Column
Oleh: Prof. Akh. Muzakki, M.Ag, Grad.Dip.SEA, M.Phil, Ph.D.
Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

“Kalau untuk kepentingan anak, wudo pun tak lakoni.” Potongan kalimat wudo pun  tak lakoni di akhir ungkapan ini mengandung terjemahan begini: “telanjang pun akan ku jalani.” Jadi, terjemahan lengkap versi Bahasa Indonesia dari ungkapan utuh kalimat dimaksud berbunyi seperti ini: “Kalau untuk kepentingan anak, telanjang pun akan ku jalani.” Ungkapan yang demikian ini pernah keluar dari seorang ayah. Kala anaknya sedang berjuang untuk karirnya. Ujaran ini keluar sebagai ungkapan rasa sayang kepada sang anak. Dia tak membiarkan sang anak berjuang sendirian atas nasibnya. Dia lakukan apapun sebisa mungkin untuk membantu sukses sang anak dalam urusan pekerjaan yang sedang diikuti.

Di ujung yang lain, kita diingatkan oleh pernyataan profetik begini: Waimullahi, Lau anna Fathima binta Muhammad saraqat, la qatha’tu yadaha.” Terjemahannya begini: “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Kalimat ini adalah pernyataan Nabi Muhammad SAW. Karena pernyataan ini adalah sebuah Hadits Nabi, maka tentu saja ungkapan kalimat yang kukutip di paragraf sebelumnya di atas tidak komparabel jika dipersandingkan, apalagi diperbandingkan, dengan pernyataan ini. Tentu karena pernyataan yang dirujuk kembali di paragraf ini berasal dari Nabi Muhammad SAW, maka isinya pun sangat bermuatan nilai nubuat. Nilai khusus yang lahir dan berasal dari keutamaan kenabian.

Tapi, bukan itu yang ingin kutulis. Bukan nilai inkomparabilitas antara kedua pernyataan itu yang ingin kutelaah. Aku justru tertarik untuk menelaah something behind utterances. Sesuatu di balik ujaran. Pada keduanya. Di sana ada nilai menarik yang ingin kutelaah lebih jauh. Dua ungkapan di atas sama-sama menunjukkan rasa sayang yang tinggi dari seorang ayah atau orang tua kepada anaknya. Nilai sayang itu sesuatu yang sangat wajar dalam kehidupan relasional orang tua-anak. Pasti semua akan melakukan itu. Mengungkapkan rasa sayang itu. Tapi, justru bagaimana ekspresi rasa sayang itu dilakukan, itu yang penting menjadi pembahasan. Karena, bisa saja ekspresi rasa sayang itu dilakukan secara serupa. Namun bisa pula tak sama. Bahkan berbeda jauh.

Karena itulah, dua ungkapan pernyataan di atas penting untuk ditelaah lebih mendalam. Sekali lagi, tulisan ini hanya tertarik untuk menelaah something behind utterances semata. Tak melihat ungkapan pernyataan dimaksud keluar dari manusia biasa atau seorang nabi sebagai ujaran nubuat. Persoalan yang disebut terakhir ini memang penting. Tapi tulisan ini lebih tertarik untuk membahas something behind utterances ini. Praktisnya, something behind utterances atau sesuatu di balik ujaran ini menunjuk apa yang dalam teori tindak ujar (speech act theory) dikenal dengan istilah intention (lihat John. R. Searle, Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts, 1979:4-9; J.L. Austin, How to do Things with Words, 1962:11, 102-107, 108-109). Terjemahan Indonesia atas kata intention ini adalah niat atau maksud.

(Foto: Sampul Buku Expression and Meaning)

Nah, dalam teori tindak ujar itu, ada piranti konseptual yang memfokuskan pembahasannya secara khusus pada masalah intention ini. Anggitan dimaksud dikenal dalam teori tindak ujar itu dengan istilah illocutionary act. Anggitan ini menguji apa yang ingin dicapai pembicara dengan mengatakan sesuatu. Intinya mengenai maksud di balik ucapan. Dan biasanya tindakan yang umumnya dilakukan oleh ucapan itu sendiri dan menjadi indikasi atas intention dimaksud tak jauh-jauh dari kemungkinan praktik berikut: memberi tahu (informing), meminta (requesting), menjanjikan (promising), atau memerintah (commanding).   

