Articles

“Dari mana datangnya lintah, dari gunung turun ke kali # Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.” Kalimat tersebut merupakan penggalan lirik dari lagu Rasa Sayange, lagu daerah dari Maluku ciptaan Paulus Pea. Bagian akhir lirik tersebut tentu sangat indah maknanya. Lalu bagaimana jika lirik tersebut dimodifikasi menyesuaikan judul tulisan ini? Pembaca budiman tentu bisa berkreasi. Tapi, pesan yang dikandung tentu sangat negatif. Bagaimana tidak? Dua istilah dalam judul tulisan ini, judol (judi online) dan pinjol (pinjaman online) dalam beberapa waktu terakhir sangat menyita perhatian dan memunculkan keprihatinan bersama.

Judol. Sesuai dengan namanya, aktivitas judi yang dilakukan di dunia maya ini telah menjelma menjadi patos baru dalam masyarakat Indonesia. Judi, dalam berbagai bentuknya, memang layak dikategorikan sebagai penyakit masyarakat. Dalam ajaran agama, Islam misalnya, judi jelas dan tegas dinyatakan sebagai kotoran dari perbuatan setan. Perbuatan setan sendiri sudah kotor, lha ini (judi) adalah kotoran dari perbuatan kotor. Artinya, Islam sangat melarang dan melaknat judi karena ia tidak saja berpotensi melainkan bisa dipastikan mampu merontokkan sendi-sendi kehidupan baik individual, keluarga maupun sosial. Tidak berlebihan juga kiranya jika Sunan Ampel memasukkan judi sebagai salah satu dari ajaran luhur moh limonya, yaitu moh main (tidak mau judi) setara dengan empat moh lainnya, yaitu moh ngombe (tidak mau minum yang memabukkan), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengkonsumsi barang candu) dan moh madon (tidak mau berzina). Membaca dan menilik berita-berita yang beredar baik di media massa maupun media sosial, judol telah menyebabkan terjadinya banyak tragedi memilukan dan memalukan dari ranah domestik hingga publik.

Judol dilakukan oleh hampir semua kalangan baik elit maupun jelata, dari yang berdasi sampai yang bersandal jepit. Magis judol seakan tak bisa ditolak oleh siapapun yang sudah terjebak oleh rayuan mautnya yang membuai. Hanya bermodal puluhan ribu, seorang penjudi ditawari kemenangan oleh bandar hingga ratusan ribu rupiah. Bisa dibayangkan jika nominal taruhannya semakin besar, bisa dipastikan kemenangan yang dijanjikan juga lebih besar. Bertaruh sekali, langsung diberi kemenangan oleh bandar. Penasaran? Tentu saja. Akhirnya penjudi akan memasang taruhan, lagi, lagi dan lagi hingga akhirnya dia kalah dan modal kemenangannya di awal habis dikuras kembali oleh bandar. Menyerah? Ternyata tidak. Rasa penasaran untuk kembali meraih kemenangan tidak lantas membuat seorang penjudi online menyerah begitu saja. Nyaris dengan pola yang sama dengan judi offline (baca: konvensional), penjudi online akan mencari berbagai cara untuk tetap bisa memasang taruhan. Meminjam uang kepada teman, keluarga dan kerabat pun dilakukan. Tentunya tidak mungkin dengan dalih untuk berjudi. Jika cara ini tidak berhasil, cara lain pun ditempuh. Salah satu solusi instan untuk memenuhi hasrat judolnya adalah melalui pinjol (pinjaman online). Dalam kasus pelaku judol, pinjol adalah solusi cepat dan kilat. Nyaris sama dengan judol, pinjol juga ditawarkan dengan kata-kata manis dan rayuan yang membuai. Iming-iming cair cepat dan cicilan ringan membuat calon peminjam tergoda.

Berjudi dengan menggunakan uang hasil berhutang pada akhirnya hanya akan menjadi semacam ‘lingkaran setan’ yang tak berujung. Ia juga laksana labirin yang hanya memiliki jalan masuk tapi tak mempunyai jalan keluar. Pelaku judol dan pinjol akan menanggung beban ganda, yaitu kekalahan dalam taruhan judinya dan ketidakmampuan melunasi hutangnya. Inilah yang kemudian menjadi titik kulminasi penderitaan yang jika tidak bisa diselesaikan justru akan berujung pada perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan dengan ajaran agama dan norma sosial. Pencurian, pembunuhan dan bunuh diri hanyalah beberapa ekses negatif yang nyata dari judol dan pinjol. Hal ini bukan hisapan jempol belaka sebab penulis artikel telah berjumpa dan berdialog secara langsung dengan pelaku judol yang terlilit pinjol. Dalam penuturannya, dia terjebak dalam pinjol dikarenakan kalah taruhan judol. Keterlibatannya dalam judol berawal dari iseng. Di awal dia bertaruh dalam nominal ratusan ribu dan mendapatkan kemenangan sampai puluhan juta. Namun kemenangan tersebut tidak lantas membuatnya puas dan berhenti. Sebaliknya, dia merasa penasaran dan tertantang untuk bertaruh dengan nominal yang lebih besar guna memperoleh kemenangan yang lebih besar pula. Dari sinilah  malapetaka itu dimulai. Saat bandar judol membuatnya kalah taruhan, maka sedikit demi sedikit ia kehabisan modal. Beralasan tidak mau merepotkan orang lain, terlebih keluarganya, dia kemudian mengajukan pinjaman online. Hasil pinjol dengan nominal belasan juta itulah yang kemudian ia gunakan untuk mengadu keberuntungan dalam taruhan judol dengan harapan dia akan menang besar dan hasil dari kemenangannya akan dia gunakan untuk melunasi pinjolnya. Namun, apa hendak dikata, dia mengalami kekalahan total dalam taruhannya dan seluruh modalnya yang berasal dari pinjol habis tak tersisa. Alih-alih melunasi hutangnya, dia justru kesulitan dan terus-menerus mendapatkan teror dari debt collector melalui telepon genggamnya. Beruntungnya, ketika penulis artikel bertanya kepada pelaku judol dan pinjol ini tentang bagaimana dia menghadapi situasi sulitnya, dia menjawab bahwa dia telah meninggalkan judol dan menanggapi teror debt collector dengan ‘santai’ sembari berusaha melunasi pinjolnya dengan cara yang benar.

Di tengah keprihatinan kita atas fenomena judol, kita tentu berharap semoga tak bertambah lagi korban dari perbuatan nirmanfaat ini. Bagaimanapun, judi tidak akan membuat seseorang kaya. Sebaliknya, dia hanya akan mendatangkan nestapa. Semoga saya dan Anda, keluarga saya dan keluarga Anda, keturunan saya dan keturunan Anda, kita semua tidak terjerat rayuan judol dan segala bentuk judi. Tak ada indahnya sama sekali dari judol turun ke pinjol. Dan, ada baiknya kita merenungkan lagu gubahan Raja Dangdut, Rhoma Irama, yang berjudul “Judi”!  

[Nur Hidayat Wakhid Udin; Dosen FUF UIN Sunan Ampel