan jika seseorang memilih untuk masuk kelompok angka (-) yang bisa bermakna ‘jangan terlibat’ , atau maksimal menjadi angka 0 (netral) jika tidak mampu lebih dari itu,  karena jika sedikit saja bergeser ke posisi (+) justru belum tentu cocok dan kemungkinan akan bermasalah bagi diri sendiri yang imbasnya akan melahirkan masalah pada orang-orang sekitarnya. Posisi (+) juga bisa dimaknai sebagai ‘lebih/berlebih/kelebihan’ dan dalam praktiknya segala sesuatu yang berlebihan membawa efek yang tidak baik. Dengan memaksimalkan posisi diri sebatas angka (0) juga bisa bermakna netral, seimbang, moderat, sedang-sedang saja, atau menghindari arah radikal. Dengan melihat ilustrasi sederhana tersebut, dari perspektif komunikasi bisa dikatakan bahwa salah satu akar permasalahan yang mengarahkan seseorang menjadi (-), (0) atau (+)  disebabkan adanya proses pemaknaan pesan sebagai fondasi dalam aktivitas interaksi dan komunikasi individu.

Secara mendasar komunikasi tidak hanya melibatkan pertukaran informasi, tetapi juga pembentukan makna. Ketika seseorang berbicara atau menerima pesan, mereka secara otomatis memproses informasi tersebut dalam konteks pengalaman pribadi, budaya, dan keyakinannya. Makna yang terbentuk melalui komunikasi ini dapat memiliki pengaruh langsung terhadap kondisi jiwa. Komunikasi yang memberikan makna positif dapat membantu individu merasa lebih termotivasi, memiliki tujuan hidup, dan merasa diterima, sementara makna negatif dapat menimbulkan kecemasan, depresi, dan perasaan tidak berharga. Hal ini karena kesehatan jiwa merupakan komponen penting dalam kesejahteraan individu yang mencakup aspek emosional, psikologis, dan sosial. Salah satu faktor kunci dalam kesehatan jiwa adalah makna, yaitu bagaimana seseorang menafsirkan dan memberi arti terhadap peristiwa yang dialaminya. Makna yang dibentuk dalam komunikasi memiliki dampak besar pada cara individu memahami dirinya, lingkungannya, dan bagaimana ia menghadapi tantangan dalam hidup.

Bagi orang lain, makna yang ditunjukkan oleh individu akan direspons pertama kali melalui persepsi. Menurut teori kognitif, persepsi sangat terkait dengan proses pemikiran atau kognisi seseorang. Apa yang dipersepsikan seseorang mempengaruhi cara mereka memaknai dunia di sekitar mereka dan diri mereka sendiri. Kognisi negatif yang terbentuk dari persepsi yang salah atau distorsi kognitif, seperti over-generalisasi atau berpikir hitam-putih, dapat memicu gangguan kesehatan jiwa seperti depresi atau kecemasan . Sebaliknya, persepsi yang positif dan realistis dapat membantu seseorang menjaga keseimbangan emosional dan mengatasi stres dengan lebih baik .

Di sisi lain, salah satu aspek yang tidak kalah penting dalam kesehatan jiwa yaitu identitas diri. Identitas dibangun melalui interaksi sosial, dan komunikasi adalah alat utama dalam pembentukan identitas ini. Menurut teori symbolic interactionism, identitas seseorang terbentuk berdasarkan interaksi sosial di mana makna dan simbol-simbol tertentu diberi nilai tertentu oleh masyarakat dan individu . Apabila komunikasi di sekitar seseorang bersifat positif dan mendukung, identitas yang terbentuk akan lebih kuat dan sehat, yang kemudian berdampak baik pada kesehatan jiwa. Sebaliknya, komunikasi yang mengandung pelecehan, kritik yang berlebihan, atau penolakan dapat menyebabkan masalah identitas dan ketidakstabilan emosional .

Penelitian membuktikan bahwa kondisi stres individu merupakan faktor utama yang dapat merusak kesehatan jiwa. Salah satu cara untuk mengurangi stres adalah dengan mencari makna dalam situasi yang sulit melalui komunikasi. Komunikasi yang sehat dapat membantu seseorang menemukan makna yang lebih dalam dari peristiwa traumatis atau stres, seperti kehilangan orang yang dicintai atau kegagalan dalam pekerjaan. Melalui komunikasi yang mendukung, seseorang dapat memperoleh perspektif baru yang lebih positif, membantu mereka mengatasi rasa sakit emosional dan memperbaiki keseimbangan mental .

Dukungan sosial adalah elemen penting dalam kesehatan jiwa. Melalui komunikasi, individu dapat membentuk dan memelihara hubungan yang bermakna dengan orang lain. Hubungan yang penuh dukungan emosional, di mana komunikasi berlangsung dengan penuh empati dan pengertian, dapat meningkatkan rasa keterikatan sosial dan mengurangi risiko gangguan kesehatan jiwa seperti depresi dan kecemasan . Sebaliknya, komunikasi yang penuh konflik, penolakan, atau pengabaian dapat memperburuk kondisi kesehatan jiwa, menyebabkan perasaan isolasi atau mungkin rendah diri,

Budaya dan spiritualitas juga berperan penting dalam bagaimana makna dibentuk dalam komunikasi dan dampaknya terhadap kesehatan jiwa. Di banyak budaya, nilai-nilai spiritual, keyakinan agama, dan tradisi turun-temurun membentuk cara individu memahami kehidupan, tantangan, dan kesehatan mereka. Komunikasi yang memperkuat makna spiritual atau nilai-nilai budaya dapat memberikan ketenangan batin dan stabilitas emosional dalam menghadapi tantangan hidup . Penelitian menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam komunitas spiritual atau agama cenderung memiliki kesehatan mental yang lebih baik karena mereka menemukan makna yang lebih besar dalam hidup mereka .

