PUISI
A Servant’s Love for The Almighty
By Rivandha Putri Auriellia
In the twilight’s kind whisper and the dawn’s excellent hue,
I feel Your presence, O Divine, ever steadfast and true.
Through galaxies that whirl in celestial ballet, I find my place,
A humble servant, certain by love, towards the Creator’s face.
In every phase, I find His guidance,
In the morning bright, I welcome His grace.
My heart prostrates itself in complete devotion,
My love for the Almighty is infinite and beyond limitation.
So, let us cherish this love divine,
In every moment, in every shine.
For in the love of the Almighty’s grace,
We find redemption in love’s embrace.
Writer Biography
Her name is Rivandha Putri Auriellia, born in Surabaya, July 5th 2005, she is the only child of the couple Aris Supriyanto and Vina Astharia. Vandha is her nickname by her family and friends. Since she was 2 years old she has lived with her grandmother and grandfather, because her parents work. When she started kindergarten, she enjoyed learning foreign languages, especially English, and always watched English animations. Her grandfather routinely taught her English every day from when she was in kindergarten until she was in high school. Since childhood, she has been very interested in writing, especially writing literary works.
Rivandha Putri Auriellia is a student at the Department of English Literature, Sunan Ampel State Islamic University, Surabaya. Apart from focusing on literary works of poetry in English, studying Korean is also her interest.
Instagram : @rivandhagrande_
E-mail : rivandhagrande@gmail.com
Pulang Ya!
Oleh Aj Anwar
Akhir pekan ini sudikah kaukencani kantukku?
Sebab malam-malam lalu kau tak lagi tandang di mimpi-mimpiku
Ada apa?
Engkau salah rumah, atau salah arah
Kuncinya masih tetap sama
Kuletakkan di pipi sebelah kiri
Tempat biasanya sidik bibirmu membangunkanku
Mengecup pelan “jagoan ayah sekarang sudah besar”
Ada apa ayah?
Akhir-akhir ini ayah jarang ke rumah
Aku ada salah?
Atau rumah ayah yang sekarang terlampau indah?
Besok pagi kujemput ayah
Kubawakan segelas bunga berbalut doa
Semoga malam harinya ayah pulang ke rumah.
Surabaya, 19 Oktober 25
Oktober dalam Mimpi
Oleh Mohammad Zharfa Dhiya’Ulhaq
Matamu yang sunyi,
Mengendap mencariku dalam reruntuhan.
Dirimu tegar ditepian sisa tiang-tiang.
Tatapanmu buncah seakan menarikku dari lorong fatamorgana.
Seisi sepi mengitari Oktober.
Aku menggerung memunguti potongan mimpi.
Dari sekian puing yang tersisa.
Sepasang mata sunyi menyimpan perihku dalam nyanyi.
Tuturmu sayup-sayup terdengar dari kejauhan, penuh menguatkan.
Tunggu aku kembali.
Aku, masih bermimpi.
Terjatuh diantara bintang-bintang.
Tunggu…
Aku pasti akan terbangun dan kembali.
Surabaya, 13 Oktober 2025
CERITA PENDEK
Perempuan yang Bertunas dari Luka
Oleh Shohifatul Mufida
Lestari duduk di beranda rumah kayu, memperhatikan hamparan sawah yang kini berubah menjadi padang tandus. Retakan tanah menjalar seperti urat-urat keriput, dan air di kali tinggal aliran tipis, nyaris kering. Angin berhembus membawa debu, membuat ujung jaritnya berkibar. Ia menarik napas panjang. Bau tanah kering yang menusuk hidung seolah mengabarkan keprihatinan.
“Desa ini sudah sangat berubah dari mulanya,” gumamnya pelan. Bibirnya bergetar, di antara rasa murka dan nelangsa. Ia mengusap peluh di dahi, menatap ke sekeliling yang kini penuh kesunyian.
Sebelum semua ini terjadi, Branjangan adalah surga kecil. Sawah hijau terbentang sejauh mata memandang, sungai mengalir jernih, saking jernihnya orang-orang tidak memerlukan cermin di rumah mereka, air sungai sudah cukup untuk memantulkan wajah-wajah, dan setiap sore, suara gamelan dari sanggar berpadu dengan tawa anak-anak yang bermain di pematang. Udara berbau padi yang baru menguning, kadang berbau tunas jagung, dan musim panen selalu menjadi kenduri besar. Namun semua itu lenyap sejak tambang datang dengan wajah manis dan janji-janji kemakmuran.
