Dr. Abu Bakar
Musibah banjir yang kembali terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada akhir-akhir ini bukan hanya persoalan alam dan teknis, melainkan juga peristiwa sosial dan spiritual yang perlu dibaca secara lebih mendalam. Dalam al-Qur’an, bencana alam tidak selalu dimaknai sebagai hukuman Tuhan, tetapi sebagai ujian, peringatan, dan sarana refleksi agar manusia memperbaiki relasinya dengan Allah, sesama manusia, dan alam semesta. Pembacaan semacam ini menjadi penting agar musibah tidak melahirkan sikap fatalistik, melainkan
kesadaran etis dan tanggung jawab kolektif.
Al‑Qur’an bukan kitab yang hanya membahas ibadah ritual. Ia juga memuat prinsip‑prinsip pemeliharaan lingkungan, tanggung jawab manusia sebagai khalīfah di bumi, serta ajakan untuk hidup selaras dengan alam. Dalam konteks manusia dan alam, al‑Qur’an menegaskan bahwa kerusakan alam dan bencana sering kali berkaitan dengan perilaku manusia sendiri.
Kesadaran Etis dan Tanggung Jawab Kolektif
Al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan di darat dan di laut terjadi akibat perbuatan manusia sendiri (Q.S. ar-Rūm [30]: 41)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Ayat ini sering dibahas oleh para mufasir klasik dan kontemporer. Misalnya, Imam Fakhruddin al‑Razi dalam tafsirnya menafsirkan bahwa kerusakan fasād adalah akibat ulah manusia yang tidak memperhatikan keseimbangan alam dan moralitas. Tafsir kontemporer juga menegaskan bahwa ayat ini relevan dengan tantangan ekologi masa kini seperti deforestasi, polusi, dan perubahan iklim yang memperparah bencana alam. Artinya, banjir dan bencana lainnya bukan semata takdir yang tidak bisa diubah, tetapi juga peringatan bahwa hubungan manusia dengan alam perlu direfleksikan. Cara kita mengelola hutan, sungai, sistem drainase, serta pola konsumsi dan pembuangan limbah menentukan seberapa besar tekanan terhadap lingkungan hidup. Ayat ini sebagai kritik moral terhadap perilaku manusia yang melampaui batas dalam mengeksploitasi alam. Dalam konteks banjir, ayat tersebut relevan untuk membaca fenomena penggundulan hutan, alih fungsi lahan, penyempitan sungai, serta tata kelola lingkungan yang abai terhadap keseimbangan ekosistem. Banjir dengan demikian tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia sebagai pengelola bumi.
Khalīfah Dan Etika Merawat Bumi
Al-Qur’an menempatkan manusia sebagai khalīfah (pemimpin sekaligus pengelola) di bumi (Q.s. al-Baqarah [2]: 30). Dalam al-Qur’an, manusia diposisikan bukan sebagai pemilik mutlak alam, tetapi pengelola dan penanggung jawabnya. Ayat ini menjadi fondasi teologis bahwa manusia adalah penjaga amanah bumi. Tanggung jawab kekhalifahan ini tidak semata-mata berkaitan dengan pemanfaatan dan konsumsi sumber daya alam, tetapi juga mencakup etika lingkungan yang menegaskan prinsip keseimbangan mīzān. Dalam (Q.s. ar-Raḥmān [55]: 7-9), Allah menegaskan bahwa alam semesta diciptakan dengan ukuran dan keseimbangan yang harus dijaga.
Dalam perspektif tafsir ekologi, konsep mīzān dipahami sebagai keseimbangan kosmik sekaligus ekologis yang menjadi fondasi keberlanjutan kehidupan. Karena itu, al-Qur’an secara tegas melarang sikap berlebih-lebihan isrāf sebagaimana ditegaskan dalam (Q.s. Al-A‘rāf [7]: 31), ayat ini kerap dijadikan landasan normatif bagi etika konsumsi, pengelolaan, dan pembatasan eksploitasi sumber daya alam, sekaligus sebagai seruan untuk pelestarian seluruh ciptaan Allah. Dalam banyak kajian kontemporer tentang tafsir ekologi, al‑Qur’an dipahami sebagai sumber nilai yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah dan manusia lainnya, tetapi juga dengan alam. Misalnya, kajian tafsir ekologi menunjukkan bahwa ayat‑ayat dalam al‑Qur’an memuat prinsip keberlanjutan (sustainability), pelestarian lingkungan hifẓ al‑bī’ah, serta larangan menyalahgunakan sumber daya alam. Dengan cara ini, kita dapat melihat musibah banjir sebagai momentum untuk memperkuat kesadaran ekologis umat.