Peran Persepsi dalam Pemaknaan Komunikasi
Kesehatan jiwa adalah aspek penting dalam kesejahteraan individu yang mencakup dimensi emosional, psikologis, dan sosial. Salah satu faktor kunci yang mempengaruhi kesehatan jiwa adalah persepsi, yakni cara individu memahami dan menafsirkan informasi yang diterima melalui komunikasi. Persepsi memainkan peran utama dalam membentuk makna yang kemudian mempengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku seseorang.

Persepsi adalah proses di mana individu menafsirkan informasi sensoris dan memberinya makna berdasarkan pengalaman, nilai-nilai, dan keyakinan mereka. Dalam konteks komunikasi, persepsi menentukan bagaimana seseorang menerima dan memahami pesan yang disampaikan, baik secara verbal maupun non-verbal. Setiap individu memiliki kerangka referensi yang berbeda, yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman hidup, dan kondisi emosional. Oleh karena itu, satu pesan yang sama dapat dipahami secara berbeda oleh individu yang berbeda, yang pada gilirannya mempengaruhi respons dan kesehatan mental mereka. Seseorang yang menerima kritik dari rekan kerjanya mungkin akan menafsirkannya sebagai umpan balik yang konstruktif atau sebagai serangan pribadi, tergantung pada persepsinya. Jika individu tersebut memersepsikan kritik sebagai serangan, mereka mungkin merasa rendah diri, mengalami kecemasan, atau bahkan depresi. Namun, jika dipersepsikan sebagai kritik yang membangun, hal ini dapat memotivasi mereka untuk memperbaiki diri dan tumbuh secara profesional.

Komunikasi interpersonal memainkan peran penting dalam mendukung kesehatan jiwa melalui hubungan sosial dan dukungan emosional. Persepsi dalam komunikasi interpersonal sering kali menjadi penentu kualitas hubungan. Jika seseorang memiliki persepsi bahwa orang lain peduli, mendukung, dan memberikan empati, ini dapat meningkatkan rasa aman emosional dan kepuasan dalam hubungan tersebut, yang berkontribusi positif pada kesehatan mental . Namun, jika ada distorsi persepsi, seperti merasa tidak dihargai atau disalahpahami, meskipun pesan yang diterima sebenarnya bernada positif, ini dapat menimbulkan konflik, perasaan terisolasi, dan stres emosional. Misalnya, individu yang memiliki persepsi rendah terhadap dirinya sendiri (self-esteem rendah) cenderung memersepsikan komunikasi dari orang lain sebagai kritik, meskipun niat aslinya adalah untuk membantu .

Persepsi juga memainkan peran penting dalam bagaimana individu memahami dan bereaksi terhadap risiko kesehatan. Persepsi risiko adalah bagaimana seseorang menafsirkan ancaman terhadap kesehatan mereka, yang dapat berdampak besar pada kesehatan mental mereka. Jika seseorang memersepsikan risiko sebagai sangat tinggi atau tidak terkendali, hal ini dapat memicu kecemasan yang berlebihan, bahkan ketakutan irasional, Sebaliknya, persepsi risiko yang rendah atau pengabaian risiko dapat membuat individu tidak mengambil tindakan preventif yang diperlukan, yang pada akhirnya berpotensi membahayakan kesehatan mereka. Komunikasi yang baik, yang mempertimbangkan bagaimana audiens memersepsikan risiko, sangat penting untuk mengurangi kecemasan publik sekaligus mendorong perilaku yang sehat.

Persepsi sangat dipengaruhi oleh budaya, dan ini berdampak pada cara individu memaknai komunikasi terkait kesehatan jiwa. Setiap budaya memiliki cara yang berbeda dalam memahami kesehatan jiwa, apa yang dianggap sebagai stres, dan bagaimana orang-orang di dalamnya berkomunikasi tentang perasaan dan emosi. Dalam beberapa budaya, kesehatan mental mungkin masih dianggap tabu untuk dibicarakan secara terbuka, sementara di budaya lain, ekspresi emosi secara verbal dianggap penting untuk kesejahteraan Budaya juga mempengaruhi cara seseorang memersepsikan dukungan sosial, yang merupakan faktor penting dalam kesehatan jiwa. Persepsi bahwa komunitas atau keluarga mendukung dan menerima seseorang, terlepas dari masalah mental yang mungkin dihadapi, dapat memperbaiki kesejahteraan mental. Sebaliknya, jika seseorang merasa dikucilkan karena stigma sosial yang ada, persepsi ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mental mereka.

Dengan demikian, lingkungan dengan budaya kerja yang berlaku bisa diarahkan pada kondisi pembentukan persepsi para anggotanya mengarah pada pilihan kelompok angka (-) atau maksimal angka (0) agar tercipta kondisi mental karyawan yang lebih sehat dan pada gilirannya menghasilkan model dan gaya interaksi dan komunikasi yang menyehatkan pula.