Para lelaki desa yang sudah jengah memanggul cangkul menyambut tawaran itu bak wahyu. Gaji bulanan, jalan beraspal, bantuan bahan bangunan, semua terdengar menggiurkan. Mereka menukar tanah yang diwariskan leluhur dengan upah yang hanya cukup untuk membeli beras sebulan. Tak ada yang benar-benar menghitung harga masa depan.
Lestari tahu, yang digerogoti bukan hanya tanah, tapi juga pikiran. Lebih lama daripada itu, patriarki sudah lebih dulu menyelimuti desa seperti kabut pekat, merantai kaki perempuan mana pun yang mencoba melawan. Setiap kali ia ingin bicara, suara norma menancap di telinga, dingin seperti besi: “Perempuan itu di dapur, sumur, kasur.”
Kalimat tak tertulis itu membatasi langkahnya, seolah hidup perempuan hanya sebatas tembok rumah. Padahal Lestari bukan tanah kosong tanpa akar. Ia lulusan SPG, pernah mengajar sebentar sebelum menikah. Buku-buku tua di lemari jati menjadi teman setianya. Dari halaman-halaman lusuh itu, ia mengerti: luka perempuan bukan lahir dari kelemahan, tapi dari dunia yang sengaja mengikat mereka. Dan ikatan itu kini makin kuat karena ada dua tangan yang saling menggenggam: patriarki yang menundukkan, dan kapitalisme yang menghisap. Tanah yang diwariskan untuk hidup kini diubah jadi angka di kertas murahan, “Kalau tanah adalah ibu,” pikir Lestari, “siapa yang tega mengiris tubuh ibunya sendiri?” Kalimat itu menempel di dadanya, seperti mantera kuno yang tak pernah hilang.
Hari itu, Raras, anak sulungnya, sudah dua minggu batuk-batuk, pagi hari ia membawa anaknya ke mantri desa. Mantri desa menjelaskan bahwa Raras terpapar debu tambang yang beterbangan di udara panas, dan hanya bisa memberi obat seadanya. Sore harinya lagi, saat ia melewati bagian sungai dekat hilir, ia menjumpai sungai yang dulu memberi kehidupan kini penuh lumpur. Itu karena setiap harinya, perusahaan tambang membuang ratusan ton tailing ke sungai Branjangan. “Ini tidak bisa didiamkan terus-terusan,” bisiknya, dengan amarah yang memuncak diatas ubun-ubun.
Malam itu, langit seperti kain hitam bertambal awan kelabu. Lestari melangkah cepat ke lumbung tua milik Mbok Nah. Bau gabah dan lampu sentir yang temaram menjadi saksi berkumpulnya para perempuan. Wajah-wajah yang biasanya hanya membicarakan harga beras, kini duduk melingkar dengan sorot mata berbeda, mata yang menyimpan tumpukan amarah dan cemas. “Kita tidak bisa diam saja. Kalau kita terus membisu, siapa yang akan menyelamatkan anak-anak kita?” suara Lestari pecah, namun tegas. Ia meremas ujung jaritnya, menahan guncangan di dadanya. Sejenak, hening menelusup. Lalu terdengar suara Lastri, gemetar, “Tapi bagaimana, Tar? Para lelaki saja tunduk pada tambang. Apa kita mampu melawan?”
Lestari menatap mereka satu per satu, matanya menyala. “Kita harus berani! Tidak cukup hanya menangis di dapur, menunggu laki-laki menyelamatkan kita. Mereka sudah muak dengan caping dan cangkul, mereka tak bisa diandalkan lagi. Bahkan jika kita semua dimurkai suami-suami kita, kita ditalak, dan kemudian menjadi janda, itu adalah lebih baik daripada bersuami tapi terus berdampingan dengan sumber kehidupan yang rusak, bumi yang busuk!” Ucapan Lestari melecut tajam. “Asal Branjangan selamat, kita akan baik-baik saja. Luka ini bukan untuk disimpan, ia harus menjadi tunas yang tumbuh, menjadi kekuatan yang nyata!” Para perempuan yang hadir, semuanya mengangguk pelan, tak sanggup menolak kebenaran dibalik ucapan Lestari.
