Duka itu terasa makin mendalam. Terutama kala jenazah itu keluar dari proses administrasi di bandara. Semua anak-cucu almarhum tak bisa menyembunyikan duka mendalam mereka. Suasana hati dan ekspresi diri yang sedang berduka tak lagi bisa mereka tutup-tutupi. Betul-betul mudah sekali pemandangan itu ditemui. Di serambi depan Gedung VIP Bandara Juanda. Rabu, 15 Januari 2025. Kala itu, mereka berkumpul di Bandara Juanda itu. Bahkan sanak saudara yang dari kejauhan pun datang. Semua ingin menyambut kedatangan jenazah. Sang buya dan kakek itu telah meninggalkan mereka semua. Untuk selamanya. Menghadap Dzat yang Maha Kuasa.
Jenazah yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya kala itu adalah jenazah almarhum Prof. Dr. KH. Ridlwan Nasir, MA. Tentu semua sudah tidak tahan untuk segera bisa melihat langsung jenazah itu. Suasana di serambi depan Gedung VIP bandara itu pun begitu hening. Semua terdiam hanyut dalam sedih. Pertanda duka mendalam sangat menyelimuti. Prof Ridlwan itu kapundut mendadak sekali. Sungguh mengejutkan. Meninggalkan kita semua. Sungguh menyesakkan. Apalagi bagi anak-cucunya yang sudah siap-siap ketemu kembali. Usai sang buya dan kakek itu melaksanakan umrah lima belas hari. Beliau dipanggil oleh Yang Kuasa dalam pesawat yang membawanya ke Surabaya dari perjalanan balik dari ibadah umrah usai transit di Malaysia.
Kala semua berharap-harap cemas, bergeraklah sebuah ambulance dari arah dalam bandara. Ambulance itu membawa jenazah itu menuju depan Gedung VIP Bandara. Untuk diupacarakan. Diserahterimakan kepada keluarga. Kala itu, di serambi depan Gedung VIP Bandara itu, telah berdiri para tokoh masyarakat dan tokoh agama. Ada Bu Nyai Khofifah Indar Parawansa, Gubernur terpilih Jawa Timur 2025-2030. Ada pula Syekh Fadlil al-Jailani, cucu ulama top dunia Syekh Abdul Qadir al-Jailany yang sedang berada di Surabaya. Juga ada sejumlah tokoh lain, semisal Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim (Kyai dan Pengasuh PP Amanatul Ummah). Pula ada Dr. KH. Ahmad Sudjak (Direktur Utama Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya), dan Pj Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono, M.AP.
Berdirilah di barisan terdepan dalam acara serah terima jenazah itu para tokoh yang disebut di atas. Dari ujung paling kanan berdiri Bu Khofifah, panggilan akrab Bu Nyai Khofifah Indar Parawansa. Lalu lanjut di sebelah kanannya secara berurutan: Dr. Asyik (keponakan almarhum), Adhy Karyono, M.AP, Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim, serta Syekh Fadlil al-Jailani. Awalnya, Pak Adhy Karyono berdiri pada posisi di belakang Bu Khofifah. Sedikit agak di sebelahnya. Begitu semua sudah berdiri pada posisi masing-masing itu, tampaklah siapa berada di barisan mana. Lalu, kala itu, Bu Khofifah melihat Pak Adhy Karyono itu berada di posisi barisan belakang dirinya.
Melihat pemandangan itu, Bu Khofifah langsung bereaksi. Tak membiarkan Pak Adhy Karyono berada pada posisi belakang. Bu Khofifah kemudian bergerak sedikit mundur. Lalu menggerakkan tangan kanannya ke arah Pak Adhy Karyono. Seakan memberi isyarat kepada Pak Adhy Karyono untuk maju sedikit. Agar sejajar dengannya. Dan para tokoh lainnya di barisan depan. “Monggo Pak! Monggo!” begitu kalimat yang diucapkan Bu Khofifah kepada Pak Adhy Karyono. Kalimat itu dia sampaikan untuk meminta dan mempersilakan Pak Adhy Karyono untuk mengambil posisi lebih maju. Agar sejajar dengannya. Juga dengan para tokoh lainnya.