Frame pembahasan tulisan ini penting kutekankan. Penting ku sebut untuk membahas dua pernyataan yang ku uraikan di awal tulisan ini. Kepentingannya untuk mendapatkan pelajaran bagi perbaikan kualitas hidup pribadi dan atau bersama. Sumber pembahasannya adalah dua pernyataan di atas. Lebih dari itu, masing-masing kita pun juga diharapkan tak silau oleh perbedaan kedudukan penutur atas kedua pernyataan dimaksud. Hingga kita kehilangan substansi penting yang menjadi pelajaran dari keduanya. Dengan begitu, kita bisa lebih mendalam untuk mengambil pelajaran hidup dari hasil telaah atas kedua pernyataan dimaksud. Tentu, ujungnya adalah ada ruang untuk lahirnya perbaikan dalam hidup sesuai dengan pelajaran yang bisa ditarik dari perbedaan kedua pernyataan di atas.     

Aku mencatat dua pelajaran yang bisa ditarik dari telaah atas dua ungkapan pernyataan di atas. Pertama, semua pasti sayang anak, tapi ekspresi atas rasa sayang itu tak selalu sama. Lihatlah kedua ungkapan pernyataan di atas sebagai contoh. Keduanya sama-sama berangkat dari titik perhatian pada anak. Kedua ungkapan pernyataan itu diikat oleh kedudukan anak di mata orang tua. Konkretnya berbentuk rasa sayang orang tua kepada anak. Buktinya, keduanya sama-sama menyebut anak sebagai sumbu dari masing-masing utterance atau ujaran di atas. Baik pernyataan “Kalau untuk kepentingan anak, wudo pun tak lakoni” maupun “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (“Waimullahi, Lau anna Fathima binta Muhammad saraqat, la qatha’tu yadaha”) keduanya sama-sama berangkat dan bermuara kepada anak masing-masing. Artinya, kedua ujaran di atas sama-sama sedang menjadikan anak sebagai kasus lahirnya tindakan sehingga melahirkan ujaran masing-masing penutur dimaksud.  

Hanya, kedua ungkapan pernyataan di atas memiliki fokus dan sentral pemikiran yang berbeda. Pada ungkapan “Kalau untuk kepentingan anak, wudo pun tak lakoni,” kita bisa melihat bagaimana ungkapan rasa sayang itu diwujudkan dalam bentuk perbantuan yang benar-benar seutuhnya dalam aktivitas dan perjuangan sang anak mencapai sukses dalam urusan pekerjaan. Titik tekannya adalah kesuksesan pekerjaan anak. Tentu, itu ekspresi naluriah orang tua untuk anaknya. Nalurilah yang mendorong orang tua untuk melakukan dan memberikan perbantuan yang benar-benar seutuhnya dimaksud. Artinya, sebagai orang tua, seorang ayah atau ibu pasti tergerak untuk melakukan apa saja yang terbaik untuk membantu suksesnya sang anak. Sukses dalam skala dan jenis apapun. Termasuk urusan pekerjaan.

Namun, dorongan naluriah dimaksud bisa positif dan bisa pula negatif. Positif saat dorongan naluriah itu diderek dan dikerangkai oleh standar nilai kemuliaan. Sebab, tak semua ekspresi rasa sayang itu mendidik dan memuliakan. Saat standar nilai kemuliaan tak mampu menjadi fondasi yang mengarahkan dorongan naluriah itu untuk bergerak dalam kebajikan, maka proses dan hasil pergerakan naluri itu sejatinya bisa saja tidak berdimensi mendidik, apalagi memuliakan. Tak jarang, dorongan naluri itu membuat orang tua justru bisa tergelincir pada jalur kesalahan. Minimal ketidakmuliaan. Hal itu terjadi terutama saat standar nilai kemuliaan rapuh untuk bisa menjadi fondasi. Akibatnya, muncul sikap dan praktik yang tidak hati-hati dalam mengekspresikan rasa sayang pada anak dalam perilaku sebagai orang tua.     

Pada pernyataan “Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (“Waimullahi, Lau anna Fathima binta Muhammad saraqat, la qatha’tu yadaha”), ungkapan rasa sayang orang tua kepada sang anak justru diwujudkan dalam bentuk proteksi diri anak dari potensi keburukan dalam hidupnya. Fokus dan kata kuncinya adalah proteksi integritas. Ekspresi rasa sayang kepada anak justru diwujudkan dalam bentuk proteksi kepadanya dari perilaku buruk, termasuk pelanggaran hukum sekalipun. Hal itu ditunjukkan dengan ketegasan sikap untuk menghukum atau memberi “pelajaran” kepada sang anak saat sang anak itu melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya.