Kata-katanya menggema di lumbung tua, menembus sunyi malam. Malam itu lahir janji yang lebih dari sekadar janji: mereka akan menjaga tanah, merawatnya dengan tubuh, doa, dan akar budaya yang tak akan pernah bisa dicabut oleh mesin atau tangan tak bertanggung jawab. Setiap gerakan mereka, setiap detak jantung, adalah sumpah diam-diam untuk tanah, anak-anak, dan masa depan yang pantas diperjuangkan.
Keesokan harinya, ketika alat berat hendak menggusur pematang sawah, perempuan-perempuan itu muncul. Mengenakan jarit dan selendang, mereka membawa lesung dan alu. Suara “thung-thung” lesung menggema, ritmis, menyaingi deru mesin, seperti tabuh perang yang menuntut bumi didengar. Mereka menumbuk padi di pematang, langkah kaki menapak tanah, tubuh lentur namun tegap.
Lestari berdiri di barisan depan, rambut setengah terurai, mata berapi, langkahnya tegak. Sambil menumbuk, mereka bersahut-sahutan menciptakan tembang perlawanan, sederhana tapi menggetarkan:
“Oyot bumi, kita rawat temenan,
Nresep tenaga, ora mung lamunan.
Mesin wesi, ora bakal ngalahkan,
Suara lan awak kita siji, dadi pertahanan!”
Gerakan mereka dalam tarian tayub bukan untuk hiburan, tapi untuk menandai perlawanan. Ayunan tangan, hentakan kaki, tabuhan lesung, semuanya bersatu dalam bahasa yang jelas: Kami tak akan menyerah, kami menjaga bumi ini! Bahkan keindahan bisa menjadi alat pertentangan.
“Bumi ini bukan barang dagangan! Bumi ini rahim!” teriak Lestari, suaranya mengiris udara panas siang itu. Para pekerja tambang terdiam, sebagian terpaku, sebagian mengangkat ponsel merekam. Tapi siapa peduli? Perempuan-perempuan itu tidak datang untuk viral, mereka datang untuk memperjuangkan kehidupan yang aman untuk anak-anaknya.
Namun tambang tidak berhenti hanya karena nyanyian dan suara lesung. Seminggu kemudian, hujan turun membawa lumpur hitam yang menyelimuti pematang. Sungai memuntahkan busa pekat, mengalir ke sawah, tanah makin tercemar. Penduduk mengeluhkan gangguan kulit, ternak satu per satu mati. Bau busuk menebar, menempel di udara.
Suatu sore, sebuah mobil hitam berhenti di balai desa. Dari dalam, turun seorang lelaki berjas rapi dengan sepatu mengilap. Namanya Arwana, pejabat kabupaten. Ia datang dengan senyum yang disulam manis, membawa kata-kata yang dikemas rapi.
“Ibu-ibu, jangan khawatir. Semua ini untuk pembangunan. Apa kalian tidak ingin desa ini maju? Nanti akan ada bantuan, ada sembako, ada CSR untuk masyarakat.”
Lestari maju, tubuhnya bergetar tapi matanya menyalak.
“Pak, sembako tidak bisa mengganti air bersih. Tidak bisa mengganti paru-paru anak saya yang rusak!” Arwana tertawa kecil, nadanya meremehkan.
“Ibu pintar, ya. Tapi tolong realistis. Dunia modern menuntut kemajuan. Tidak mungkin kita akan stagnan.”
Lestari mendekat, jarak mereka tinggal sejengkal. Nafasnya terasa panas di wajah pejabat itu. “Kemajuan yang mencabut akar, hanya akan meninggalkan gurun,” ucapnya dingin.
Beberapa minggu setelah protes pertama, suara tambang kembali menggema di desa. Alat berat mengguratkan tanah, sungai tersedot, dan bau logam bercampur tanah membuat udara pekat. Perempuan-perempuan itu menatap satu sama lain, napas berat tapi mata tetap menyala. Lestari tahu, diam bukan pilihan lagi. Maka mereka kembali turun ke lapangan. Kali ini, perlawanan mereka bukan hanya menghadapi mesin dan perusahaan, tapi juga sejumlah laki-laki desa yang mendukung tambang.
“Wong wadon kudu ngerti urusane dhewe!” teriak beberapa dari mereka, mencoba menyingkirkan perempuan-perempuan itu dari aliran sungai yang hampir kering. Sedang suami-suami perempuan itu hanya bergeming menyaksikan kemurkaan istri mereka.
