Column
Oleh: Prof. Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya

فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوْلٍ حَسَنٍ وَّاَنْۢبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًاۖ وَّكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ۗ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَۙ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا ۚ قَالَ يٰمَرْيَمُ اَنّٰى لَكِ هٰذَا ۗ قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Dia (Allah) menerimanya (Maryam) dengan penerimaan yang baik, membesarkannya dengan pertumbuhan yang baik, dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya (Maryam) di mihrab, dia mendapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam, dari mana ini engkau peroleh?” Dia menjawab, “Itu dari Allah.” Sungguh Allah memberi rizki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan” (QS. Ali Imran [3]: 37)

            Ayat ini kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya tentang kisah Maryam muda yang dibesarkan dalam keluarga Nabi Zakaria, A.S. Ia ditempatkan oleh Zakaria A.S. di kamar spesial, hanya Zakaria yang bisa memasukinya. Suatu hari, ia terkejut, di dalam kamar Maryam terdapat buan-buahan segar di luar musimnya. “Dari mana buah ini?” tanya Zakaria. Maryam menjawab, “Buah ini  kiriman langsung dari Allah.”

Dalam Al Qur’an, terdapat dua macam keajaiban, yaitu keajaiban yang diberikan Allah kepada nabi, dan selain nabi. Keajaiban jenis pertama disebut mu’jizat, sedangkan keajaiban jenis kedua disebut anugerah (karamah) jika diberikan kepada muslim yang saleh, atau istidraj untuk non-muslim atau muslim yang tidak saleh.  

Ketika melahirkan Isa, Maryam juga kedatangan malaikat yang menyuruh menggoyang pohon kurma di sebelahnya yang kering kerontang. Ajaib, ketika digoyang, pohon itu menjatuhkan kurma segar (ruthaban janiyya) untuk makanan si bayi. Allah SWT berfirman, “Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menjatuhkan buah kurma yang masak kepadamu” (QS. Maryam [19]: 25)

Ada lagi keajaiban yang disebutkan Al Qur’an, yaitu tujuh pemuda yang ditidurkan Allah dalam gua selama 309 tahun. Mereka bukan nabi. Ketika dibangunkan Allah, mereka merasa tidur hanya sehari atau semalam. Semua uangnya juga sudah tak bisa untuk membeli apa pun (QS. Al Kahfi [18]: 19).

Kejadian di atas mirip dengan apa yang dialami Terry Wallis, remaja Amerika yang koma karena kecelakaan pada tahun 1984, dan baru sadar pada tahun 2003, atau hampir 20 tahun. “Ajaib. Tak bisa diulang, seperti keberuntungan undian,” kata dokter yang menangani. Satu syaraf pada otaknya yang putus, tiba-tiba tersambung setelah 20 tahun berlalu.  Ketika sadar, ia bisa menghitung angka 1-25, tapi gagal menyebut nama presidennya. Yang disebut adalah presiden 20 tahun yang lewat. Jadi, koma selama 20 tahun hanya seperti sedetik.

Nabi SAW dalam hadis riwayat Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar r.a juga bercerita tentang tiga orang yang terjebak dalam gua. Mereka hidup jauh sebelum kelahiran Nabi SAW. Mereka memasuki gua untuk berteduh saat hujan turun. Tiba-tiba, batu besar menggelinding dan menutup pintu gua. Mereka sepakat, hanya doa yang bisa menggeser batu raksasa itu. Mereka kemudian berdoa bergantian satu persatu. 

Orang pertama berdo’a, ”Wahai Allah, setiap hari saya menyediakan susu untuk orang tuaku. Suatu saat, saya pergi jauh, dan baru pulang ketika mereka telah tidur lelap. Saya tetap menyediakan susu, sambil menunggu mereka bangun. Susu itu tetap saya tahan untuk persiapan orang tuaku bangun, meskipun anak-anakku merengek memintanya. Wahai Allah, jika bakti kepada orang tuaku itu benar-benar ikhlas untuk-Mu, maka geserlah batu yang menutup gua ini.” Dengan kuasa Allah, batu itu bergeser sedikit.

Orang kedua berdoa, ”Wahai Allah, saya mencintai gadis anak pamanku, tapi ia menolak cinta saya. Suatu saat, ia kesulitan ekonomi, dan meminta 120 dinar atau ratusan juta rupiah. Sebagai gantinya, ia siap melayani saya. Ketika saya telah berada di antara dua pahanya, tiba-tiba ia berkata,”Takutlah kepada Allah.” Saya terperanjat, dan berlari meninggalkan gadis itu. Wahai Allah, jika perzinaan itu benar-benar saya tinggalkan semata-mata ikhlas dan takut kepada-Mu, maka geserlah batu yang menutup gua ini.” Keajaiban kedua terjadi. Bergeserlah batu itu, tapi belum terbuka sepenuhnya.

Orang ketiga berdoa, ”Wahai Allah, ketika saya membagikan upah kepada semua karyawan, ada seorang yang tidak hadir. Maka, upah itu saya simpan dengan hati-hati, bahkan saya kembangkan. Setelah sekian tahun berlalu, tiba-tiba karyawan itu datang menagih upahnya. Saya jawab, ”Seluruh unta, sapi, kambing dan budak yang mengembalanya di lapangan itu adalah milikmu.” Ia terkejut, dan  menduga saya mengejeknya. Wahai Allah, jika apa yang saya lakukan itu ikhlas semata-semata mengharap rida-Mu, maka geserlah batu besar yang menutup gua ini.” Dengan kuasa Allah, bergeserlah batu penutup gua, dan mereka bertiga keluar dengan sukacita.

Sampailah kita pada pertanyaan, mengapa Al Qur’an berbicara sesuatu yang irrasional? Atau dengan bahasa yang lebih sopan, “suprarasional” (tak terjangkau akal). Tidak lain, untuk mengingatkan ilmuwan, bahwa  di balik aneka peristiwa alam yang bisa dijelaskan dengan teori ilmiah, ada juga peristiwa yang tidak bisa ia jelaskan, sebab melampaui hukum kausalitas. Kisah itu juga untuk menguatkan optimisme manusia ketika menghadapi suatu kesulitan. Bagi saya yang sedang sakit, bisa saja kisah suprarasional dalam Al Qur’an itu sebuah bisikan untuk saya, “Believe with certainty, there is always miracle in your life. Be optimistic!.” (Yakinah, selalu ada keajaiban dalam hidupmu. Optimislah!). Wajibkah dipercaya? Wajib, sebab kisah itu ada dalam Al Qur’an. Kafir, jika muslim tidak mempercayainya.

Ketika berusaha, gunakah rumus-rumus alamiah atau sunnatullah. Jangan percaya kepada keajaiban, agar profesional. Tapi, ketika memanggil Allah, yakinlah bahwa Allah bisa membuat keajaiban, di luar hukum kausalitas. Albert Einstein mengatakan,  “There are two ways to live. Live as though nothing is miracle. Live as though everything is miracle.” (Ada dua cara menjalani hidup. Hiduplah seolah-olah tidak ada keajaiban, dan hiduplah seolah-olah dalam segala hal ada keajaiban). (Surabaya, 26-5-2024)