
Guru Besar/Ketua Senat Akademik UINSA Surabaya
وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ
“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong), dan jangan (pula) berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong, lagi amat berbangga diri.” (QS. Luqman [31]: 18)
Ayat ini kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya tentang nasihat Luqman Al Hakim kepada anaknya. Siapakah Luqman al Hakim? Para ahli tafsir berbeda pendapat. Sebagian mereka mengatakan, Luqman berasal dari Ethiopia atau Mesir, bukan orang Arab, berkulit hitam sebagai tukang kayu atau penjahit. Karena nasihatnya penuh hikmah, ia dimuliakan Allah, bahkan namanya diabadikan dalam Al Qur’an, walaupun ia orang rendahan.
Ayat ini berisi larangan memalingkan muka ketika sedang berbicara dengan seseorang walaupun ia berbeda agama dan kelas sosial. Memalingkan muka adalah penghinaan yang menyakitkan. Kedua, larangan sombong, gengsi, berbangga diri, dan memandang rendah orang lain.
Gengsi menjadikan orang merasa lebih mulia dari orang lain, seperti kesombongan Iblis yang menolak hormat kepada Adam. Orang yang gengsi, rizkinya akan sulit, temannya sedikit, ilmunya sempit, dibenci orang, haus pujian, tidak mau mengakui kesalahan, apalagi meminta maaf, dan hidupnya tersiksa dan melakukan aneka kepalsuan demi standar gaya hidupnya.
Orang yang memilih pekerjaan berdasar gengsinya, sama dengan mengubur masa depannya sendiri. Orang bijak berkata, “Jangan remehkan lubang kecil. Sebab, bisa jadi, lubang kecil itu tersambung dengan lubang besar.” Jangan remehkan sebuah pekerjaan rendahan, sebab bisa jadi itu jalanmu menjadi orang besar.
Abdul Wahhab Al Sya’rani, dalam kitabnya, Tanbih Al Mughtarrin, mengutip nasihat Syekh Abd Salam, “Jadilah orang yang tawaduk, rendah hati. Senanglah dinasihati orang yang lebih rendah, dan bergurulah kepadanya.”
Allah amat murka kepada orang yang gengsi dan sombong. Nabi SAW bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sekecil apa pun.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Masud, r.a)
Orang bijak mengingatkan sekali lagi, “Ketika banjir, ikan makan semut, dan ketika banjir surut, semutlah yang makan ikan. Hidup itu terus berputar, jangan sombong.”
Abu Jahal, Abu Lahab dan para bangsawan Arab lainnya menolak ajakan Nabi SAW, semata-mata karena gengsi, bukan karena ideologi. Sebaliknya, Gregorius Theodorus panglima tentara Romawi menjadi muslim dan wafat sebagai syuhadak karena tawaduk dan membuang jauh gengsi.
Pada abad 8 hijriyah, tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang dilumpuhkan oleh pasukan Khalid bin Walid yang hanya berjumlah 3.000 orang dengan senjata yang sederhana. Berita itu menyebar luas dan membuat tentara Romawi takjub kehebatan Khalid bin Walid dalam perang Mu’tah itu. Mereka juga kagu, bagaimana Khalid menaklukkan Irak, lalu pasukannya bergerak dari Irak ke wilayah Syam hanya dalam lima hari, padahal biasanya harus ditempuh 18 hari. Mereka juga takjub, bagimana Khalid menaklukkan wilayah-wilayah Romawi yang dilewati, tanpa perlawanan yang berarti.
Gregorius Theodorus, panglima perang Romawi tak sabar, ingin segera duel dengan panglima Islam, Khalid bin Walid yang bergelar saifullah atau pedang Allah. Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba, terjadilah perang Ajnadin. 20.000 tentara muslim melawan 100.000 tentara Romawi. Dalam perang ini, pasukan Romawi lari tunggang langgang dari medan perang.
Gregorius ingin perang lagi, dan terjadilah perang Yarmuk. Gregorius membawa 240.000 tentara untuk melawan pasukan muslim yang hanya berjumlah 40.000 orang. Perang dimulai dengan duel satu lawan satu. Tibalah giliran Gregorius Theodorus maju menantang Khalid bin Walid. Khalid langsung memacu kudanya menyambutnya, begitu dekat, sampai kepala kuda mereka bersentuhan. Sebelum duel, Gregorius bertanya, “Wahai Khalid, apakah Tuhanmu mengirim pedang dari langit kepada Nabimu, lalu diberikan kepadamu, sehingga siapa pun musuhmu pasti takluk? “Oh sama sekali tidak,” jawab Khalid singkat.
“Mengapa engkau bergelar pedang Allah?,” tanya Gregorius. “Dahulu, Nabi diutus menyebarkan agama, tapi kebanyakan orang menolaknya, termasuk saya. Setelah saya masuk Islam, Nabi mengatakan kepadaku, bahwa aku adalah pedang Allah, dan akan selalu diberi kemenangan.
“Wahai Khalid, apa yang engkau ajarkan?” tanya Gregorius. Khalid menjawab, “Kami mengajak semua manusia bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.” “Bagaimana engkau menyikapi orang yang menerima ajakanmu? Khalid menjawab, “Mereka memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dengan kami, baik ia dari kalangan terhormat, maupun masyarakat biasa.” “Apakah orang yang masuk Islam memperoleh pahala yang sama denganmu?” Khalid menjawab, “Benar, bahkan dia lebih utama dibanding kami.” “Demi Allah, apakah engkau berkata jujur, dan tidak menipuku?” Khalid menjawab, “Demi Allah, aku berkata jujur, dan Allah adalah saksinya.” Di luar dugaan, tiba-tiba Gregorius memasukkan pedangnya, dan meminta diajari cara masuk Islam. Ia lalu diajak Khalid ke tenda untuk mandi dan bersyahadat. Setelah itu, diajaknya salat dua rakaat bersamanya.
Melihat panglimanya membelot, pasukan Romawi murka besar dan mengejar Gregorius. Tapi, pasukan muslim dengan sigap menghadang mereka. Khalid dan Gregorius di atas kuda masing-masing menggerakkan pasukan muslim. Mereka salat zuhur hanya dengan isyarat, lalu melanjutkan perang. Khalid selamat, tapi Gregorius yang menjadi target utama tentara Romawi yang sedang murka, terluka dan gugur sebagai syuhada. Ia menjadi muslim sekaligus sebagai syahid hanya dalam sehari.
Hapuslah gengsi, dan raihlah banyak ilmu, rizki, dan cahaya ilahi.
Referensi: (1) Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, Abu Bakar Ash-Shiddiq, terjemah Ismail Jalili dan Chep. M. Faqih, Lc, Ummul Qura, Jakarta, 2018, cet, 2, p. 536 – 560, (2) Manshur Abdul Hakim, Saifullah Al Maslul, Khalid bin Al-Walid, terjemah Masturi Irham, Lc, dan M. Abidun Zuhri, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, 2021, cet. 6, p. 483-532, (3) Tafsir Al Misbah, vol 10, p. 295, 310-312, (4) Tafsir Al Azhar, juz 21, p. 134-135, (5) Abdul Wahhab Al Sya’rani, Tanbih Al Mughtarrin, Mizania, Bandung, 2017 cet. I.