“Mboten, Bu!,” jawab Pak Adhy Karyono secara langsung. Dia ucapkan kalimat itu sambil menggerakkan tangan kanannya pula sebagai isyarat kepada Bu Khofifah agar dia diperkenankan untuk tetap berada pada posisi sedikit di belakang Bu Khofifah. Ini juga akhlak seorang birokrat yang baik. Pak Adhy Karyono, bagaimanapun, tetap ingin memberi penghormatan kepada Bu Khofifah. Tampak dia tak segera ingin untuk bergeser maju ke posisi yang sejajar dengan Bu Khofifah. Ini adalah bentuk penghormatan. Kecil, memang. Sederhana, memang. Tapi, itu adalah bagian dari fatsun birokrasi yang dijunjung tinggi oleh Pak Adhy Karyono.
Melihat Pak Adhy Karyono bersikap seperti itu, Bu Khofifah mengulangi kembali kalimatnya dengan tetap memintanya untuk sedikit maju agar sejajar dengan lainnya. Tampak sekali, hal itu dilakukan oleh Bu Khofifah sebagai ungkapan penghormatan kepada Pak Adhy Karyono beserta jabatan yang sedang disandangnya. Bagi Bu Khofifah kala itu, posisi Pak Adhy Karyono yang sedikit di belakang tidak akan memuliakannya. Sebab, bagaimanapun, Pak Adhy Karyono adalah pemegang kuasa tertinggi di birokrasi pemerintahan Provinsi Jawa Timur kala itu. Sebab, jabatannya sebagai Pejabat Gubernur memberinya posisi kewenangan tertinggi di provinsi. Sedangkan posisi struktural Bu Khofifah adalah mantan Gubernur untuk periode 2019-2024 dan baru Gubernur terpilih untuk periode 2025-2030 namun belum dilantik-kukuhkan.
Foto: Foto Upacara Serah Terima Jenazah (Dokumen: KKH UINSA, 15/01/2025)
Kisah yang kudapati dari bincang singkat antara Bu Khofidah dan Pak Adhy Karyono di atas memberi pelajaran ganda yang sama-sama penting. Pertama, Bu Khofifah sedang mempraktikkan nilai keadaban. Bukan saja mempertontonkan prinsip “adab di atas ilmu”, melainkan juga sekaligus “adab di atas jabatan”. Begini penjelasan sederhananya. Mengapa Bu Khofifah tetap mempersilakan, dan bahkan meminta, Pak Adhy Karyono untuk bergeser maju agar sejajar dengannya? Bukankah Bu Khofifah ini adalah Gubernur terpilih Jawa Timur untuk kembali memimpin untuk periode 2025-2030? Bukankah Bu Khofifah akan kembali memangku jabatan sebagai Gubernur Jawa Timur yang dia tinggalkan sementara untuk lima tahun mendatang? Juga, bukankah Pak Adhy Karyono adalah Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur yang menjadi bawahan Bu Khofifah saat dia menjabat Gubernur lima tahun ke belakang?
Pertanyaan-pertanyaan lanjutan pun masih bisa dilontarkan. Beberapa di antaranya bisa diturunkan begini: Bukankah Pak Adhy Karyono juga akan kembali menjabat Sekretaris Daerah saat Bu Khofifah segera kembali dilantik menjadi Gubernur Jawa Timur untuk lima tahun mendatang pada Februari 2025 ini? Lalu kalau jawabannya iya, mengapa Bu Khofifah tetap meminta Pak Adhy Karyono bergeser maju agar sejajar dengannya bersama para tokoh lainnya? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini muncul sebagai bentuk rasa penasaran saja atas apa yang terjadi. Aku sendiri tahu persis kejadian itu. Kebetulan posisiku bersebelahan dengan keduanya. Sehingga, ku tahu semua itu secara dekat. Termasuk ungkapan dialog antara keduanya.
