Revitalisasi Perpustakaan Akademi di Era Digital
oleh
Imas Maesaroh
Perkembangan teknologi informasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) telah membawa perubahan signifikan dalam cara dosen dan mahasiswa mengakses pengetahuan. Saat ini, mereka lebih sering bergantung pada data digital dibandingkan dengan sumber belajar fisik seperti buku. Fenomena ini menyebabkan peran perpustakaan tradisional yang berfokus pada koleksi buku hardcopy semakin terpinggirkan. Namun, apakah ini berarti perpustakaan akademik tidak lagi relevan? Tidak demikian. Sebaliknya, perpustakaan akademik justru harus mengalami transformasi besar-besaran untuk tetap menjadi pusat ilmu pengetahuan yang relevan di era digital. Dengan strategi yang tepat, perpustakaan dapat kembali menjadi jantung akademik yang mendukung pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.
Salah satu alasan urgensi transformasi perpustakaan adalah pergeseran perilaku pengguna yang sangat signifikan. Di masa lalu, perpustakaan identik dengan rak-rak buku yang penuh sesak, ruang baca yang tenang, serta proses peminjaman dan pengembalian buku secara manual. Namun, di era digital saat ini, mayoritas aktivitas akademik dilakukan secara daring. Mahasiswa lebih suka mencari artikel jurnal melalui database online daripada membuka buku tebal. Dosen pun menggunakan AI untuk menganalisis tren penelitian atau merancang materi perkuliahan. Jika perpustakaan tetap mempertahankan pola layanan tradisional tanpa adaptasi, maka eksistensinya akan semakin terancam. Oleh karena itu, perpustakaan harus mengubah paradigma dari penyedia koleksi fisik menjadi penyedia akses terhadap sumber daya digital yang komprehensif.
Transformasi perpustakaan akademik modern harus dimulai dengan pengembangan koleksi digital yang berkualitas tinggi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, 90% koleksi perpustakaan idealnya berbentuk digital agar sesuai dengan kebutuhan pengguna saat ini. Koleksi ini tidak hanya mencakup e-book dan jurnal elektronik, tetapi juga database interaktif, video edukatif, dan platform kolaborasi online. Selain itu, perpustakaan harus memastikan bahwa semua sumber daya digital tersebut dapat diakses dengan mudah melalui internet, bahkan dari luar kampus. Ini akan memungkinkan mahasiswa dan dosen untuk tetap produktif meskipun sedang bekerja atau belajar di rumah. Sementara itu, koleksi buku fisik dapat dipertahankan sebesar 10%, tetapi dengan pendekatan yang lebih selektif. Buku-buku yang disimpan di compartment tertutup atau rak kecil dapat difokuskan pada topik-topik yang memiliki permintaan tinggi atau direkomendasikan oleh dosen.
Selain koleksi digital, infrastruktur fisik perpustakaan juga perlu direvitalisasi untuk mendukung gaya belajar modern. Ruang perpustakaan tradisional yang didominasi rak buku dapat dialihfungsikan menjadi common study room yang multifungsi. Misalnya, Carrel untuk belajar mandiri dapat dirancang dengan desain ergonomis dan dilengkapi dengan colokan listrik serta akses Wi-Fi cepat. Ruang silent study dapat dikembangkan untuk memberikan lingkungan yang kondusif bagi pengguna yang membutuhkan ketenangan total. Discussion room dengan berbagai kapasitas kursi (dua, empat, enam, hingga delapan kursi) juga penting untuk mendukung kolaborasi antar-mahasiswa atau diskusi kelompok. Semua fasilitas ini harus dirancang dengan mempertimbangkan prinsip inklusivitas, sehingga dapat digunakan oleh semua pengguna, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
Namun, transformasi perpustakaan tidak hanya soal infrastruktur dan koleksi. Aspek lain yang tidak kalah penting adalah pengembangan layanan berbasis teknologi. Misalnya, perpustakaan dapat memanfaatkan AI untuk menyediakan rekomendasi literatur kepada pengguna berdasarkan riwayat pencarian mereka. Teknologi augmented reality (AR) juga dapat digunakan untuk memberikan tur virtual perpustakaan atau menampilkan informasi tambahan tentang koleksi tertentu. Selain itu, perpustakaan dapat mengadopsi sistem manajemen berbasis cloud untuk mempermudah administrasi dan monitoring penggunaan fasilitas. Layanan ini tidak hanya meningkatkan efisiensi operasional perpustakaan, tetapi juga memberikan pengalaman yang lebih personal dan menyenangkan bagi pengguna.
Terakhir, perpustakaan akademik modern harus menjadi pusat inovasi yang mendorong pengembangan soft skills mahasiswa dan dosen. Di tengah dominasi teknologi, kemampuan seperti kritis berpikir, kolaborasi, dan komunikasi tetap menjadi aset penting. Perpustakaan dapat menyelenggarakan workshop, seminar, atau lokakarya yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan ini. Misalnya, pelatihan literasi informasi dapat membantu mahasiswa memilah informasi yang valid dari sumber-sumber digital. Sementara itu, program mentoring penelitian dapat membantu dosen dan mahasiswa dalam menghasilkan publikasi ilmiah berkualitas. Dengan demikian, perpustakaan tidak hanya menjadi tempat untuk mengakses informasi, tetapi juga wadah untuk mengembangkan potensi individu dan kolektif.
Kesimpulannya, perpustakaan akademik modern harus mengalami transformasi radikal untuk tetap relevan di era digital. Melalui pengembangan koleksi digital, revitalisasi infrastruktur fisik, adopsi teknologi canggih, serta penyediaan layanan inovatif, perpustakaan dapat kembali menjadi jantung akademik yang mendukung pembelajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Namun, transformasi ini tidak boleh dilakukan secara parsial. Semua elemen harus saling terintegrasi untuk menciptakan ekosistem perpustakaan yang holistik dan berkelanjutan. Dengan langkah-langkah ini, perpustakaan akademik tidak hanya akan bertahan, tetapi juga menjadi motor penggerak inovasi di dunia pendidikan tinggi.