Kesalahan fatal itu bisa bermacam-macam bentuknya. Namun yang pasti, semakin mengarah ke hak publik dan atau kemaslahatan kehidupan bersama, semakin kuat bentuk proteksi atas anak dari kesalahan perilaku itu dilakukan. Penggunaan kata lau (jika; seandainya) dalam pernyataan nubuat di atas menegaskan bahwa perhatian Nabi Muhammad kepada putri kesayangannya tak hanya pada wilayah kehidupan privat, tapi juga kehidupan publik. Kehadiran sang ayah, seperti dalam kasus ungkapan pernyataan nubuat ini, justru diperkuat untuk memproteksi sang anak dari keburukan perilaku, lebih-lebih di ruang publik.

Apalagi, penggunaan kata saraqat hanyalah ilustrasi saja atas keburukan perilaku di ruang publik. Kata itu hanya menggambarkan saja perumpamaan pelanggaran atas hak sesama. Apalagi, kata tersebut memiliki dimensi dan cakupan makna yang berbeda dengan kata- kata lain seperti akhadza dan laqataha. Hans Wehr dalam kamusnya A Dictionary of Modern Written Arabic (1976:408) menjelaskan kata saraqa berarti to steal (mencuri) atau to rob (merampok). Adapun, kata akhadza, menurut Hans Wehr (1976:6),  sangat umum dengan arti yang dikandungnya meliputi makna to take atau to get. Sama-sama bermakna “mengambil” yang tidak mengandung muatan makna pelanggaran hak. Sedangkan kata laqatha, kata  Hans Wehr (1976:874) bermakna to gather, collect, pick up from the ground (mengumpulkan, menghimpun, mengambil dari tanah). 

(Foto: Sampul A Dictionary of Modern Written Arabic)

Lalu, komitmen orang tua dalam memproteksi integritas sang anak sangat kuat dipertontonkan oleh kalimat “aku sendiri yang akan memotong tangannya” (“la qatha’tu yadaha”). Ungkapan ini mengajarkan bahwa kasih sayang orang tua tak boleh membutakannya dari kewajiban menjaga integritas dirinya sendiri sebagai orang tua dan anaknya secara sekaligus. Karena itu, jika saja melakukan pelanggaran nilai dan ketentuan umum, seperti diilutrasikan dengan kata saraqat (mencuri), maka sang anak juga tak akan diberikan hak keistimewaan. Bentuknya pengecualian dari penegakan hukum. Tentu tidak. Apalagi, kalimat “aku sendiri yang akan memotong tangannya” (“la qatha’tu yadaha”) bisa semakin mempertegas apa yang harus dilakukan oleh orang tua kepada anaknya untuk kepentingan keteladanan dalam penegakan aturan dan hukum.  Itu semua demi mengembangkan dan sekaligus menjaga integritas diri sang anak juga.

Sebagai pelajaran kedua, tak cukup hidup berpangku pada kecenderungan naluriah saja. Butuh kompas untuk memandu kecenderungan naluriah itu. Kepentingannya agar kecenderungan naluriah tetap bisa berjalan namun selalu terbimbing dalam kebajikan. Mengapa begitu? Sebab, kecenderungan naluriah itu bisa baik dan bisa pula kurang baik. Pergerakan naluriah bisa saja bergeser ke arah sebaliknya dari kebajikan saat kepentingan primordial dan ego diri mengemuka dan mengalahkan dorongan kebajikan bersama. Artinya, saat kepentingan primordial dan ego diri lebih menguasai, naluriah justru bisa membunuh kemuliaan diri.      

Karena itulah, hidup itu perlu digaris. Dan penggarisnya harus terus lurus. Agar hasil garisannya juga ikut lurus. Saat penggarisnya gampang bengkok, maka hasil garisannya juga mudah bengkok pula. Sebaliknya, saat penggarisnya kuat dan terjamin untuk tetap lurus, maka hasil garisannya juga akan bertahan lurus. Karena itu, menjaga penggaris untuk tetap dan terus lurus dibutuhkan energi pendorong dan penguatnya. Di sinilah setiap diri memiliki tanggung jawab yang sama untuk memupuk dan memperkuat energi dimaksud. Agar penggaris hidup terjaga kuat dan lurus dalam lintasan perubahan apapun.