Perempuan-perempuan itu tidak gentar. Mereka saling menopang, mengatur strategi, dan bergerak bersama. Beberapa mengambil bambu yang tersisa di pinggir hutan, menyingkirkan ranting dan semak agar bisa dijadikan rintangan. Bambu-bambu panjang diikat satu sama lain dengan tali sederhana, membentuk pagar sementara di depan jalur alat berat. Beberapa merunduk di balik pohon, mengatur posisi, memberi isyarat tangan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Lestari berdiri di tengah kelompok, matanya mengamati alat berat. “Yen ora saiki, kapan maneh?” gumamnya pelan. Dengan koordinasi hati-hati, mereka melangkah maju, menempatkan bambu itu tepat di depan roda besar mesin. Beberapa pria mencoba mendorong mereka menjauh, tapi tangan-tangan itu saling menguatkan, menahan dorongan, dan memastikan pagar bambu tetap kokoh.
Rencana mereka sederhana tapi berani: berdiri tepat di depan alat berat sebagai penghalang terakhir. Tubuh mereka menempel pada bambu, kaki menancap di tanah, dan pandangan mereka menatap lurus ke depan. Jika alat berat memaksa maju, mereka tahu harus tetap tenang dan tidak mundur, karena mundur berarti memberi ruang bagi kerusakan.
Mandor tambang maju dengan rompi oranye, keringat bercucur di pelipis. Suaranya keras, mencoba menutupi kegugupan. “Singkirkan pagar bambu itu! Ini jalur resmi perusahaan. Kalau kalian menghalangi, kami anggap melawan hukum!”
Beberapa lelaki desa yang sudah lebih dulu bekerja di tambang ikut menyahut.
“Wong wadon ora usah neko-neko! Pulanglah semua! ”
Teriakan itu diiringi dorongan kasar ke bahu salah satu perempuan. Tapi barisan itu tidak pecah. Tangan-tangan mereka justru saling menggenggam makin erat.
Lestari menatap tajam ke arah mandor. Suaranya tegas, nyaris tanpa getar: “Tanah ini bukan milik perusahaanmu, tapi milik leluhur kami. Kalian bisa bawa surat, bisa bawa aparat, tapi tubuh kami akan tetap di sini. Kalau tanah ini hancur, kalian juga tidak akan punya apa-apa selain kutukan.” Mandor terdiam sejenak, menoleh ke operator alat berat.
“Ayo gas! Jangan peduli mereka, itu cuma gertakan!”
Operator menelan ludah. Roda raksasa itu bergerak pelan mendekati pagar bambu. Perempuan-perempuan itu tidak bergeser. Beberapa memukul lesung makin keras, suara “thung-thung” menggema menyalip raungan mesin.
Tiba-tiba seorang ibu paling tua, Mbok Nah, membuka selendangnya, lalu menggelarnya di tanah tepat di depan roda. Suaranya serak tapi tegas: “Kalau kau injak bambu ini, kau juga menginjak tubuhku. Injaklah, kalau kau berani.” Sebelum kalimatnya selesai, Mbok Nah sudah lebih dulu berbaring diatas selendang yang ia gelar. Mesin terhenti. Operatornya gemetar, tangannya menahan tuas. Mandor berteriak-teriak, tapi jelas terlihat ia mulai bimbang, dan pada akhirnya operator itu tak memajukan rodanya barang se senti. Lelaki desa yang mendukung tambang saling pandang, beberapa wajah mereka mulai ragu.
Bentrokan antara mereka hari itu memunculkan kegaduhan yang lumayan besar, tapi beberapa warga desa, yang awalnya ragu, mengeluarkan ponsel sederhana mereka dan memotret. Beberapa lainnya mengirim cerita dan gambar itu ke kerabat di kota. Tidak lama kemudian, wartawan lokal mulai menelusuri isu tambang di desa mereka. Publik mulai mempertanyakan aktivitas tambang itu, dan mengapa perempuan-perempuan ini berani menghadapi ancaman langsung demi tanah dan desa mereka.
Tekanan publik itu sampai ke pemerintah. Petugas turun tangan, melakukan investigasi menyeluruh. Perusahaan tambang dipaksa menghentikan operasional sementara, kualitas air diuji, dan peraturan baru mulai diterapkan untuk melindungi hak perempuan sekaligus kelestarian lingkungan.
