Berita
CEGAH KEKERASAN SEKSUAL: PSGA UINSA Sosialisasikan 20 Bentuk Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

Uinsa news: Jumat, 2 September 2022. Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) UIN Sunan Ampel (UINSA) Surabaya digelar di 2 kampus UINSA secara bersamaan, yakni di Kampus A. Yani dan Kampus Gunung Anyar.  Ada yang lain dengan PBAK pada Kamis s.d. Sabtu, 1-3 September 2022 ini dari tahun-tahun sebelumnya. Kali ini, PBAK memperkenalkan ke mahasiswa baru tentang Cara Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.

Dr. Lilik Huriyah, M.Pd.I, Kepala Pusat PSGA (Pusat Studi Gender dan Anak) UINSA bersama Kepala Pusat Pusat Layanan Internasional, Dr. Nabila Naely, MA berupaya untuk membangun kesadaran tentang Gender serta mengenalkan berbagai aturan tentang kekerasan seksual di perguruan tinggi. Dipaparkan oleh Lilik bahwa salah satu cara mencegah kekerasan seksual yang bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 8 ayat (1) Permendikbud nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Dalam mencegah kekerasan seksual, maka mahasiswa dihimbau untuk membatasi pertemuan dengan Pendidik dan Tenaga Kependidikan secara individu di luar area kampus, di luar jam operasional kampus, dan/atau untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran, tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan, serta berperan aktif dalam Pencegahan Kekerasan Seksual.

UINSA sebagai kampus yang telah mendeklarasikan diri sebagai Kampus Responsif Gender (KRG), wajib mewujudkan indikator KRG kesembilan, yakni Zero Tolerance Kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki. Salah satunya adalah kekerasan seksual di kampus. Lebih lanjut, Lilik memaparkan ada 20 macam aktivitas yang masuk dalam bentuk kekerasan seksual di perguruan tinggi yang wajib diketahui mahasiswa, tenaga kependidikan, dan dosen UINSA.

Sebagaimana pasal 5 ayat (1) permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 dinyatakan bahwa kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Selanjutnya, dipaparkan pula pasal 5 ayat (2) yang berbunyi Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban; b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban; c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban; d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman; e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban; f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi; j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban; k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban; n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual; p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi; q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi; s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil; t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.

Bagi mahasiswa yang terbukti melakukan kekerasan seksual, maka akan ada sanksinya. Sebagaimana tertulis dalam pasal 14, pengenaan sanksi administratif terdiri atas sanksi administratif ringan, sedang, atau berat. Termasuk sanksi ringan adalah a. teguran tertulis; atau b. pernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa. Sedangkan sanksi administrasi sedang adalah pengurangan hak sebagai Mahasiswa meliputi penundaan mengikuti perkuliahan (skors), pencabutan beasiswa, atau pengurangan hak lain. Adapun yang termasuk sanksi administrasi berat adalah pemberhentian tetap sebagai mahasiswa.

Di akhir sesi, Kepala Pusat PSGA UINSA memaparkan video bagaimana cara lapor jika terjadi kekerasan seksual di kalangan mahasiswa. UINSA mempunyai Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Agar pelaksanaan tugas satgas ini berjalan lebih efektif, maka di setiap fakultas akan dibentuk vocal point, sehingga mahasiswa akan dengan mudah bisa melaporkan kejadian kekerasan seksual di kampus UINSA (tim psga lp2m).