Berita

“Saya yang memohon pembatalan perjodohannya, Pak.” Ucapan lirih mahasiswi ini mengungkap setidaknya sebagian alasan mengapa ibunya sampai memaksanya tidak melanjutkan kuliah. Dari kisahnya, sejak awal mahasiswi ini mengaku setengah hati ketika keluarganya menyepakati perikatan tersebut. Dan usai suatu peristiwa, yang ia pahami sebagai isyarat dan jawaban atas doanya selama ini, maka hatinya menjadi bulat jika perjodohan itu memang tidak bisa lagi dilanjutkan. Bersyukurnya, di tengah kemarahan keluarga, sang ibu masih menolerir putrinya untuk memilih mondok di salah satu pesantren sebagai ganti kuliah. Sang dosen dan seorang mahasiswi bimbingannya yang mendampingi temannya itu masih terdiam untuk menyimak. Dalam hati, dosen itu sangat berharap mahasiswi ini bisa melanjutkan kuliahnya di Program Studi Sejarah Peradaban Islam (Prodi SPI) UIN Sunan Ampel Surabaya. Rekam jejak studinya menunjukkan ia salah satu pebelajar yang tekun. Meski jika harus dilanjutkan, setidaknya ia butuh dua semester untuk bisa menyusul kawan yang duduk di sampingnya, yang sudah siap ujian skripsi pekan ini. Setahun terakhir ia sudah memilih cuti untuk meredam dan mengendapkan persoalan pribadinya itu di balik dinding-dinding pesantren yang sekarang ia tinggali.

“Jika memang sudah melalui beragam pertimbangan dan keputusannya memang harus berhenti. Apa tidak ada opsi pindah kuliah saja? Supaya capaian belajarmu di sini masih bisa dikonversi di tempat baru?” Dosen itu bertanya dengan masih berharap studi mahasiswanya itu tidak terputus di dekat penghujung jalan. “Di pondok insya Allah saya masih ingin kuliah, Pak. Ada tawaran beasiswa juga di sana. Tapi memang diharuskan mengulang dari awal. Bidang studinya juga beda, Pak.” Terlihat, harapan dan optimisme masih memercik dari pandangan kedua mata mahasiswi ini. Dosen itu bernafas sedikit lega. Artinya, pendidikan masih menjadi prioritas agenda mahasiswi ini bagi masa depannya. Sungguh, ia teringat pada perjalanan hidupnya sendiri yang selepas pendidikan menengah atas, pun belum bisa menikmati ‘kemewahan’ pendidikan tinggi karena harus mondok di kaki Gunung Merbabu demi menuruti perintah bapaknya. Tetapi Allah Maha Mengetahui lagi Maha Menyayangi dan Mengasihi. Dia menjawabi kemerjap batin para hamba yang meminta dan menghiba hanya kepada-Nya. Usai mondok, semua pendidikan tinggi yang dulu seolah hanya mimpi dan imajinasi indah dalam sunyi, justru bisa ia nikmati. Maka sisa kefanaan yang ada ini, baginya adalah ruang dan waktu untuk hanya bersyukur, bersyukur, dan bersyukur.

Sepenggal cerita ini, di tingkatan prodi, mungkin hanya satu dari sekian puluh cerita lainnya tentang perjalanan studi mahasiswa. Di satu sisi, prestasi dan keberhasilan mahasiswa dalam studi membuat prodi berbesar hati. Seperti misal banyak mahasiswa yang mampu menamatkan pendidikannya tepat waktu bahkan di semester 7. Tetapi tak jarang, harus juga menjumpai mahasiswa yang menghadapi beragam kendala dalam studinya. Ada yang harus ambil cuti dulu, tanpa ada kepastian apakah nantinya masih bisa melanjutkan kuliah, karena tetiba ia dipaksa keadaan agar mandiri dan bekerja penuh waktu untuk keluarga sepeninggal kedua orang tuanya. Ada yang harus undur diri karena alasan kesehatan. Hingga ada juga yang setelah sekian semester pendidikan dijalani, tetiba merasa tidak nyaman untuk lanjut kuliah hanya karena ada sedikit perbedaan pendapat dalam hubungan pertemanan. Tetapi menjadikan prodi sebagai rumah kedua bagi mahasiswanya (the second home for students) merupakan bagian dari komitmen keluarga besar UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kemauan dan keterbukaan mahasiswa untuk menceritakan persoalannya kepada dosen atau kampus setidaknya merupakan indikator bahwa mereka masih menaruh rasa percaya (trust) kepada lembaga. Bahwa institusi pendidikan tinggi ini, tak hanya tempat bagi mereka untuk memijah cita dan merajut asa bagi masa depannya. Tetapi kampus ini, terutama prodi sebagai unit dengan ‘maqam terendah’-nya, yang langsung berhubungan dengan mahasiswa di keseharian mereka, bisa juga menjadi tempat menumpahkan keluh-kesah atas apa yang mereka fikirkan atau rasakan. Di kampus ini, mahasiswa belajar untuk mampu menapaki hari esok menjadi sosok dengan versi terbaik dirinya. Untuk bertumbuh dan semakin kuat sebagai individu merdeka, bukan menjadi jinak apalagi lemah. Di kampus ini, ‘sayap-sayap’ hidup mereka dikembangkan dan dikokohkan. Hingga pada waktunya, mereka berani dan mampu mengepakkannya untuk terbang. Dalam bahasa Kahlil Gibran, “Rumahmu bukanlah sebuah jangkar, melainkan tiang kapal.”

But you, children of space, you restless in rest, you shall not be trapped nor tamed.
Your house shall be not an anchor but a mast.
It shall not be a glistening film that covers a wound, but an eyelid that guards the eye.
You shall not fold your wings that you may pass through doors,
nor bend your heads that they strike not against a ceiling,
nor fear to breathe lest walls should crack and fall down.

(On Houses, 1923)