Di tepi sungai yang perlahan menunjukkan aliran kecil, Lestari menarik napas panjang. Mata perempuan-perempuan desa itu masih menyala lelah, tapi tidak menyerah. Mereka tahu perjuangan belum selesai, tapi akar baru telah tertanam dari luka yang lama.
Dari luka-luka yang menoreh di tubuh dan hati mereka, perempuan-perempuan itu menumbuhkan sesuatu yang tak terlihat tapi nyata: tunas-tunas kecil yang menanjak dari akar yang tertancap kuat, menahan angin, hujan, dan misogini. Tunas itu adalah keberanian yang perlahan merekah, untuk tanah yang mereka pijak, sungai yang mereka rawat, dan suara perempuan yang terlalu lama dibungkam. Setiap langkah, setiap tangan yang menggenggam tanah, adalah perlawanan sekaligus harapan. Luka yang mereka terima bukan mengakhiri hidup, tapi menumbuhkan tunas yang terus mencari cahaya.
Maka merekalah perempuan yang bertunas dari luka, bukan karena tidak pernah jatuh, tapi karena setiap jatuh selalu mereka ubah menjadi akar untuk tumbuh. Dari akar itulah, lahir keberanian yang tidak lagi sekadar untuk diri sendiri, tapi untuk bumi yang mereka cintai dan untuk suara perempuan yang selama ini dipaksa diam.
“Jika dunia ini terus dipagari oleh mereka yang hanya tahu kuasa, maka kami akan menjadi retakan di pagarnya.”
Dia dan Senja Kala Itu
Oleh Hawa Eka Safitri
Mungkin banyak orang mengira aku adalah gadis bodoh yang tak pandai berinteraksi tapi, siapa sangka bahwa aku bisa menemukan sosok yang sangat-sangat berharga dalam hidupku. Memang saat itu aku tak peduli soal cinta, bahkan rasa ingin memiliki seorang kekasih pun tak pernah ada, ya walaupun teman-temanku sudah banyak yang memilki pasangan. Entah mengapa ditahun-tahun terakhir di bangku SMA, aku mulai merasa iri dan bisa dibilang ingin merasakan seperti apa yang mereka rasakan. Dan ketika aku memberanikan diri untuk berinteraksi dengan orang-orang baru di hari pertama menjadi mahasiswa disitulah kisahku dimulai.
02 Juni 2022, Cuaca saat itu sangat panas dan hari itu bertepatan dengan hari liburku jadi di hari itu aku hanya bermain ponsel tapi, dihari itu juga aku mendapatkan pesan dari nomor yang tak ku kenali. Hal itu membuatku heran bagaimana bisa dia mendapatkan nomor ponselku, bahkan aku tak pernah memberikan nomorku pada siapapun. Saat kupikir lagi, tak ada masalah juga jika aku berkenalan dengannya. Dengan penuh rasa ragu aku membalas pesannya dan saat aku membuka roomchatku dengannya, dia hanya sebatas menyapa dan memastikan apakah benar ini nomorku atau bukan.
“ Hai, apa benar ini dengan Naisya?.’’ Tanya lelaki dari sebrang sana.
“ Iya benar, kamu siapa ya?.” Tanya ku padanya.
“ Salam kenal namaku Alfahri, panggil aja Al.”Tuturnya.
“Ouh, iya Al salam kenal juga.” Ucapku.
Sesaat setelah perkenalan di roomchat itu mereka memutuskan untuk bertemu saat dikampus nanti.
Hari yang ditunggu pun tiba, setelah mata kuliah selesai mereka saling menunggu kabar satu sama lain hingga tanpa Naisya sadari bahwa sosok yang sedari tadi resah menunggu di depan kelasnya adalah Alfahri.
Saat Naisya tersadar bahwa Alfahri sudah ada di hadapannya entah mengapa ia merasa gugup bahkan hanya untuk menyapa saja Naisya tidak sanggup.
Alfahri yang melihat Naisya hanya diam merasa bingung, lantas ia melambaikan tangannya di depan wajah Naisya. Alfahri yang melihat Naisya hanya diam saja ia merasa bingung, lantas ia melambaikan tangannya di depan wajah Naisya dan hal itu membuat Naisya kaget dan tersadar dari lamunannya.
Alfahri yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum simpul kearah Naisya karena menurutnya adalah sesuatu yang lucu. Naisya yang dari tadi melihat Al tersenyum kepadanya merasa malu karena sedari tadi ia hanya diam dan mmenatap Al dengan tatapan yang sulit diartikan, lantas hal itu membuat Naisya bertanya kepadanya.
