*Oleh: Syarif Thayib (Dosen Manajemen Risiko, Program Pascasarjana UINSA)
![](https://uinsa.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-14-at-11.23.10.jpeg)
Tulisan ini faktual, meski tidak aktual, karena peristiwanya sudah sangat lama. Maaf, baru penulis buat untuk muhasabah bersama setelah fixed ditashih oleh informan A1 (terpercaya). Tetapi demi “kenikmatan” bacaan, izinkan penulis memberi “bumbu-bumbu” tulisan sebagai penyedap.
Alkisah seorang Ustadz yang baru saja pensiun dari jabatan paling bergengsi di Kepala Kementerian bermimpi menghadap Tuhan. Dialog antara Tuhan dan dirinya pun terjadi dalam mimpi itu.
Tuhan: “Hai John (nama samaran si ustadz pejabat)..!! Ngapain kamu menemuiKu sekarang? Memangnya kamu punya bekal amal apa? Kok PeDe sekali menghadap!!”
John: ”Maaf Gusti, bukannya sombong, tetapi duapuluhan tahun terakhir sebelum saya pensiun dari jabatan bergengsi di Kementerian, saya sudah menandatangani ribuan legalitas kampus baru, sekolah baru. Bahkan tak terhitung berapa ribu pesantren dan masjid yang dibantu melalui “kewenangan”ku, sehingga mereka bisa beroperasi mencerdaskan santri dan memberdayakan umat. Belum lagi jutaan guru-guru Madrasah sekarang sudah banyak yang punya rumah dan bisa berangkat haji – umrah berkat kebijakanku memberi Bisyaroh yang lumayan.”
John tampak begitu antusias mengudar-udar prestasi kerjanya saat menjadi pejabat tinggi di masa hidupnya. Dia begitu detail dan rigid, sampai pada keberhasilannya menghindari praktek KKN (korupsi kolusi nepotisme) dan seterusnya.
Tuhan tampak begitu Sabar mendengarkan unjuk prestasi amal dari John yang sangat sering diundang ceramah ke mana-mana dengan ribuan orang pendengar dari pejabat-pejabat kecil di daerah.
Kini, giliran Tuhan merespon klaim banyaknya jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan waladun shalih (anak biologis, anak ideologis, dan lain-lain) yang terus mendoakannya.
Tuhan: “John, kamu jangan pura-pura lugu di hadapanKu. Apa yang kamu sebut sebagai amalmu yang panjang kali lebar itu, bukankah sudah kamu ambil semua kompensasinya saat kamu di dunia? Kamu dapat gaji, dapat tunjangan jabatan, dapat Remun, dapat rapelan, dapat SPPD. Belum lagi segala fasilitas VVIP dari negara, plus tambahan ‘amplop’ dari orang-orang yang mengundangmu, yang hutang budi/jasa padamu. Semuanya sudah kamu ambil dan nikmati di dunia, habis tak tersisa. Bahkan sejatinya kamu punya hutang atas amanahmu doeloe melalui absensi fiktif, tandatangan bodong, dan seterusnya. Sekarang bukannya nol, apalagi surplus amal baik, amalmu minus!! Baliklah ke bumi John.!!”
Seketika John pun terjaga dari tidurnya, dan menangis.
Perlahan ia berjalan menuju kamar mandi untuk mensucikan diri. Kemudian ia pun bersimpuh rukuk, sujud, sambil terus menangis dalam setiap tuma’ninahnya, hingga fajar terbit.
Selepas ngimami Shubuh di Pesantren kecil dekat rumahnya yang ia bangun dari tabungan panjangnya itu, ia berkata kepada santri-santrinya:
“Anak-anakku, mulai sekarang kalian tidak usah bayar sahriyah lagi. Pondok ini Buya gratiskan untuk siapa saja yang mau mengaji sampai lulus kuliah.”
Surga Lalat dan Anjing Kehausan
Penulis percaya 101 persen pada kisah di atas, apalagi penulis tahu perubahan drastis dari sumber A1, bahwa ustadz pejabat itu sekarang lebih “khusyuk.” Tampak jelas dalam kerutan keningnya lebam menghitam, tanda kalau sering sujud lama (min aktsaris sujud).
Kemudian penulis teringat kisah (mimpi) perjumpaan seorang pecinta/muhibbin dengan Hujjatul Islam Imam Al Ghazali.
Bahwa ternyata hadiah Surga yang diberikan Allah SWT kepada penulis kitab paling laris sepanjang sejarah: Ihya Ulumuddin itu ternyata bukan karena jariyah bersama 200-an karya kitabnya yang lain, atau ilmu manfaat yang terus mengalir, juga bukan karena doa Alfatihah dari kiriman milyaran santri sebelum membaca karya-karyanya, tetapi Surga itu diberikan Allah kepada Imam Al Ghazali karena pernah suatu hari membiarkan lalat menghisap tintanya karena kehausan.
Pun penulis teringat kisah seorang pelacur senior yang terampuni dosa-dosa hinanya hanya karena sang pelacur itu memberi minum anjing yang hampir mati kehausan.
Tetapi penulis justru khawatir terjadi sebaliknya kepada ustadz pejabat di atas, jika kelak di hari penghitungan amal manusia, ternyata kebaikan menggratiskan bisyaroh santri hingga ada yang ‘alim ‘allamah menjadi sia-sia hanya karena testimoni (gugatan) seorang pegawai rendahan yang pernah dijegal kenaikan pangkatnya. Na’udzubillah.