Articles

Dr. Slamet Muliono Redjosari

Kasus pertamax oplosan telah membuka mata kita bahwa etika pemangku jabatan publik telah tercabik-cabik. Hal ini karena para pemangku kebijakan tidak lagi mengindahkan tugasnya sebagai pemuas pelayanan kepada masyarakat. Mereka mengaku siap mengabdi kepada negara dan masyarakat serta well-educated (terdidik). Perbuatan buruk yang telah dilakukan dipandang sebagai hal yang baik dan akan menghasilkan kebaikan. Realitas ini sejalan dengan pandangan Al-Qur’an bahwa kemunafikan telah merembes ke dalam hati dan terimplementasi dalam kebijakan. Mereka melakukan kerusakan tetapi tidak mengakuinya. Atas peristiwa ini, setidaknya ada dua watak munafik yang nampak sehingga terjadi berbagai kekisruhan dan kekacauan saat ini. Mengaku melakukan perbaikan tapi bertindak perusakan, dan mengaku sebagai orang pintar tapi tindakannya menjerumuskan dan menyengsarakan orang banyak.

Perusak Tatanan

Kasus Pertamax oplosan telah menguncang Indonesia. Hal itu setelah penetapan Direktur Utama (Dirut) Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Riva diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Riva menjadi tersangka setelah Kejagung memeriksa sejumlah saksi, meminta keterangan dari ahli, dan bukti dokumen yang sudah disita. Atas tindakan ini, negara dirugikan 193,7 T.  https://gorontalo.tribunnews.com/2025/02/26/kasus-pertamax-oplosan-bikin-negara-rugi-1937-triliun-dirut-pertamina-patra-niaga-jadi-tersangka.

Namun oplosan ini sempat dibantah Corporate Secretary Pertamina, Patra Niaga Heppy Wulansari. Dia menyatakan bahwa produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah. Oleh karenanya, masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax. Pertamina Patra Niaga melakukan prosedur dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan kegiatan Quality Control (QC). Distribusi BBM Pertamina juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). https://www.liputan6.com/bisnis/read/5935537/bbm-pertamax-ron-92-bukan-oplosan-ini-buktinya?page=2

Terlepas dari bantahan yang dilakukan oleh para pemangku Pertamina, tapi masyarakat sudah merasa ditipu produk Pertamax oplosan. Apalagi penetapan tersangka terhadap pelaku sehingga merugikan keuangan negara dan merugikan masyarakat luas. Kalau merujuk pada paparan Al-Qur’an bahwa fenomena ini merupakan tindakan merusak dari mereka yang mendapatkan amanah. Mereka dipercaya untuk mengurus kepentingan luas dan memberi pelayanan maksimal. Namun kenyataannya mereka berkhianat dan melakukan kerusakan  yang mengecewakan masyarakat luas. Al-Qur’an mensinyalir hal ini sebagaimana firman-Nya :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ

Artinya:

Dan bila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”, mereka menjawab, “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. (QS. Al-Baqarah : 11)

Melakukan kerusakan namun mereka merasa melakukan perbaikan. Mereka disumpah saat memegang jabatan untuk berbuat baik dan memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. namun dalam prakteknya, mereka justru berkhianat dengan mencuri uang yang merugikan negara. Al-Qur’an sendiri memastikan bahwa mereka melakukan kerusakan tetapi tidak menyadari. “Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.” (QS. Al-Baqarah :12)

Terdidik-Sekuler

Dalam konteks level pendidikan, para pelaku kejahatan, yang merugikan kepentingan orang banyak itu, umumnya berpendidikan tinggi. Dengan pendidikan tinggi yang dienyam itu, mereka merasa memiliki pengetahuan yang mapan. Oleh karenanya, ketika mendapat teguran karena telah berbuat salah, bukannya menyadari dan mengaku bersalah. Mereka justru melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa apa dilakukan bertujuan baik. Dengan kata lain, mereka mengaku orang terdidik tetapi perilakunya seperti orang tak bersekolah, alias bodoh. Al-Qur’an mengabadikan hal ini sebagaimana firman-Nya :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ ءَامِنُواْ كَمَآ ءَامَنَ ٱلنَّاسُ قَالُوٓاْ أَنُؤۡمِنُ كَمَآ ءَامَنَ ٱلسُّفَهَآءُ ۗ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلسُّفَهَآءُ وَلَٰكِن لَّا يَعۡلَمُونَ

Artinya:

Apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman”, mereka menjawab, “Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?” Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (QS. Al-Baqarah : 13)

Al-Qur’an menggunakan kata bodoh, karena tindakan merusak ini tidak memperhitungkan dampak jangka panjang. Cara berpikir orang beriman senantiasa mengaitkan perbuatannya dengan hari pertanggungjawaban di akherat. Artinya, setiap perbuatan akan diminta pertanggungjawabkan di hadapan Allah. Oleh karenanya, orang beriman akan bertindak hati-hati.

Mereka bertindak bodoh karena segala perbuatannya tidak dikaitkan dengan pertanggungjawaban yang sebenarnya. Kalau di hadapan manusia, mereka bisa berkilah dengan berbagai argumentasi. Namun di hadapan Allah, semua alasan dan argumentasi menipu akan diketahui kedoknya, sehingga Allah akan membongkarnya dengan mudah.

Dalam perspektif Al-Qur’an, para pelaku kerusakan itu telah melakukan sekularisasi ketika memangku jabatan publik. Mereka melepaskan dunia ini dengan akherat sehingga perilakunya tidak pernah dikaitkan dengan nasib jangka panjangnya. Mereka mengira bahwa apa yang dilakukan akan berjalan mulus karena Masyarakat dipandang bodoh dan tak berpengetahuan. Sementara mereka bukan hanya merasa terdidik, tetapi berasa berpengetahuan dan mengetahui hal-hal teknis. Namun pengetahuan yang mereka miliki justru untuk melakukan tipu daya. Mereka tak menyadari bahwa ada Dzat yang jauh lebih berpengetahuan dalam mengetahui niat buruk dan busuk itu.

Apa yang terjadi pada kasus Pertamax oplosan menunjukkan bahwa para pemangku jabatan publik, dengan kualifikasi pendidikan tinggi dan pengalaman yang panjang, telah melakukan kejahatan massaldan massif. Hilangnya moralitas dan etika publik membuat mereka bertindak bodoh. Mereka ingin mendapatkan keuntungan duniawi, dengan menutup mata dan tanpa sadar merangsek dan menabrak aturan. Ketika kejahatan mereka dibuka Allah, maka publik pun meminta pertanggungjawaban sebagai orang yang dipercaya sebagai pengelola kepentingan publik.

Surabaya, 27 Pebruari 2025