Bu Khofifah betul-betul sedang mengajarkan nilai kemuliaan dalam hidup. Bukan saja “adab di atas illmu” yang dia pertunjukkan kepada kami semua kala itu, sebagaimana menjadi bagian dari pembelajaran adab di pesantren. Melainkan, dia juga sedang membelajarkan prinsip “adab di atas jabatan”. Sebab, bisa saja dia biarkan Pak Adhy Karyono tetap berdiri di posisi yang agak belakang dari dirinya. Toh, dia sebentar lagi juga akan menjabat kembali posisi sebagai Gubernur Jawa Timur untuk periode 2025-2030. Dan itu artinya, Pak Adhy Karyono juga akan kembali menempati jabatan aslinya sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur. Toh juga, pada periode jabatan sebelumnya kala Bu Khofifah menjabat Gubernur Jawa Timur periode 2019-2024, Pak Adhy Karyono juga menjadi bawahannya. Yakni, sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur.
Intinya, kalau saja Bu Khofifah membiarkan Pak Adhy Karyono untuk berdiri pada posisi di belakang dirinya pada saat upacara serah terima jenazah almarhum Prof. Dr. KH Ridlwan Nasir, MA di serambi depan Gedung VIP Bandara Juanda, banyak alasan yang bisa dikemukakan. Jika saja kala itu Bu Khofifah tak meminta Pak Adhy Karyono untuk bergeser maju agar posisinya sejajar dengan dirinya, juga ada banyak penjelasan yang bisa diberikan. Ada sejumlah alasan pembenar yang bisa disampaikan. Tapi, Bu Khofifah tak melakukan semua itu. Bu Khofifah jauh dari perilaku seperti semua itu.
Alih-alih, dia tetap meminta Pak Adhy Karyono untuk bergerak maju ke posisi di depan. Tetap memintanya bergeser lebih ke depan. Kepentingannya agar posisi Pak Adhy Karyono bisa sejajar dengan para tokoh utama lainnya. Permintaan itu pun hingga diulang. Karena awalnya Pak Adhy Karyono sendiri tidak berkenan untuk bergeser maju. Lebih merasa nyaman di posisi yang lebih ke belakang sedikit. Walaupun akhirnya Pak Adhy Karyono juga berkenan memenuhi permintaan Bu Khofifah untuk bergeser ke depan, sejajar dengan dirinya dan tokoh utama lainnya.
Mengapa semua itu dilakukan oleh Bu Khofifah? Kutangkap pesan konkretnya. Ini dia pesan konkret itu: Bu Khofifah ingin memuliakan Pak Adhy Karyono bersama jabatan yang sedang diembannya. Bu Khofifah sedang berkehendak untuk menghormati Pak Adhy Karyono bersama jabatan yang sedang ditunaikannya. Sebab, bagaimanapun, saat kejadian itu berlangsung, Pak Adhy Karyono adalah Pejabat Gubernur Jawa Timur. Pejabat tertinggi di Provinsi Jawa Timur pada saat kejadian itu berlangsung. Bu Khofifah tampak sangat menghormati Pak Adhy Karyono beserta posisi jabatan yang sedang dipegangnya.
Karena bagaimanapun, Pak Adhy Karyono adalah orang yang atas nama regulasi kewenangan memegang Surat Keputusan dari Pemerintah Pusat sebagai Pejabat Gubernur Jawa Timur. Dia pemegang otoritas itu. Dia pemimpin birokrasi tertinggi saat kejadian yang diuraikan di atas berlangsung. Walaupun pada pengalaman sebelumnya, dalam struktur jabatan birokrasi, dia adalah bawahan Bu Khofifah. Sebagaimana juga tak lama lagi akan menjadi bawahannya kembali. Yakni kembali menjadi Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur kala Bu Khofifah kembali dilantik sebagai Gubernur Jawa Timur untuk periode 2025-2030.