“ Al, kenapa senyum gitu?.” Tanya Naisya dengan wajah gugupnya.
“ Engga, gapapa lucu aja.” Jawab Al dengan santai.
“ Oh iya, btw pasti kamu belum pernah deket sama laki-laki kan?. Tanya al dengan nada datarnya
“ Eh, iya Al kok kamu tau?. Tanya Naisya balik.
“ Sudah kelihatan bahkan di awal kamu membalas chatku saja sudah sangat jelas bahwa kamu masih gugup untuk dekat dengan laki-laki.” Jawab Al dengan pedenya.
“ Gimana kalau kita pindah ke kafe depan aja biar kita bisa lebih santai aja ngobrolnya.” Ucap Al kepada Naisya dan Naisya pun mengangguk setuju.
Setelah mereka sampai di kafe sesuai dengan yang mereka katakana tadi mereka banyak bercerita hingga tanpa Naisya sadari jam sudah menunjukkan pukul 08.00 malam dan Naisya merasa bingunng karena jam jam segini sudah jarang angkutan yang lewat. Al yang tahu wajah gelisah Naisya ia segera menanyakan apa yang membuatnya gelisah.
“ Kenapa Nai?. Tanya Al
“ Eum, itu Al aku bingung gimana caraku sampai rumah sebelum jam 9 , sedangkan jam jam segini sudah jarang angkutan yang lewat.” Jawab Naisya tanpa menatap Al sedetik pun, Al yang tau karean hal itu yang membuat Naisya gelisah ia berinisiatif mengantarkan Naisya pulang.
“ Aku antar kamu pulang aja Nai, lagian udah mau malem juga bahaya apalagi kamu Perempuan.” Ucap Al sambil Bersiap untuk mengantarkan Naisya pulang dan Naisya mengangguk ragu , tapi dipikir lagi memang yang dikatakan Al.
30 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai dirumah Naisya, di depan pintu rumah Naisya sudah ada kakak laki-laki Naisya dengan raut wajah yang sulit diartikan.
Al yang melihat wajah kakak Naisya pun segera ia turun dari motornya berjalan membuntuti naisya dari belakang dan tanpa Naisya sadari Al mencium tangan kakaknya tersebut dan mengucapkan suatu hal yang tak terduga.
“Maaf bang, saya anterin Naisya terlalu malam dan saya sama Naisya tidak ada hubungan apa-apa hanya sekedar teman kampus saja bang.” Ucap Al dengan santai,Naisya yang mendengar itu nampak kaget, pasalnya dia dan Alfahri bukanlah teman dekat dan mereka baru saja akrab beberapa jam yang lalu. Tapi dengan santainya Al mengucapkan itu.
Lantas Naisya segera masuk kedalam rumah karena ia merasa malu didepan Al dan juga kakaknya, berbanding balik dengan wajah kakak Naisya setelah Naisya masuk kedalam rumah justru ia malah mengajak Al bercanda.
“ Santai aja bro, aku ga seserem yang kamu kira.” Jawab Satya kakak Naisya.
“ Titip adekku ya, dia jarang banget punya temen dan ya, pastinya dia ga pernah deket sama laki-laki.” Tambah Satya dan Alfahri hanya mengangguk mengerti dengan ucapan Satya tadi.
15 menit mereka berbincang akhirnya Alfahri memutuskan untuk pulang dan tak lupa ia menitipkan salam kepada Naisya. Setelah Alfahri mengedar dari pandangan Satya ia pun masuk kedalam rumah dan segera mencari keberadaan adiknya itu. Tanpa pikir panjang Satya langsung menuju kamar Naisya dan ya, benar saja Naisya berada dikamarnya. Satya yang melihat Naisya bermain ponsel dengan menyunggingkan senyumnya membuat Satya mengeluarkan ide jahilnya.
“ Ehem, senyum-senyum sendiri nih. baca chat dari siapa sih dek.” Goda Satya.
“ Apasih bang ih, orang liat video random kok. Sana ih ngapain juga masuk masuk ke kamar adek.” Ketus Naisya , Satya hanya menggeleng gemas kepada adiknya itu.
“ Besok dijemput Al , bangun pagi dek.” Ucap Satya santai dan yang digoda pun beranjak bangkit dari tidurnya dengan menatap sinis abangnya itu.