Nah, cara paling efektif untuk menjaga kondisi penggaris dimaksud adalah dengan melakukan kontrak perilaku diri. Semangatnya adalah kemuliaan diri secara personal dan komunal-bersama. Nilai dasarnya adalah marwah diri lahir batin. Bentuknya, kemuliaan rohani dan jasmani. Keunggulan material dan spiritual. Semakin kuat panggilan marwah diri di atas, semakin kuat pula cara seseorang untuk memupuk dan memperkuat tegaknya penggaris dalam hidup. Dan, kontrak diri, sebagaimana disebut sebelumnya, harus diikat oleh standar nilai kemuliaan yang melintasi batas material-lahir-jasmani. Kekuatan batin, rohani, dan spiritual harus menjadi nilai dorong utama, mengalahkan kekuatan material-lahir-jasmani dimaksud.

Di sinilah, pernyataan “Waimullahi” (Demi Allah), seperti tersebut dalam ungkapan pernyataan nubuat di atas, memberi panduan penting sebagai kompas hidup (the living compass) dalam diri. Itu adalah ungkapan yang berisi sumpah dan kontrak diri. Menariknya lagi, sumpah dan kontrak diri ini dilakukan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Diikatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Itu semua mengandung arti bahwa menghadirkan Tuhan dalam hidup diri dan keluarga sangat penting. Tak akan pernah dilakukan pengucapan sumpah dan pengambilan kontrak diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa jika tak ada kehendak untuk menghadirkan-Nya dalam keseharian hidup.

Dan, pengucapan sumpah serta pengambilan kontrak diri melalui pernyataan “Waimullahi” (Demi Allah) dan semisalnya di atas memberi contoh dan pelajaran penting bahwa menghadirkan Tuhan dalam hidup keseharian bisa menjadi kompas hidup. Agar hidup bisa tetap mulia. Bukan saja mulia di mata sendiri atau keluarga. Melainkan juga mulia di mata masyarakat dan Tuhan yang Maha Kuasa. Karena itu, menghadirkan Tuhan dimaksud tak hanya sebatas mewujud dalam bentuk ritual ibadah di ruang privat. Melainkan lebih-lebih juga di ruang kehidupan bersama. Di sinilah kesalehan publik merupakan wujud konkret dari menghadirkan Tuhan dalam ruang kehidupan bersama.   

Memang ungkapan pernyataan “Waimullahi” (Demi Allah) di atas adalah ungkapan profetik kenabian. Dan setiap kita disarankan untuk tak gampang mengucapkannya. Tak disarankan untuk melakukan praktik umbar sumpah atas nama Tuhan. Tapi, justru karena tak boleh diumbar atau diucapkan secara gampangan itulah, berarti pernyataan sumpah dimaksud sedang mengirimkan sebuah nilai penting. Yakni kredibilitas diri. Dan  pengucapan sumpah dengan kalimat “Waimullahi” (Demi Allah) dan semacamnya dimaksud mengindikasikan bahwa kredibilitas diri yang sedang ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada sang puteri kesayangannya tak bisa ditawar-tawar. Itu semua karena hidup, sebagaimana tersirat dari ungkapan pernyataan profetik dimaksud, tak bisa jauh-jauh dari nilai yang diajarkan Tuhan Yang Maha Kuasa.        

Akhirnya, aku pun teringat mutiara hikmah berikut ini: Ajining diri soko lathi. Ini memang pepatah Jawa. Tapi isinya sungguh bisa berlaku bagi semua. Bisa mengenai kita semua. Karena pepatah itu sarat makna. Untuk kemuliaan hidup sendiri dan bersama. Arti yang dikandungnya begini: kemuliaan diri bergantung pada lisan. Saat baik lisan, pertanda baik pula diri. Saat buruk lisan, buruk pula diri. Maka, lisan itu citra diri. Karena itu, ungkapan, kalimat, pernyataan, dan bahkan pilihan kata yang keluar dari diri seseorang bisa menjadi petunjuk atas kondisi marwah diri yang dimiliki. Maka, pikiran dan mental seseorang bisa dibaca dari isi mulut yang keluar melalui ungkapan, kalimat, pernyataan, dan pilihan kata yang diekspresikan.