Column UINSA

Isu lingkungan menjadi penting untuk dibicarakan dalam forum antar negara mengingat metafora tragedy of common, yang berarti bencana atau tragedi lingkungan di suatu wilayah akan menyebabkan bencana bagi semua (penghuni bumi). Salah satu diantara masalah lingkungan yang paling penting ialah isu perubahan iklim. Menurut konsep thinking green, permasalahan dan bahaya lingkungan global ini bisa dipecahkan, atau setidaknya diatur, melalui kerjasama forum maupun institusi-institusi global. Dalam hal ini, bisa diasumsikan upaya negara-negara dalam menekan dan mengatasi perubahan iklim bisa dilakukan dengan menjalin kerjasama, mengingat bahaya dari perubahan iklim global adalah masalah bersama.

Peristiwa berbahaya yang berasal dari hidrometeorologi terus memicu terjadinya kerusakan dan korban jiwa. Bencana alam yang disebabkan oleh perubahan iklim seperti banjir bandang dan kekeringan telah menimbulkan dampak yang luar biasa pada kehidupan manusia. Dunia mencatat, antara tahun 2004 hingga 2014, 83% dari bencana yang terjadi, 39% dari kematian, 95% yang tercatat dari total populasi yang terkena dampak, dan 70% dari total kerusakan tercatat, semuanya terkait dengan bencana alam yang bersifat hidrometeorologis seperti cuaca, air, dan iklim.

Indonesia sebagai Non-Annex (negara berkembang) dalam keanggotaan United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC, juga telah menerima norma Perjanjian Paris 2015 dengan mengadopsi, menandatangani, hingga meratifikasi perjanjian tersebut. Indonesia setuju untuk mengadopsi perjanjian tersebut pada tanggal 12 Desember 2015. Indonesia kemudian menandatangani perjanjian ini pada tanggal 22 April 2016. Tak hanya itu, Indonesia lalu meratifikasi Perjanjian Paris 2015 pada tanggal 31 Oktober 2016 melalui UU (Undang-Undang) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change dan UU ini mulai berlaku sejak tanggal 30 November 2016. Posisi Indonesia dalam isu perubahan iklim sangatlah penting dikarenakan Menurut Kementerian Kehutanan pada Apriwan dan Sinulingga, Indonesia memiliki hutan hujan tropis terbesar ke-3 di dunia yang sangat berperan dalam penanganan perubahan iklim. Namun di saat yang bersamaan, menurut FAO (Food and Agriculture Organization) yang dikutip detikNews, angka deforestasi dan degradasi hutan menempatkan Indonesia di peringkat pertama dunia. Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris 2015 meski selama ini terdapat tindakan yang tidak sesuai dengan INDC Perjanjian Paris 2015. Indonesia merupakan negara dengan tingkat emisi yang terus meninggi dari tahun ke tahun. Di tahun 2011, tingkat emisi Indonesia sebesar 511 juta ton CO2e dan 679 juta ton CO2e di tahun 2015. Meningginya tingkat emisi tersebut diakibatkan oleh penggundulan hutan tropis dengan angka sumbangsih sebesar 65% dari total emisi.

Dalam hal ini, Indonesia tidak bisa melakukan segala upaya untuk menghadapi perubahan iklim hanya mengandalkan pemerintah eksekutif dalam menanggulangi perubahan iklim juga menjalin hubungan kerja sama dengan negara lain. Segala bentuk elemen pemerintah dan non pemerintah harus dilibatkan. Salah satunya adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang melalui alat kelengkapan dewan, ada Badan Kerjasama Antar Paremen (BKASP), sebagai salah satu lembaga utama negara diharapkan juga mampu berkontribusi dalam perubahan iklim (Climate Change). DPR RI merupakan salah satu lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum. Terdapat 3 (tiga) fungsi DPR RI berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam pasal

69 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2015 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) disebutkan bahwa ketiga fungsi DPR RI tersebut dijalankan dalam kerangka representasi rakyat, dan juga untuk membangun upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bukti dari keterlibatan DPR RI dalam pelaksanaan politik luar negeri dapat dilihat pula pada bergabungnya lembaga parlemen nasional dalam sejumlah organisasi interparlemen.

Istilah diplomasi parlemen sendiri belum begitu dikenal di Indonesia dan dapat dikatakan sebagai fungsi baru DPR. Publik bahkan termasuk akademisi banyak yang belum mengetahui hal tersebut secara detail tentang fungsi diplomasi parlemen. Pada perkembangannya, DPR sangat aktif dalam melakukan fungsi baru tersebut, diantaranya aktif dalam forum parlemen seperti International Parliament Union (IPU), Indonesia – Pacific Parliamentary Partnership (IPPP), dan sebagainya.  Keberadaan  fungsi diplomasi parlemen juga diharapkan dapat diperkuat dalam rangka menghadapi perubahan iklim global yang menjadi tantangan bersama negara-negara di dunia. Selain memperkokoh kepentingan nasional dan bangsa, secara teoritis juga diperkenalkan one and half diplomacy sebagai suatu konsep yang menggambarkan penekanan pada bentuk DPR RI dalam diplomasi sebagai aktor hubungan internasional.

DPR RI selaku lembaga legislatif yang mempunyai salah satu fungsi terkait legislasi juga pernah meratifikasi hukum internasional tentang perubahan iklim. Misal, disahkan dan diratifikasinya Perjanjian Paris 2015 pada tanggal 31 Oktober 2016 melalui UU (Undang-Undang) Nomor 16 Tahun 2016.

Mengingat perubahan iklim (climate change) membutuhkan peran serta tidak hanya pemerintah melainkan seluruh aspek bangsa, termasuk DPR dalam peningkatan fungsi diplomasi parlemen serta diplomasi parlemen merupakan hal yang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, maka penelitian ini akan menganalisis peran diplomasi parlemen dalam menghadapi perubahan iklim global (climate change). Selanjutnya dari analisis tersebut diperoleh upaya untuk mengoptimalkan diplomasi parlemen Indonesia dengan negara-negara lain. Hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui upaya apa saja yang mengoptimalisasi diplomasi parlemen Dewan Perwakilan Republik Rakyat Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim. Selain itu dapat dihasilkan rekomendasi kebijakan terkait upaya yang menguntungkan bagi Indonesia.(Muhammad Husaini)