“ Santai-santai, bercanda doang elah.’’ Ucap Satya lalu pergi dari kamar Naisya, setelah Satya pergi ia bernapas lega karena tak ada yang menganggunya lagi.
Jam menunjukkan pukul 11 malam dan satu notifikasi baru saja masuk, merasa tidurnya terganggu Naisya dengan setengah sadar membuka ponselnya dan dilihatnya adalah notifikasi dari Alfahri, namun sepertinya bukan Alfahri yang menghubunginya karena Al tak pernah menggunakan bahasa formal dan hal itu membuat Naisya bingung apa yang sebenarnya terjadi. Dan isi dari pesan itu adalah pesan dari seorang perawat rumah sakit yang mengatakan bahwa Alfahri Nalendra mengalami kecelakaan dan ya, perawat rumah sakit mengabarkan bahwa ia harus dirawat diruang Icu karena benturan yang sangat keras hingga menimbulkan pendarahan di bagian kepala.
Naisya yg mengetahui itu berharap ini adalah sebuah mimpi buruknya, tanpa Naisya sadari air matanya lolos begitu saja. Mengingat hal-hal kecil yang sudah ia lakukan bersama Alfahri ia merasa bahwa hanya bersamanya Naisya bisa menjadi dirinya sendiri dan bebas melakukan apapun yang Naisya mau.
Alfahri Nalendra, sosok laki-laki dewasa perindu hujan dan senja yang mana ia akan selalu bahagia ketika hujan turun dan saat ia melihat langit senja, karena baginya hujan dan senja banyak memberinya Pelajaran hidup. Tak hanya itu sosok Alfahri juga sangat menghormati kodrat wanita karena didikan ibunya yang sangat-sangat memuliakan derajat wanita. Maka tak heran jika Alfahri sangat menjaga sikapnya kepada Perempuan.
Berbanding terbalik dengan Naisya Alexandria, seorang gadis hanya menyukai senja. Karena baginya senja memberikan sebuah hal penting yang berhubungan dengan janji. Ya, sebuah janji karena senja selalu menepati janjinya untuk selalu datang walaupun hanya sesaat dan senja selalu memberikan sebuah hal yang indah di setiap kehadirannya.
Jika dilihat dari keduanya, mereka memiliki sebuah kesamaan yang sama, namun apakah mereka akan dipertemukan kembali dan akankah seorang Naisya akan bertemu kembali dengan seseorang ia tunggu kehadirannya? Dan apakah seseorang yang Naisya tunggu-tunggu kehadirannya akan mengingatnya?.
Dan akankah ini benar hanya sebuah mimpi Naisya yang dipertemukan dengan seseorang seperti Alfahri dikala senja?.
Biodata Penulis
Halo salam kenal, namaku Hawa Eka Safitri. Tak ada panggilan khusus dan ya, jelas kalian tau dong jikalaupun ada maybe,Eka. Dilahirkan pada 19 Juni 2005 di tempat nenek berada. Di usianya yang baru memasuki 19 tahun ini, ia mencoba hal baru yang baru saja ia tulis sekarang ini. Bukan hanya sekedar hobi, tapi ini adalah keinginan terbesarnya saat masih berada di bangku MA. Mungkin lewat ini ia bisa membuktikan kepada orang-orang yang pernah menganggapnya remeh. Dengan ini dia berharap bisa menjadi sebuah jalan untuk mengembangkan hobi dan mewujudkan keinginannya yang sudah lama ia simpan.
Kalian bisa kepoin aku di akun dibawah ini:
Instagram: @Sh_haw_27 atau
Second account: @ghf_haw_44.
PUISI
Tidak Lagi
Oleh Aj Anwar
Tidak ada yang ingin hidup dalam kehilangan,
Tidak memiliki apa-apa
Hidup selalu menuai permintaan pun tuntutan.
Misalnya: menuntut dirinya kembali,
sementara memiliki sudah tidak bisa lagi.
Dan…
Sejak hari lalu,
Aku tidak pernah benar-benar leluasa
Tidak benar-benar bisa hidup selayaknya
Aku rasa hidupku terbawa saat iring-iringan hari itu
Tertinggal saat memberinya ucapan selamat tinggal.
Lupa dibawa pulang
Terkubur bersama jasad Ayah.
Sidoarjo. 26-oktober-2025