Kedua, apa yang telah dilakukan dan dipertunjukkan Bu Khofifah di serambi depan Gedung VIP Bandara Juanda di atas mengajarkan bahwa tugas pribadi Muslim kala sudah naik menjadi pejabat publik adalah melakukan teknokrasi atas nilai kemuliaan, termasuk yang diajarkan agama. Bu Khofifah mampu melakukan upscaling atas nilai kemuliaan yang diajarkan agama, seperti yang secara khusus berlaku dan dipraktikkan dalam dunia kesantrian di pesantren. Yakni, ajaran “adab di atas ilmu”. Tapi, dia tak hanya berhenti di situ. Dia mengangkat nilai ajaran “adab di atas ilmu” itu naik ke nilai praktik “adab di atas jabatan”. Dengan cara mengangkat yang demikian, dia juga sebetulnya sekaligus juga telah melengkapi kesempurnaan nilai ajaran tersebut dengan praktik penunaian atas amanah jabatan.
Itu artinya bahwa teknokrasi bisa dilakukan dengan cara mengangkat sebuah nilai kemuliaan agama menjadi praktik birokrasi. Memang normalnya hal itu tentu diawali dengan perumusan dokumen kebijakan publik yang didasarkan di antaranya pada nilai kemuliaan agama. Tapi, praktik diri pada ekspresi atas amanah jabatan bisa pula menjadi materialisasi atau perwujudan dari nilai kemuliaan ajaran agama. Dengan begitu, teknokrasi bisa menjadi instrumen penting untuk menerjemahkan dan sekaligus merealisasikan nilai kemuliaan yang diajarkan agama, seperti di antaranya dikembangkan secara spesifik dalam dunia pesantren.
Teknokrasi ini penting. Agar nilai tidak saja berhenti sebagai principle ideology. Ya, berhenti hanya sebagai nilai prinsipil semata. Alih-alih, nilai itu bisa bergerak secara pasti untuk menjadi working ideology. Ya, nilai yang sudah bergerak secara fungsional untuk menjadi ideologi kerja. Yakni, ideologi atau nilai yang sudah mengalami proses instrumentasi dan sekaligus fasilitasi untuk bisa dipraktikkan. Pertanyaannya, apa ukuran sebuah nilai sudah bergerak menjadi working ideology atau ideologi kerja? Sebuah nilai akan bergerak menjadi working ideology atau ideologi kerja saat nilai itu sudah terumuskan ke dalam prosedur teknis operasional pada sistem kerja individu atau lembaga. Dengan rumusan itu, nilai bisa dipraktikkan (workable). Di titik inilah, teknokrasi menjadi penting dilakukan secara memadai.
Seorang yang beriman saat menjadi pengemban amanah publik memiliki kewajiban untuk melakukan teknokrasi atas nilai. Diktum agama, sebagai contoh salah satu sumber nilai, tak cukup hanya dihafal. Atau bahkan diceramahkan semata. Pejabat yang beriman harus menerjemahkan nilai yang berasal dari diktum agama itu ke dalam tata kerja dan praktik birokrasi. Sebab, yang membedakan antara pejabat yang beriman dan kaum beriman pada umumnya adalah amanah jabatan. Tentu, hanya pejabat yang beriman yang mengemban amanah jabatan. Selainnya tidak. Karena itu, sudah seharusnya jika orang yang beriman yang sedang mengemban amanah jabatan publik mengembankan nilai yang di antaranya bersumber dari agama ke dalam tatanan birokrasi yang baik. Dengan begitu, ada korelasi positif antara nilai agama yang diyakini dan praktik birokrasi yang dijalankan.
Adab dibalas adab. Kemuliaan direspon dengan kemuliaan. Akhlaq dibayar dengan akhlaq. Itulah yang terjadi di serambi depan Gedung VIP Bandara Juanda. Antara Bu Khofifah dan Pak Adhy Karyono. Tentu ini bukan sekadar tentang dua orang yang mulia itu. Bukan. Tapi, kemuliaan kedua orang itu telah mengajarkan kepada kita bersama bahwa prinsip “adab di atas jabatan” telah melengkapi nilai tradisi “adab di atas ilmu”. Maka, siapapun dari kalangan beriman sudah semestinya melakukan teknokrasi atas nilai kemuliaan yang telah diajarkan agama yang diyakini. Teknokrasi nilai agama ini penting agar agama bukan saja bisa menjadi fondasi dasar birokrasi, melainkan juga dapat menyempurnakan praktik mulia birokrasi itu sendiri.