Berita

Mayang, teknik tradisional penangkapan udang untuk bahan pembuatan terasi, menjadi saksi perjuangan Ivan Maulana, salah seorang mahasiswa Prodi Sejarah Peradaban Islam UINSA, dalam menjalani aktivitas MBKM Penelitian Sejarah di Desa Macajah, Bangkalan. Dalam kegiatan riset desa yang dilakukannya, Ivan harus terjun langsung mendalami kehidupan masyarakat desa yang ditelitinya. Salah satunya adalah menyelami fenomena kehidupan warga pesisir di sana. Inilah yang kemudian membawa Ivan bergabung dengan nelayan lokal bekerja mencari udang bahan terasi, menyambut hempasan ombak lautan menggunakan perahu kecil yang diisi 8-14 orang. Perahu ini dipimpin seorang kapten yang bertugas mengawasi pergerakan udang dari posisi yang lebih tinggi.

Kapten tidak hanya mengamati keberadaan udang di perairan, tetapi juga memberikan arahan kepada para nelayan untuk melakukan “nakol”, sebuah teknik mengejutkan udang agar masuk ke dalam jaring. Pengalaman ini memberikan banyak wawasan berharga bagi Ivan tentang kearifan lokal dalam penangkapan udang yang nantinya akan diolah menjadi terasi berkualitas.

Setelah udang berhasil ditangkap melalui teknik “Mayang” oleh para nelayan, termasuk Ivan, proses penjemuran menjadi tahap krusial selanjutnya yang memerlukan penanganan khusus. Udang hasil tangkapan tidak langsung dijemur setelah tiba di darat. Para nelayan dengan bijak membiarkan udang didiamkan terlebih dahulu hingga keesokan harinya. Proses ini bertujuan untuk menghilangkan “Moro” atau air bekas udang yang dapat mempengaruhi kualitas terasi nantinya.

Setelah melewati proses pengendapan semalam, barulah pada pagi hari berikutnya udang mulai dijemur. Penjemuran dilakukan dengan durasi yang terkontrol, yaitu hanya setengah hari saja. Pengaturan waktu ini sangat penting untuk mendapatkan tingkat kekeringan yang ideal bagi bahan baku terasi berkualitas.

Udang yang telah kering kemudian ditumbuk atau digiling hingga halus, membentuk pasta kental dengan aroma khas yang tajam. Tekstur pasta ini harus tepat—tidak terlalu basah ataupun kering—untuk memastikan terasi dapat dicetak dengan sempurna dan memiliki daya tahan yang baik. Dalam proses pencetakan, pasta udang dipadatkan ke dalam cetakan tradisional berbentuk persegi atau bulat. Para pengrajin terasi biasanya menggunakan tekanan tangan yang kuat untuk memastikan tidak ada udara yang terperangkap di dalam pasta, yang bisa menyebabkan terasi cepat rusak. Setelah dicetak, terasi dibiarkan mengering dan mengalami fermentasi alami selama beberapa hari hingga minggu, tergantung pada ukuran dan preferensi rasa. Proses fermentasi ini membentuk cita rasa kompleks yang menjadi ciri khas terasi berkualitas tinggi.

Melalui refleksinya, Ivan mampu menyentuh dimensi filosofis dari fenomena kehidupan nyata masyarakat desa Macajah. “Seperti udang yang menjadi terasi, hidup kita pun perlu melalui proses transformasi. Teruslah bekerja dengan ketulusan, karena setiap tetes keringat adalah bagian dari resep kesuksesan yang tak tergantikan,” tulis Ivan dalam catatan penelitiannya.