Bencana alam harus memicu gerakan nyata menuju pelestarian lingkungan,
bukan sekadar diskusi pasif di media sosial. Gagasan seperti fiqh al‑bi’ah (fikih lingkungan) muncul dari konteks semacam ini, yakni menafsirkan hukum Islam dengan kepekaan terhadap krisis lingkungan kontemporer. Selain itu, tafsir klasik juga memandang alam sebagai bagian dari tanda‑tanda kebesaran Allah. al‑Qur’an memanggil manusia untuk merenungkan ciptaan langit, bumi, air, dan makhluk lainnya sebagai bentuk pengakuan bahwa kehidupan ini saling terhubung dan harus dijaga. Sementara tafsir kontemporer memperluas makna ini sebagai ekoteologi yakni pemahaman teologis yang memposisikan al‑Qur’an sebagai pedoman merawat bumi.
Kearifan Lokal Gotong Royong
Bencana seperti banjir tidak dapat dipahami semata-mata sebagai larangan atau peringatan ilahi. al-Qur’an juga mengajarkan bahwa musibah merupakan bagian dari ujian kehidupan yang mengandung pesan pembentukan karakter sosial. Dalam (Q.s. al-Baqarah [2]: 155), Allah menegaskan bahwa manusia akan diuji dengan berbagai bentuk kesulitan, termasuk rasa takut, kelaparan, dan kehilangan. Respons yang dikehendaki bukanlah keputusasaan, melainkan kesabaran ṣabr yang diwujudkan dalam solidaritas, empati, dan tolong-menolong. Nilai-nilai ini tidak hanya bersifat normatif-teologis, tetapi juga menemukan relevansinya dalam berbagai tradisi lokal masyarakat Indonesia, seperti gotong royong dan kepedulian komunal dalam menghadapi bencana.
Tradisi gotong royong sebagai Kearifan Lokal ketika terjadi banjir merupakan salah satu wujud praksis nilai Qur’an Ta‘āwun fī al-Birri wa at-Taqwā, (Q.s. al-Mā’idah [5]: 2)
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
Ini adalah fondasi normatif gotong royong dalam Islam: kerja kolektif yang bernilai etis dan spiritual. Warga saling membantu mengangkat barang, membuka dapur umum, berbagi makanan, dan membersihkan lingkungan setelah air surut. Tradisi seperti ini mencerminkan nilai Qur’ani tentang ta‘āwun fī al‑birri wa at‑taqwa tolong‑menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. Nilai ini sering dikaitkan oleh para ulama tafsir sebagai bagian dari ma‘rūf , (Q.s. al-Ḥujurāt [49]: 13) Menjadi dasar kerja sosial lintas identitas esensi gotong royong Nusantara, yaitu kebaikan yang dikenal masyarakat luas. Demikian prinsip al-īthār (mendahulukan orang lain) selaras dengan etos gotong royong (Q.s. Al-Ḥashr [59]: 9).
Dalam konteks lokal, tradisi‑tradisi yang menekankan penghormatan terhadap alam, seperti larangan merusak hutan adat atau ritual syukur atas hasil panen, merupakan ekspresi budaya yang dapat dilihat sebagai implementasi etika Qur’ani terhadap lingkungan hidup. Tradisi yang memperkuat hubungan antara manusia dan alam semacam ini patut dipertahankan, dikaji, dan disinergikan dengan prinsip‑prinsip al‑Qur’an
Dengan demikian, membaca banjir dalam al‑Qur’an dan tradisi lokal tidak hanya soal “mengapa musibah terjadi”, tetapi juga tentang bagaimana umat manusia meresponsnya secara etis dan bertanggung jawab. Musibah dapat menjadi momentum untuk memperkuat solidaritas, memperbaiki hubungan sosial, dan mengembangkan kesadaran ekologis yang benar‑benar berakar dari nilai al-Qur’an.